Sejarah Dewan Hisbah PERSIS
oleh. Nur Ratna Juwita
Persatuan Islam yang sejak awal didirikan merupakan sebuah kelompok tadarus atau kelompok kajian dari orang-orang yang prihatin terhadap kondisi aakidah, ibadah dan akhlak umat, yang tenggelam dalam berbagai perbuatan bid’ah, syirik dan munkarat lainnya, di bawah pimpinan Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus, kemudian membentuk sebuah jam’iyyah dengan misi dan doktrin utama “Ar-Ruju’ ila Al-Qur’an wa As-Sunah”, dan mengambil peran aktif dalam melakukan tugas tajdid dalam arti “islahul islam, I’adatul Islam ila ashliha, dan ibanah”. Keberadaan dewan hisbah yang sebelumnya bernama Majlis Ulama Persis bisa disebutkan sebagai lanjutan atau mata rantai dari kelompok tadarusan atau kelompok kajian tersebut di atas. (Amien dkk, 2007: 197).
Menurut Shiddiq Amien dkk (2007: 197) Majlis ulama Persis baru resmi terbentuk dalam Muktamar ke-6 yang berlangsung tanggal 15-18 Desember 1956 di Bandung. Mengenai fungsi dan kedudukan Majlis Ulama Persis termaktub dalam Qanun Asasi Persis tahun 1957 Bab V Pasal 1 sebagai berikut:
a. Persatuan Islam mempunyai Majlis Ulama yang bertugas menyelidiki dan menetapkan hukum-hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan pusat menyiarkannya.
b. Majlis Ulama diangkat oleh Pusat buat selama-lamanya.
c. Sesuai dengan kedudukannya sebagai Warasatul anbiya, Majlis Ulama memiliki hak veto (menolak dan membatalkan) segala keputusan dan langkah yang diambil dalam segala instansi organisasi Persatuan Islam.
d. Cara bekerja Majlis Ulama diatur Qaidah Majlis Ulama.
Dalam Pasal 2 dinyatakan :
a. Segala keputusan dan atau ketetapan yang diambil oleh Majlis Ulama dalam lapangan hukum agama wajib dipatuhi oleh Pusat Pimpinan dan segenap anggota Persatuan Islam.
b. Instansi Majlis Ulama hanya diadakan oleh Pusat Pimpinan.
c. Cabang-cabang berhak mencalonkan ulama daerahnya kepada Pusat Pimpinan untuk menjadi anggota Majlis Ulama, disertai riwayat hidup ulama tersebut.
d. Pusat pimpinan berhak menolak calon yang diajukan itu.
Pada masa kepemimpinan Al-Ustadz KHE. Abdurrahman (1962-1983) Majlis Ulama diganti menjadi Dewan Hisbah dengan ketua Al-Ustadz KH. Abdul Kadir Hasan. Namun karena kesibukan dan berbagai masalah kejam’iyyahan, Dewan Hisbah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Berbagai masalah yang muncul, lebih banyak dijawab dan ditanggapi oleh KHE. Abdurrahman dengan segala kapasitasnya dan kemampuannya sebagai seorang Ulama yang mumpuni.
Pada masa kepemimpinan Persis di bawah Al-Ustadz KH. Latief Muchtar, MA (1983-1997) tasykil Dewan HIsbah terbagi menjadi tiga periode.
Melalui Musyawarah khusus PP Persis yang melibatkan seluruh anggota Pimpinan Pusat, Para Ketua Umum PP bagian Otonom, seluruh Anggota Dewan Hisbah, dan para Ketua PW Persis tanggal 25 Oktober 1997 di Ciganitri Bandung, secara aklamasi menunjuk KH. Drs. Shiddiq Amien sebagai Ketua Umum Pengganti sampai Muktamar ke-12. Dan pada Muktamar ke-12 pada tangaal 9-11 September 2000 di Jakarta, Ustadz Shiddiq Amien terpilih kembali sebagai Ketua Umum untuk masa jihad 2000-2005.
Mengenai kedudukan, hak, dan kewajiban Dewan Hisbah diatur dalam Qanun Asasi pasal 13 dan Qanun Dakhili Bab VI pasal 34-38. Hasil Muktamar ke-12. Dewan Hisbah yang terdiri dari: Komisi Ibadah Mahdhah, Komisi Mu’amalah, dan Komisi Aliran sesat. Tapi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Pada muktamar ke-13 Dewan Hisbah mengalami perubahan dalam menentukan keanggotaannya. Anggota Dewan Hisbah diajukan oleh para Ketua Pimpinan daerah, dan kemudian mengadakan Pemilihan untuk Tasykilnya.
Problematika Penafsiran Al-Quran
Al-Qur’an adalah pedoman hidup semua manusia yang Allah turunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Dengan demikian Al-Qur’an mendeklarasikan dirinya untuk menyapa seluruh umat manusia dari segenap suku-bangsa, merentang dari benua Asia hingga benua Eropa, membentang dari benua Amerika hingga Australia, tanpa kecuali, baik di zaman Nabi Muhammad saw maupun masyarakat modern maupun masyarakat nonmodern, hingga akhir zaman. Sebagaimana telah banyak diungkapkan pada beberapa firman-Nya berikut:
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (QS. Yusuf [12]: 111)
Ayat tersebut menjelaskan keberadaan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia. Kehidupan manusia meliputi berbagai macam aspek. Baik masalah ibadah atau fiqih, muamalah, politik kenegaraan dan lain sebagainya. Maka agar Al-Qur’an itu benar-benar menjadi petunjuk dan pedoman hidup, maka kita harus memahami dan menggali makna dari kandungan Al-Qur’an tersebut.
Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir sehingga tidak mungkin dapat diragukan. Al-Qur’an secara teks memang tidak berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, Al-Qur’an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya.
Al-Qur’an seolah menantang dirinya untuk dibedah. Tetapi semakin dibedah rupanya semakin banyak saja yang tidak diketahui. Semakin ditelaah nampaknya semakin kaya pula makna yang terkuak darinya. Barangsiapa yang mengaku tahu banyak tentang Al-Qur’an, justru semakin tahulah kita bahwa dia tahu sedikit saja.
Bahkan para mufasir mengakui bahwa setiap metode dan tafsir, setiap cara dan pendekatan, secanggih apa pun ia digunakan, boleh jadi ia selalu dalam posisi: “lain di teks, lain pula di konteks.” Mencari relevansi dan titik temu antara teks dan konteks itulah tugas berat yang diemban mufassir, sejak zaman dahulu hingga sekarang. Problema itulah melahirkan metode-metode dan tafsir-tafsir dengan berbagai corak dan ragamnya, dengan berbagai dinamika dan pergulatannya, sebagaimana kita kenal dewasa ini.
Selain itu, problema yang muncul adalah penafsiran Al-Qur’an hanya baru sampai kepada masalah hukum (fiqih) saja, sedangkan manusia memiliki aspek kehidupan yang sangat luas, seperti sosial (muamalah), politik (siyasah), pendidikan, ilmu dan lain-lain. Agar Al-Qur’an itu menjadi sumber pedoman hidup manusia yang utuh, seyogyanya aspek-aspek yang lain tersebut memiliki sorotan penafsiran yang sama sebagaimana halnya Al-Qur’an berbicara mengenai hukum.
Berbagai usaha untuk mengerti dan memahami al-Quran kiranya telah menjadi usaha utama umat muslim untuk menegakkan agama Islam di muka bumi. Usaha menafsirkan al-Quran juga menarik perhatian para orientalis. Bertambahlah khasanah keilmuan dengan persaingan orintalis dan para ulama dalam menafsirkan al-Quran.
Namun terdapat perbedaan mencolok antara penafsiran al-Quran yang dilakukan orientalis dengan penafsiran para ulama. Apabila orientalis menggali kelamahan al-Quran.para ulama menggali kelebihan dan mukjizat al-Quran. Oriental dalam menafsirkan al-Quran menggunakan metode ilmiah, sedanglan paa ulama menggunakan metode penafsiran khusus yang meletakkan al-Quran sebagai kalam Allah.
Para orientalis berpendapat bahwa al-Quran merupaka kitab buatan manusia yang didalamnya banyak pengulangan, parsial,bertentangan satu ayat dengan ayat lain, dan tidak dimengerti maksud tujuannya. Dengan berbagai selintingan yang diungkapkan itu para ulama makin terpacu untuk menggali kebenaran al-Quran dengan pengembangan berbagai metode ilmiah pula.
Kebebasan ilmiah sangat dikenal dan merupakan tradisi Islam. Halini masuk dalam riset dan observasi fenomena-fenomena keajaiban ilmu pengetahuan yang ada dalamal-Quran. Hal ini didasari oleh:
1. Tidak ada kontradiksi antara hakikat ilmu pengetahuan dengan hakikat Qurani.
2. Teori ilmu pengetahuan senantiasa berubah-ubah merupakan hal yang tidak benar
3. Tafsir ilmiah tidak akan mempengaruhi kekuatan otentitas nash al-Quran dan mukjizatnya.
Blog Archive
About Me
- Lingga S. Anshary
- sulit sekali untuk mengambil keputusan, namun setelah keputusan diambil yang ada hanya kelegaan karena kita hanya harus melakukannya...
di Halamanku,,,,