Selasa, 21 Desember 2010

Problematika Penafsiran Al-Quran


Al-Qur’an adalah pedoman hidup semua manusia yang Allah turunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Dengan demikian Al-Qur’an mendeklarasikan dirinya untuk menyapa seluruh umat manusia dari segenap suku-bangsa, merentang dari benua Asia hingga benua Eropa, membentang dari benua Amerika hingga Australia, tanpa kecuali, baik di zaman Nabi Muhammad saw maupun masyarakat modern maupun masyarakat nonmodern, hingga akhir zaman. Sebagaimana telah banyak diungkapkan pada beberapa firman-Nya berikut:


Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (QS. Yusuf [12]: 111)

Ayat tersebut menjelaskan keberadaan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia. Kehidupan manusia meliputi berbagai macam aspek. Baik masalah ibadah atau fiqih, muamalah, politik kenegaraan dan lain sebagainya. Maka agar Al-Qur’an itu benar-benar menjadi petunjuk dan pedoman hidup, maka kita harus memahami dan menggali makna dari kandungan Al-Qur’an tersebut.

Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir sehingga tidak mungkin dapat diragukan. Al-Qur’an secara teks memang tidak berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, Al-Qur’an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya.

Al-Qur’an seolah menantang dirinya untuk dibedah. Tetapi semakin dibedah rupanya semakin banyak saja yang tidak diketahui. Semakin ditelaah nampaknya semakin kaya pula makna yang terkuak darinya. Barangsiapa yang mengaku tahu banyak tentang Al-Qur’an, justru semakin tahulah kita bahwa dia tahu sedikit saja.

Bahkan para mufasir mengakui bahwa setiap metode dan tafsir, setiap cara dan pendekatan, secanggih apa pun ia digunakan, boleh jadi ia selalu dalam posisi: “lain di teks, lain pula di konteks.” Mencari relevansi dan titik temu antara teks dan konteks itulah tugas berat yang diemban mufassir, sejak zaman dahulu hingga sekarang. Problema itulah melahirkan metode-metode dan tafsir-tafsir dengan berbagai corak dan ragamnya, dengan berbagai dinamika dan pergulatannya, sebagaimana kita kenal dewasa ini.

Selain itu, problema yang muncul adalah penafsiran Al-Qur’an hanya baru sampai kepada masalah hukum (fiqih) saja, sedangkan manusia memiliki aspek kehidupan yang sangat luas, seperti sosial (muamalah), politik (siyasah), pendidikan, ilmu dan lain-lain. Agar Al-Qur’an itu menjadi sumber pedoman hidup manusia yang utuh, seyogyanya aspek-aspek yang lain tersebut memiliki sorotan penafsiran yang sama sebagaimana halnya Al-Qur’an berbicara mengenai hukum.

Berbagai usaha untuk mengerti dan memahami al-Quran kiranya telah menjadi usaha utama umat muslim untuk menegakkan agama Islam di muka bumi. Usaha menafsirkan al-Quran juga menarik perhatian para orientalis. Bertambahlah khasanah keilmuan dengan persaingan orintalis dan para ulama dalam menafsirkan al-Quran.

Namun terdapat perbedaan mencolok antara penafsiran al-Quran yang dilakukan orientalis dengan penafsiran para ulama. Apabila orientalis menggali kelamahan al-Quran.para ulama menggali kelebihan dan mukjizat al-Quran. Oriental dalam menafsirkan al-Quran menggunakan metode ilmiah, sedanglan paa ulama menggunakan metode penafsiran khusus yang meletakkan al-Quran sebagai kalam Allah.

Para orientalis berpendapat bahwa al-Quran merupaka kitab buatan manusia yang didalamnya banyak pengulangan, parsial,bertentangan satu ayat dengan ayat lain, dan tidak dimengerti maksud tujuannya. Dengan berbagai selintingan yang diungkapkan itu para ulama makin terpacu untuk menggali kebenaran al-Quran dengan pengembangan berbagai metode ilmiah pula.

Kebebasan ilmiah sangat dikenal dan merupakan tradisi Islam. Halini masuk dalam riset dan observasi fenomena-fenomena keajaiban ilmu pengetahuan yang ada dalamal-Quran. Hal ini didasari oleh:

1. Tidak ada kontradiksi antara hakikat ilmu pengetahuan dengan hakikat Qurani.

2. Teori ilmu pengetahuan senantiasa berubah-ubah merupakan hal yang tidak benar

3. Tafsir ilmiah tidak akan mempengaruhi kekuatan otentitas nash al-Quran dan mukjizatnya.

0 komentar:

About Me

Foto Saya
Lingga S. Anshary
sulit sekali untuk mengambil keputusan, namun setelah keputusan diambil yang ada hanya kelegaan karena kita hanya harus melakukannya...
Lihat profil lengkapku
Selamat Datang
di Halamanku,,,,

Penayangan bulan lalu

Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer