Sabtu, 02 April 2011
Hikmah Di Balik Musibah
Musibah. Pada dasarnya merupakan sesuatu yang begitu akrab dengan kehidupan kita. Adakah orang yang tidak pernah mendapatkan musibah? Tentu tak ada. Musibah adalah salah satu bentuk ujian yang diberikan Allah kepada manusia. la adalah sunnatullah yang berlaku atas para hamba-Nya. la bukan berlaku pada orang-orang yang lalai dan jauh dari nilai-nilai agama saja. Namun ia juga menimpa orang-orang mukmin dan orang-orang yang bertakwa. Bahkan, semakin tinggi kedudukan seorang hamba di sisi Allah, maka semakin berat ujian dan cobaan yang diberikan Allah kepadanya. Karena Dia akan menguji keimanan dan ketabahan hamba yang dicintai-Nya
Sebagai contoh, bangsa kita tercinta yang sering dirundung dan didera dengan berbagai musibah, mulai dari gelombang tsunami, lumpur Lapindo, flu burung, busung lapar, gizi buruk, harga melonjak ditambah seabreg permasalahan nasional yang tak kunjung teratasi, akan tetapi sayangnya sedikit yang bisa mengambil hikmah dari musibah yang sedang kita derita. Ujian yang semestinya mendongkrak kualitas keimanan dan mengantar pada keberkahan ternyata sering membawa kepada murka Allah. Tak lain karena orang yang terkena musibah tak mampu bersikap benar saat menghadapinya.
Sesungguhnya di balik musibah itu terdapat hikmah dan pelajaran yang banyak bagi mereka yang bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Allah yang telah mentakdirkan itu semua untuk hamba-Nya, di antara hikmah yang bisa kita petik antara lain adalah:
1. Musibah akan mendidik jiwa dan menyucikannya dari dosa dan kemaksiatan.
Allah Ta'ala berfirman:
وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَن كَثِيرٍ ( الشورى: 30)
artinya, “Apa saja musibah yang menimpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS asy Syura: 30)
Dalam ayat ini terdapat kabar gembira sekaligus ancaman jika kita mengetahui bahwa musibah yang kita alami adalah merupakan hukuman atas dosa-dosa kita. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: ”Tidak ada penyakit, kesedihan dan bahaya yang menimpa seorang mukmin hinggga duri yang menusuknya melain-kan Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya dengan semua itu.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits lain beliau bersabda:“Cobaan senantiasa akan menimpa seorang mukmin, keluarga, harta dan anaknya hingga dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa.”
Sebagian ulama salaf berkata, “Kalau bukan karena musibah-musibah yang kita alami di dunia, niscaya kita akan datang di hari kiamat dalam keadaan pailit.”
2. Mendapatkan kebahagiaan (pahala) tak terhingga di akhirat.
Itu merupakan balasan dari musibah yang diderita oleh seorang hamba sewaktu di dunia, sebab kegetiran hidup yang dirasakan seorang hamba ketika di dunia akan berubah menjadi kenikmatan di akhirat dan sebaliknya. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ”Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.”
Dan dalam hadits lain disebutkan, ”Kematian adalah hiburan bagi orang beriman.” (HR .Ibnu Abi ad Dunya dengan sanad Hasan).
3. Sebagai parameter kesabaran seorang hamba.
Sebagaimana dituturkan, bahwa seandainya tidak ada ujian maka tidak akan tampak keutamaan sabar. Apabila ada kesabaran maka akan muncul segala macam kebaikan yang menyertainya, namun jika tidak ada kesabaran maka akan lenyap pula kebaikan itu.
Anas Radhiallaahu anhu meriwayatkan sebuah hadits secara marfu’, “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya cobaan. Jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan mengujinya dengan cobaan. Barang siapa yang ridha atas cobaan tersebut maka dia mendapat keridhaan Allah dan barang siapa yang berkeluh kesah (marah) maka ia akan mendapat murka Allah.”
Apabila seorang hamba bersabar dan imannya tetap tegar maka akan ditulis namanya dalam daftar orang-orang yang sabar. Apabila kesabaran itu memunculkan sikap ridha maka ia akan ditulis dalam daftar orang-orang yang ridha. Dan jikalau memunculkan pujian dan syukur kepada Allah maka dia akan ditulis namanya bersama-sama orang yang bersyukur. Jika Allah mengaruniai sikap sabar dan syukur kepada seorang hamba maka setiap ketetapan Allah yang berlaku padanya akan menjadi baik semuanya.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan kondisi seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Jika memperoleh kelapangan lalu ia bersyukur maka itu adalah baik baginya. Dan jika ditimpa kesempitan lalu ia bersabar maka itu pun baik baginya (juga).”
4- Dapat memurnikan tauhid dan menautkan hati kepada Allah.
Wahab bin Munabbih berkata, “Allah menurunkan cobaan supaya hamba memanjatkan do’a dengan sebab bala itu.”
Dalam surat Fushilat ayat 51 Allah berfirman,
وَإِذَآ أَنْعَمْنَا عَلَى اْلإِنسَانِ أَعْرَضَ وَنَئَا بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَآءٍ عَرِيضٍ (فصلت:51 )
artinya, “Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia banyak berdo’a.”
Musibah dapat menyebabkan seorang hamba berdoa dengan sungguh-sungguh, tawakal dan ikhlas dalam memohon. Dengan kembali kepada Allah (inabah) seorang hamba akan merasakan manisnya iman, yang lebih nikmat dari lenyapnya penyakit yang diderita. Apabila seseorang ditimpa musibah baik berupa kefakiran, penyakit dan lainnya maka hendaknya hanya berdo’a dan memohon pertolongan kepada Allah saja sebagiamana dilakukan oleh Nabi Ayyub 'Alaihis Salam yang berdoa, “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya, ”(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. (QS. Al Anbiyaa :83)
5. Memunculkan berbagai macam ibadah yang menyertainya.
Di antara ibadah yang muncul adalah ibadah hati berupa khasyyah (rasa takut) kepada Allah. Berapa banyak musibah yang menyebabkan seorang hamba menjadi istiqamah dalam agamanya, berlari mendekat kepada Allah menjauhkan diri dari kesesatan.
6. Dapat mengikis sikap sombong, ujub dan besar kepala.
Jika seorang hamba kondisinya serba baik dan tak pernah ditimpa musibah maka biasanya ia akan bertindak melampaui batas, lupa awal kejadiannya dan lupa tujuan akhir dari kehidupannya. Akan tetapi ketika ia ditimpa sakit, mengeluarkan berbagai kotoran, bau tak sedap,dahak dan terpaksa harus lapar, kesakitan bahkan mati, maka ia tak mampu memberi manfaat dan menolak bahaya dari dirinya. Dia tak akan mampu menguasai kematian, terkadang ia ingin mengetahui sesuatu tetapi tak kuasa, ingin mengingat sesuatu namun tetap saja lupa. Tak ada yang dapat ia lakukan untuk dirinya, demikian pula orang lain tak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya. Maka apakah pantas baginya menyombongkan diri di hadapan Allah dan sesama manusia?
7. Memperkuat harapan (raja’) kepada Allah.
Harapan atau raja’ merupakan ibadah yang sangat utama, karena menyebabkan seorang hamba hatinya tertambat kepada Allah dengan kuat. Apalagi orang yang terkena musibah besar, maka dalam kondisi seperti ini satu-satunya yang jadi tumpuan harapan hanyalah Allah semata, sehingga ia mengadu: “Ya Allah tak ada lagi harapan untuk keluar dari bencana ini kecuali hanya kepada-Mu.” Dan banyak terbukti ketika seseorang dalam keadaan kritis, ketika para dokter sudah angkat tangan namun dengan permohonan yang sungguh-sungguh kepada Allah ia dapat sembuh dan sehat kembali. Dan ibadah raja’ ini tak akan bisa terwujud dengan utuh dan sempurna jika seseorang tidak dalam keadaan kritis.
8. Merupakan indikasi bahwa Allah menghendaki kebaikan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’ bahwa Rasulullah n bersabda, ”Barang siapa yang dikehen-daki oleh Allah kebaikan maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR al Bukhari). Seorang mukmin meskipun hidupnya sarat dengan ujian dan musibah namun hati dan jiwanya tetap sehat.
9. Allah tetap menulis pahala kebaikan yang biasa dilakukan oleh orang yang sakit.
Meskipun ia tidak lagi dapat melakukannya atau dapat melakukan namun tidak dengan sem-purna. Hal ini dikarenakan seandainya ia tidak terhalang sakit tentu ia akan tetap melakukan kebajikan tersebut, maka sakinya tidaklah menghalangi pahala meskipun menghalanginya untuk melakukan amalan. Hal ini akan terus berlanjut selagi dia (orang yang sakit) masih dalam niat atau janji untuk terus melakukan kebaikan tersebut. Dari Abdullah bin Amr dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam, ”Tidak seorangpun yang ditimpa bala pada jasadnya melainkan Allah memerintah-kan kepada para malaikat untuk menjaganya, Allah berfirman kepada malaikat itu, “Tulislah untuk hamba-Ku siang dan malam amal shaleh yang (biasa) ia kerjakan selama ia masih dalam perjanjian denganKu.” (HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya)
12. Dengan adanya musibah seseorang akan mengetahui betapa besarnya nikmat keselamatan dan 'afiyah
Jika seseorang selalu dalam keadaan senang dan sehat maka ia tidak akan mengetahui derita orang yang tertimpa cobaan dan kesusahan, dan ia tidak akan tahu pula besarnya nikmat yang ia peroleh. Maka ketika seorang hamba terkena musibah, diharapkan agar ia bisa betapa mahalnya nikmat yang selama ini ia terima dari Allah .
Hendaknya seorang hamba bersabar dan memuji Allah ketika tertimpa musibah, sebab walaupun ia sedang terkena musibah sesungguhnya masih ada orang yang lebih susah darinya, dan jika tertimpa kefakiran maka pasti ada yang lebih fakir lagi. Hendaknya ia melihat musibah yang sedang diterimanya dengan keridhaan dan kesabaran serta berserah diri kepada Allah Dzat yang telah mentakdirkan musibah itu untuknya sebagai ujian atas keimanan dan kesabarannya.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menukil ucapan ‘Ali bin Abu Thalib radhiallahu 'anhu: “Tidaklah turun musibah kecuali dengan sebab dosa dan tidaklah musibah diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali dengan bertobat.” (Al-Jawabul Kafi hal. 118)
Oleh karena itulah marilah kita kembali kepada Allah dengan bertaubat dari segala dosa dan khilaf serta menginstropeksi diri kita masing-masing, apakah kita termasuk orang yang terkena musibah sebagai cobaan dan ujian keimanan kita ataukah termasuk mereka- wal'iyadzubillah- yang sedang disiksa dan dimurkai oleh Allah karena kita tidak mau beribadah dan banyak melanggar larangan-larangan-Nya.
Refrensi:
- Min fawaidil maradh - Darul Wathan
Sebagai contoh, bangsa kita tercinta yang sering dirundung dan didera dengan berbagai musibah, mulai dari gelombang tsunami, lumpur Lapindo, flu burung, busung lapar, gizi buruk, harga melonjak ditambah seabreg permasalahan nasional yang tak kunjung teratasi, akan tetapi sayangnya sedikit yang bisa mengambil hikmah dari musibah yang sedang kita derita. Ujian yang semestinya mendongkrak kualitas keimanan dan mengantar pada keberkahan ternyata sering membawa kepada murka Allah. Tak lain karena orang yang terkena musibah tak mampu bersikap benar saat menghadapinya.
Sesungguhnya di balik musibah itu terdapat hikmah dan pelajaran yang banyak bagi mereka yang bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Allah yang telah mentakdirkan itu semua untuk hamba-Nya, di antara hikmah yang bisa kita petik antara lain adalah:
1. Musibah akan mendidik jiwa dan menyucikannya dari dosa dan kemaksiatan.
Allah Ta'ala berfirman:
وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَن كَثِيرٍ ( الشورى: 30)
artinya, “Apa saja musibah yang menimpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS asy Syura: 30)
Dalam ayat ini terdapat kabar gembira sekaligus ancaman jika kita mengetahui bahwa musibah yang kita alami adalah merupakan hukuman atas dosa-dosa kita. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: ”Tidak ada penyakit, kesedihan dan bahaya yang menimpa seorang mukmin hinggga duri yang menusuknya melain-kan Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya dengan semua itu.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits lain beliau bersabda:“Cobaan senantiasa akan menimpa seorang mukmin, keluarga, harta dan anaknya hingga dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa.”
Sebagian ulama salaf berkata, “Kalau bukan karena musibah-musibah yang kita alami di dunia, niscaya kita akan datang di hari kiamat dalam keadaan pailit.”
2. Mendapatkan kebahagiaan (pahala) tak terhingga di akhirat.
Itu merupakan balasan dari musibah yang diderita oleh seorang hamba sewaktu di dunia, sebab kegetiran hidup yang dirasakan seorang hamba ketika di dunia akan berubah menjadi kenikmatan di akhirat dan sebaliknya. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ”Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.”
Dan dalam hadits lain disebutkan, ”Kematian adalah hiburan bagi orang beriman.” (HR .Ibnu Abi ad Dunya dengan sanad Hasan).
3. Sebagai parameter kesabaran seorang hamba.
Sebagaimana dituturkan, bahwa seandainya tidak ada ujian maka tidak akan tampak keutamaan sabar. Apabila ada kesabaran maka akan muncul segala macam kebaikan yang menyertainya, namun jika tidak ada kesabaran maka akan lenyap pula kebaikan itu.
Anas Radhiallaahu anhu meriwayatkan sebuah hadits secara marfu’, “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya cobaan. Jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan mengujinya dengan cobaan. Barang siapa yang ridha atas cobaan tersebut maka dia mendapat keridhaan Allah dan barang siapa yang berkeluh kesah (marah) maka ia akan mendapat murka Allah.”
Apabila seorang hamba bersabar dan imannya tetap tegar maka akan ditulis namanya dalam daftar orang-orang yang sabar. Apabila kesabaran itu memunculkan sikap ridha maka ia akan ditulis dalam daftar orang-orang yang ridha. Dan jikalau memunculkan pujian dan syukur kepada Allah maka dia akan ditulis namanya bersama-sama orang yang bersyukur. Jika Allah mengaruniai sikap sabar dan syukur kepada seorang hamba maka setiap ketetapan Allah yang berlaku padanya akan menjadi baik semuanya.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan kondisi seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Jika memperoleh kelapangan lalu ia bersyukur maka itu adalah baik baginya. Dan jika ditimpa kesempitan lalu ia bersabar maka itu pun baik baginya (juga).”
4- Dapat memurnikan tauhid dan menautkan hati kepada Allah.
Wahab bin Munabbih berkata, “Allah menurunkan cobaan supaya hamba memanjatkan do’a dengan sebab bala itu.”
Dalam surat Fushilat ayat 51 Allah berfirman,
وَإِذَآ أَنْعَمْنَا عَلَى اْلإِنسَانِ أَعْرَضَ وَنَئَا بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَآءٍ عَرِيضٍ (فصلت:51 )
artinya, “Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia banyak berdo’a.”
Musibah dapat menyebabkan seorang hamba berdoa dengan sungguh-sungguh, tawakal dan ikhlas dalam memohon. Dengan kembali kepada Allah (inabah) seorang hamba akan merasakan manisnya iman, yang lebih nikmat dari lenyapnya penyakit yang diderita. Apabila seseorang ditimpa musibah baik berupa kefakiran, penyakit dan lainnya maka hendaknya hanya berdo’a dan memohon pertolongan kepada Allah saja sebagiamana dilakukan oleh Nabi Ayyub 'Alaihis Salam yang berdoa, “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya, ”(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. (QS. Al Anbiyaa :83)
5. Memunculkan berbagai macam ibadah yang menyertainya.
Di antara ibadah yang muncul adalah ibadah hati berupa khasyyah (rasa takut) kepada Allah. Berapa banyak musibah yang menyebabkan seorang hamba menjadi istiqamah dalam agamanya, berlari mendekat kepada Allah menjauhkan diri dari kesesatan.
6. Dapat mengikis sikap sombong, ujub dan besar kepala.
Jika seorang hamba kondisinya serba baik dan tak pernah ditimpa musibah maka biasanya ia akan bertindak melampaui batas, lupa awal kejadiannya dan lupa tujuan akhir dari kehidupannya. Akan tetapi ketika ia ditimpa sakit, mengeluarkan berbagai kotoran, bau tak sedap,dahak dan terpaksa harus lapar, kesakitan bahkan mati, maka ia tak mampu memberi manfaat dan menolak bahaya dari dirinya. Dia tak akan mampu menguasai kematian, terkadang ia ingin mengetahui sesuatu tetapi tak kuasa, ingin mengingat sesuatu namun tetap saja lupa. Tak ada yang dapat ia lakukan untuk dirinya, demikian pula orang lain tak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya. Maka apakah pantas baginya menyombongkan diri di hadapan Allah dan sesama manusia?
7. Memperkuat harapan (raja’) kepada Allah.
Harapan atau raja’ merupakan ibadah yang sangat utama, karena menyebabkan seorang hamba hatinya tertambat kepada Allah dengan kuat. Apalagi orang yang terkena musibah besar, maka dalam kondisi seperti ini satu-satunya yang jadi tumpuan harapan hanyalah Allah semata, sehingga ia mengadu: “Ya Allah tak ada lagi harapan untuk keluar dari bencana ini kecuali hanya kepada-Mu.” Dan banyak terbukti ketika seseorang dalam keadaan kritis, ketika para dokter sudah angkat tangan namun dengan permohonan yang sungguh-sungguh kepada Allah ia dapat sembuh dan sehat kembali. Dan ibadah raja’ ini tak akan bisa terwujud dengan utuh dan sempurna jika seseorang tidak dalam keadaan kritis.
8. Merupakan indikasi bahwa Allah menghendaki kebaikan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’ bahwa Rasulullah n bersabda, ”Barang siapa yang dikehen-daki oleh Allah kebaikan maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR al Bukhari). Seorang mukmin meskipun hidupnya sarat dengan ujian dan musibah namun hati dan jiwanya tetap sehat.
9. Allah tetap menulis pahala kebaikan yang biasa dilakukan oleh orang yang sakit.
Meskipun ia tidak lagi dapat melakukannya atau dapat melakukan namun tidak dengan sem-purna. Hal ini dikarenakan seandainya ia tidak terhalang sakit tentu ia akan tetap melakukan kebajikan tersebut, maka sakinya tidaklah menghalangi pahala meskipun menghalanginya untuk melakukan amalan. Hal ini akan terus berlanjut selagi dia (orang yang sakit) masih dalam niat atau janji untuk terus melakukan kebaikan tersebut. Dari Abdullah bin Amr dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam, ”Tidak seorangpun yang ditimpa bala pada jasadnya melainkan Allah memerintah-kan kepada para malaikat untuk menjaganya, Allah berfirman kepada malaikat itu, “Tulislah untuk hamba-Ku siang dan malam amal shaleh yang (biasa) ia kerjakan selama ia masih dalam perjanjian denganKu.” (HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya)
12. Dengan adanya musibah seseorang akan mengetahui betapa besarnya nikmat keselamatan dan 'afiyah
Jika seseorang selalu dalam keadaan senang dan sehat maka ia tidak akan mengetahui derita orang yang tertimpa cobaan dan kesusahan, dan ia tidak akan tahu pula besarnya nikmat yang ia peroleh. Maka ketika seorang hamba terkena musibah, diharapkan agar ia bisa betapa mahalnya nikmat yang selama ini ia terima dari Allah .
Hendaknya seorang hamba bersabar dan memuji Allah ketika tertimpa musibah, sebab walaupun ia sedang terkena musibah sesungguhnya masih ada orang yang lebih susah darinya, dan jika tertimpa kefakiran maka pasti ada yang lebih fakir lagi. Hendaknya ia melihat musibah yang sedang diterimanya dengan keridhaan dan kesabaran serta berserah diri kepada Allah Dzat yang telah mentakdirkan musibah itu untuknya sebagai ujian atas keimanan dan kesabarannya.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menukil ucapan ‘Ali bin Abu Thalib radhiallahu 'anhu: “Tidaklah turun musibah kecuali dengan sebab dosa dan tidaklah musibah diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali dengan bertobat.” (Al-Jawabul Kafi hal. 118)
Oleh karena itulah marilah kita kembali kepada Allah dengan bertaubat dari segala dosa dan khilaf serta menginstropeksi diri kita masing-masing, apakah kita termasuk orang yang terkena musibah sebagai cobaan dan ujian keimanan kita ataukah termasuk mereka- wal'iyadzubillah- yang sedang disiksa dan dimurkai oleh Allah karena kita tidak mau beribadah dan banyak melanggar larangan-larangan-Nya.
Refrensi:
- Min fawaidil maradh - Darul Wathan
Label:
Edukasi
|
0
komentar
LEARN FROM JAPAN Nasionalisme Yang Kokoh Saat Musibah Melanda
Gempa bumi berkekuatan 8,9 skala richter disertai tsunami telah mengguncang Jepang pada 11 Maret 2011. Pusat gempa tepat berada 130 km di lepas pantai timur Kota Sendai atau 400 km di timur laut Tokyo pada kedalaman 24,4 km. Gempa bumi ini menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat setinggi 10 m di sekitar Kota Sendai.
Kita tentunya prihatin dengan peristiwa ini. Namun, dari peristiwa ini kita bisa belajar banyak bagaimana Pemerintah Jepang beserta rakyatnya menangani fase responsif di dalam manajemen bencana gempa.
Saya melihat di berbagai tayangan berita yang menampilkan kejadian saat Tsunami, warga Jepang telah memiliki kesadaran dan kesiapsiagaan terhadap bencana gempa. Karena negara dalam wilayah rawan gempa, masyarakat telah mendapatkan sosialisasi bencana gempa bumi. Mereka mencari tempat berlindung terdekat, di kolong meja ataupun di mana mereka merasa aman. Masyarakat terkesan sudah sangat terlatih dengan bencana gempa.
Antisipasi mengatasi gempa menjadi salah satu kurikulum wajib bagi siswa sekolah dasar di Jepang. Latihan antisipasi gempa dan tsunami, selalu dilakukan berkali-kali. Negri Ninja ini juga satu-satunya Negara di dunia yang memiliki Kementrian Penanganan Bencana (Disaster Management Ministry) yang setiap tahunnya memiliki anggaran beratus-ratus miliar.
Sekalipun dalam kondisi krisis akibat gempa bumi dan tsunami, disusul radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima Daiichi, masyarakat Jepang menunjukkan kebersamaan dan kekuatan karakter untuk bangkit kembali. Sikap itu berangkat dari kemauan melakukan otokritik atas apa yang sudah dipersiapkan dan apa yang seharusnya dilakukan pada masa depan.
Berbeda dengan Jepang, saat bencana mendera Indonesia, seperti gempa, tsunami, dan letusan gunung berapi yang susul-menyusul dalam enam tahun terakhir, terlihat betul kelemahan bangsa ini, dari ketidaksiapan infrastruktur, kacaunya manajemen bencana, hingga penjarahan oleh masyarakat.
Kekeliruan itu terus berulang hingga gempa dan tsunami terakhir melanda Mentawai serta Gunung Merapi meletus, akhir tahun 2010 lalu.
Bahkan, negara maju lain, seperti Amerika Serikat, terbukti tidak sekuat Jepang saat menangani badai Katrina. Penjarahan terjadi di wilayah Louisiana setelah badai terjadi.
Pakar bencana dan gempa Jepang setelah gempa dan tsunami mengakui, bencana kali ini melampaui perkiraan dan antisipasi yang telah dilakukan. Namun, mereka yakin mampu belajar dari bencana ini untuk bersiap diri lebih baik mengantisipasi bencana berikutnya.
Teruyuki Kato, profesor gempa dari Earthquake Research Institute The University of Tokyo, mengatakan, banyaknya korban yang jatuh dalam gempa bumi dan tsunami terjadi karena pemerintah dan ilmuwan gagal mengantisipasinya.
”Kami sudah menerapkan sistem pencegahan tsunami, juga pendidikan kepada masyarakat agar waspada bencana. Ternyata bencananya lebih besar dari perhitungan,” katanya. Kato mengatakan, para ilmuwan di Jepang sudah memperkirakan terjadi gempa bumi di sekitar Miyagi. ”Perkiraannya terjadi dalam 30 tahun ini dengan kemungkinan 99,9 persen. Kekuatan gempanya diperkirakan hanya 7,4 skala Richter dengan tsunami maksimal 6 meter,” ujarnya.
Karena itu, Pemerintah Jepang telah membangun tanggul di sepanjang pantai dengan ketinggian 10 meter. Ia menambahkan, ”Namun, tsunaminya ternyata lebih besar. Kami harus belajar lebih banyak lagi ke depan.”
Semangat untuk mengoreksi kesalahan dan membangun lebih baik disampaikan Yozo Goto, ahli gempa di universitas yang sama. Gempa Kobe tahun 1981 membuat Pemerintah Jepang menetapkan standar bangunan tahan gempa hingga skala 6 MMI.
Dari pengalaman itu, gempa pekan lalu hampir tidak merusak bangunan dan infrastruktur jembatan, bahkan rel kereta api. ”Yang jadi masalah sekarang, tsunami. Sekuat apa pun bangunannya, kalau kena tsunami, akan terlewati dan bisa roboh. Ini tantangan ke depan,” kata Goto.
Yamamoto Nobuto, profesor di Departemen Politik Keio University, Tokyo, mengatakan, Pemerintah Jepang sebenarnya tak siap dan terlambat mengatasi bencana ini. Penyaluran bantuan kurang baik. Sepekan setelah bencana, distribusi bantuan masih tersendat. Namun, warga Jepang di pengungsian sangat kuat dan tidak mengeluh.
”Masyarakat di pedesaan, khususnya di utara, seperti Tohoku, punya rasa memiliki komunitas yang kuat. Saya lihat tayangan di televisi, ada kakek-kakek di pengungsian yang membuat sumpit karena ingin berbuat sesuatu untuk kepentingan bersama. Intinya, masyarakat tidak akan menuntut banyak,” paparnya.
Di beberapa titik pengungsian di Kesennuma, Miyagi, nyaris tak ada keluhan dari para pengungsi sekalipun mereka dalam kondisi sulit, misalnya tak ada pemanas di tengah suhu di bawah nol derajat celsius. Mereka bersikap tenang dan antre dengan tertib.
Nobuto menambahkan, media massa di Jepang memiliki peran penting membangun karakter bangsa. Saat ada bencana besar, seluruh jam tayang iklan di televisi dibeli pemerintah untuk menyiarkan layanan masyarakat perihal bagaimana seharusnya berbagi dan berbuat baik.
pembentukan karakter dibandingkan dengan kognisi. Nilai tradisional juga dipegang teguh, misalnya ajaran bushido. Mereka diajari untuk bersifat ksatria.
Budaya disiplin dan kejujuran tinggi yang dimiliki warga Jepang juga turut memberi andil pada masyarakat dalam menghadapi bencana gempa. Hal itu tercermin pada saat mereka menghadapi gempa karena tanpa disiplin yang tinggi, masyarakat tidak akan tenang menghadapi gempa bumi. Mereka tetap antri dengan tertib untuk memperoleh jatah bantuan pascagempa utama terjadi dan harga-harga di Tokyo masih stabil. Berbeda dengan pengalaman saat gempa bumi di Yogyakarta 2006, harga sekotak Supermi pun bisa menjadi tiga kali lipat.
Demikian pula dengan penanganan reaktor nuklir di Fukushima, Pemerintah Jepang langsung merespon cepat dengan menyatakan darurat nuklir. Pemerintah pun dengan segera mengevakuasi 200.000 rakyatnya dari radius 20 km dari reaktor nuklir.
Meski masih dalam penanganan para ahli, tingkat radiasi saat ini telah mencapai 160 kali tingkat radiasi normal. Bahkan, empat hari setelah kerusakan reaktor Fukushima, masyarakat Tokyo yang tinggal dalam jarak 250-an km telah diimbau untuk tetap di dalam rumah karena dikhawatirkan terkena debu nuklir.
Kita tentunya prihatin dengan peristiwa ini. Namun, dari peristiwa ini kita bisa belajar banyak bagaimana Pemerintah Jepang beserta rakyatnya menangani fase responsif di dalam manajemen bencana gempa.
Saya melihat di berbagai tayangan berita yang menampilkan kejadian saat Tsunami, warga Jepang telah memiliki kesadaran dan kesiapsiagaan terhadap bencana gempa. Karena negara dalam wilayah rawan gempa, masyarakat telah mendapatkan sosialisasi bencana gempa bumi. Mereka mencari tempat berlindung terdekat, di kolong meja ataupun di mana mereka merasa aman. Masyarakat terkesan sudah sangat terlatih dengan bencana gempa.
Antisipasi mengatasi gempa menjadi salah satu kurikulum wajib bagi siswa sekolah dasar di Jepang. Latihan antisipasi gempa dan tsunami, selalu dilakukan berkali-kali. Negri Ninja ini juga satu-satunya Negara di dunia yang memiliki Kementrian Penanganan Bencana (Disaster Management Ministry) yang setiap tahunnya memiliki anggaran beratus-ratus miliar.
Sekalipun dalam kondisi krisis akibat gempa bumi dan tsunami, disusul radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima Daiichi, masyarakat Jepang menunjukkan kebersamaan dan kekuatan karakter untuk bangkit kembali. Sikap itu berangkat dari kemauan melakukan otokritik atas apa yang sudah dipersiapkan dan apa yang seharusnya dilakukan pada masa depan.
Berbeda dengan Jepang, saat bencana mendera Indonesia, seperti gempa, tsunami, dan letusan gunung berapi yang susul-menyusul dalam enam tahun terakhir, terlihat betul kelemahan bangsa ini, dari ketidaksiapan infrastruktur, kacaunya manajemen bencana, hingga penjarahan oleh masyarakat.
Kekeliruan itu terus berulang hingga gempa dan tsunami terakhir melanda Mentawai serta Gunung Merapi meletus, akhir tahun 2010 lalu.
Bahkan, negara maju lain, seperti Amerika Serikat, terbukti tidak sekuat Jepang saat menangani badai Katrina. Penjarahan terjadi di wilayah Louisiana setelah badai terjadi.
Pakar bencana dan gempa Jepang setelah gempa dan tsunami mengakui, bencana kali ini melampaui perkiraan dan antisipasi yang telah dilakukan. Namun, mereka yakin mampu belajar dari bencana ini untuk bersiap diri lebih baik mengantisipasi bencana berikutnya.
Teruyuki Kato, profesor gempa dari Earthquake Research Institute The University of Tokyo, mengatakan, banyaknya korban yang jatuh dalam gempa bumi dan tsunami terjadi karena pemerintah dan ilmuwan gagal mengantisipasinya.
”Kami sudah menerapkan sistem pencegahan tsunami, juga pendidikan kepada masyarakat agar waspada bencana. Ternyata bencananya lebih besar dari perhitungan,” katanya. Kato mengatakan, para ilmuwan di Jepang sudah memperkirakan terjadi gempa bumi di sekitar Miyagi. ”Perkiraannya terjadi dalam 30 tahun ini dengan kemungkinan 99,9 persen. Kekuatan gempanya diperkirakan hanya 7,4 skala Richter dengan tsunami maksimal 6 meter,” ujarnya.
Karena itu, Pemerintah Jepang telah membangun tanggul di sepanjang pantai dengan ketinggian 10 meter. Ia menambahkan, ”Namun, tsunaminya ternyata lebih besar. Kami harus belajar lebih banyak lagi ke depan.”
Semangat untuk mengoreksi kesalahan dan membangun lebih baik disampaikan Yozo Goto, ahli gempa di universitas yang sama. Gempa Kobe tahun 1981 membuat Pemerintah Jepang menetapkan standar bangunan tahan gempa hingga skala 6 MMI.
Dari pengalaman itu, gempa pekan lalu hampir tidak merusak bangunan dan infrastruktur jembatan, bahkan rel kereta api. ”Yang jadi masalah sekarang, tsunami. Sekuat apa pun bangunannya, kalau kena tsunami, akan terlewati dan bisa roboh. Ini tantangan ke depan,” kata Goto.
Yamamoto Nobuto, profesor di Departemen Politik Keio University, Tokyo, mengatakan, Pemerintah Jepang sebenarnya tak siap dan terlambat mengatasi bencana ini. Penyaluran bantuan kurang baik. Sepekan setelah bencana, distribusi bantuan masih tersendat. Namun, warga Jepang di pengungsian sangat kuat dan tidak mengeluh.
”Masyarakat di pedesaan, khususnya di utara, seperti Tohoku, punya rasa memiliki komunitas yang kuat. Saya lihat tayangan di televisi, ada kakek-kakek di pengungsian yang membuat sumpit karena ingin berbuat sesuatu untuk kepentingan bersama. Intinya, masyarakat tidak akan menuntut banyak,” paparnya.
Di beberapa titik pengungsian di Kesennuma, Miyagi, nyaris tak ada keluhan dari para pengungsi sekalipun mereka dalam kondisi sulit, misalnya tak ada pemanas di tengah suhu di bawah nol derajat celsius. Mereka bersikap tenang dan antre dengan tertib.
Nobuto menambahkan, media massa di Jepang memiliki peran penting membangun karakter bangsa. Saat ada bencana besar, seluruh jam tayang iklan di televisi dibeli pemerintah untuk menyiarkan layanan masyarakat perihal bagaimana seharusnya berbagi dan berbuat baik.
pembentukan karakter dibandingkan dengan kognisi. Nilai tradisional juga dipegang teguh, misalnya ajaran bushido. Mereka diajari untuk bersifat ksatria.
Budaya disiplin dan kejujuran tinggi yang dimiliki warga Jepang juga turut memberi andil pada masyarakat dalam menghadapi bencana gempa. Hal itu tercermin pada saat mereka menghadapi gempa karena tanpa disiplin yang tinggi, masyarakat tidak akan tenang menghadapi gempa bumi. Mereka tetap antri dengan tertib untuk memperoleh jatah bantuan pascagempa utama terjadi dan harga-harga di Tokyo masih stabil. Berbeda dengan pengalaman saat gempa bumi di Yogyakarta 2006, harga sekotak Supermi pun bisa menjadi tiga kali lipat.
Demikian pula dengan penanganan reaktor nuklir di Fukushima, Pemerintah Jepang langsung merespon cepat dengan menyatakan darurat nuklir. Pemerintah pun dengan segera mengevakuasi 200.000 rakyatnya dari radius 20 km dari reaktor nuklir.
Meski masih dalam penanganan para ahli, tingkat radiasi saat ini telah mencapai 160 kali tingkat radiasi normal. Bahkan, empat hari setelah kerusakan reaktor Fukushima, masyarakat Tokyo yang tinggal dalam jarak 250-an km telah diimbau untuk tetap di dalam rumah karena dikhawatirkan terkena debu nuklir.
Label:
Edukasi
|
2
komentar
Selasa, 22 Maret 2011
Kedhaliman Manusia
oleh: Shania_Mamania
Indonesia merupakan negara yang mempunyai letak geografis yang sangat strategis. Terletak sejajar dengan garis khatulistiwa, berbentuk kepulauan, berada dalam rentetan Sirkum Pasifik, diapit oleh benua Asia dan Australia, dan sebagainya. Berbagai keuntungan ini menyebabkan Indonesia menjadi tempat yang kaya akan sumber daya alam.
Jika sumber daya ini diumpamakan sebagai warisan, maka warisan ini tidak akan habis sampai tujuh turunan bahkan lebih. Namun sumber daya ini akan tetap bertahan jika manusia yang mendiami tanahnya mengelola dan melestarikan dengan baik.
Sayangnya, manusia atau penduduk Indonesia yang manja akan limpahan rahmat ini enggan untuk menjaga dan mengelolanya dengan baik. Manusia malah menggerus dan membabat sumber daya alam ini dengan serakah dan seenak hatinya. Tanah Indonesia yang dulunya merupakan hamparan permadani hijau berubah menjadi hamparan hutan gundul yang sakit. Maka tidak heran jika Tuhan marah dan menimpakan musibah pagi penduduk Indonesia.
Tsunami, Gempa bumi, tanah longsor, banjir, angin puting beliung dan sebagainya bukanlah hal yang aneh bisa terjadi di tanah sakit ini. Musibah terus menerus terjadi seolah alam melampiaskan kemarahannya kepada manusia yang telah berbuat lalim kepadanya.
Maka kita sebagai manusia yang berakal harus sadar bahwa segala yang ada di bumi ini adalah titipan Tuhan yang harus dijaga dan dikelola dengan baik. Manusia diberi tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Dengan adanya musibah tadi selayaknya kita sadar akan kesalahan kita dan berusaha untuk memperbaiki dan tidak mengulanginya. Musibah ini dijadikan peringatan agar kita kembali kepada jalan yang lurus, jalan bukan tempat orang-orang yang dhalim.
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Mulailah dari diri sendiri, mulailah mengubah kebiasaan buruk kita yang merusak bumi tercinta ini, mulailah dari sekarang sebelum kita terlambat dan dunia hancur karena kedhaliman kita yang telah teramat besar. Naudzubillahi min dzalik....
Indonesia merupakan negara yang mempunyai letak geografis yang sangat strategis. Terletak sejajar dengan garis khatulistiwa, berbentuk kepulauan, berada dalam rentetan Sirkum Pasifik, diapit oleh benua Asia dan Australia, dan sebagainya. Berbagai keuntungan ini menyebabkan Indonesia menjadi tempat yang kaya akan sumber daya alam.
Jika sumber daya ini diumpamakan sebagai warisan, maka warisan ini tidak akan habis sampai tujuh turunan bahkan lebih. Namun sumber daya ini akan tetap bertahan jika manusia yang mendiami tanahnya mengelola dan melestarikan dengan baik.
Sayangnya, manusia atau penduduk Indonesia yang manja akan limpahan rahmat ini enggan untuk menjaga dan mengelolanya dengan baik. Manusia malah menggerus dan membabat sumber daya alam ini dengan serakah dan seenak hatinya. Tanah Indonesia yang dulunya merupakan hamparan permadani hijau berubah menjadi hamparan hutan gundul yang sakit. Maka tidak heran jika Tuhan marah dan menimpakan musibah pagi penduduk Indonesia.
Tsunami, Gempa bumi, tanah longsor, banjir, angin puting beliung dan sebagainya bukanlah hal yang aneh bisa terjadi di tanah sakit ini. Musibah terus menerus terjadi seolah alam melampiaskan kemarahannya kepada manusia yang telah berbuat lalim kepadanya.
Maka kita sebagai manusia yang berakal harus sadar bahwa segala yang ada di bumi ini adalah titipan Tuhan yang harus dijaga dan dikelola dengan baik. Manusia diberi tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Dengan adanya musibah tadi selayaknya kita sadar akan kesalahan kita dan berusaha untuk memperbaiki dan tidak mengulanginya. Musibah ini dijadikan peringatan agar kita kembali kepada jalan yang lurus, jalan bukan tempat orang-orang yang dhalim.
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Mulailah dari diri sendiri, mulailah mengubah kebiasaan buruk kita yang merusak bumi tercinta ini, mulailah dari sekarang sebelum kita terlambat dan dunia hancur karena kedhaliman kita yang telah teramat besar. Naudzubillahi min dzalik....
Label:
Edukasi
|
0
komentar
Syi’ah dan Abdullah Bin Saba
Oleh: Erna Monica
Dalam sejarah timbulnya Syi’ah terdapat seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang masuk agama Islam, bernama Abdullah bin Saba. Setelah masuk Islam, ia datang ke Madinah pada akhir tahun kekuasaan khalifah Sayyidina Usman Bin Affan, yaitu sekitar tahun 30 H.
Orang ini kebetulan tidak begitu mendapat penghargaan dari khalifah Usman dan orang-orang besar di Madinah seperti apa yang diharapkannya. Ia menyangka kalau ia datang ke Madinah ia akan disambut dengan kebesaran sebab ia adalah seorang pendeta besar dari Yahudi Yaman yang masuk Islam. Harapannya ini meleset, maka karena itu ia jengkel.
Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa masuknya Abdullah bin Saba ke dalam Islam adalah dengan tujuan untuk mengacaukan Islam dari dalam, karena mereka tak sanggup mengacaukan Islam dari luar.
Pada mulanya ia benci kepada khalifah Sayyidina Usman karena khalifah tak menyambutnya. Ia membangunkan gerakan anti Sayyidina Usman dan berusaha meruntuhkannya dan menggantinya dengan Sayyidina ‘Ali.
Usaha Abdullah bin Saba ini mendapatkan dukungan di kota-kota besar umat Islam ketika itu, seperti di Madinah, di Mesir, di Kuffah, Basrah dll, karena kebetulan orang-orang sudah banyak pula yang tidak suka dengan kepemimpinan Sayyidina Usman, karena beliau banyak mengangkat orang-orang dari suku beliau, yaitu orang-orang dari Bani Umayah menjadi pengusaha-pengusaha daerah.
Demi untuk menjatuhkan dan mengalahkan Sayyidina Usman ra, Abdullah bin Saba pergi ke Mesir, ke Kuffah, ke Basrah, Damsik dan berbagai kota untuk membikin propaganda tentang keagungan Sayyidina Ali.
Abdullah bin Saba sangat berlebihan dalam mengagungkan Sayyidina Ali dan sangat berani membuat hadits-hadits palsu yang bertujuan mengagungkan begitu rupa dan merendahkan Sayyidina Usman, Umar, dan Abu Bakar yaitu khalifah-khalifah yang terdahulu. Di antara ajaran Abdullah bin Saba adalah Al Wishayah artinya wasiat, Ar Raj’ah ialah kembali, dan ketuhanan Ali.
Melihat ganjilnya pelajaran-pelajaran Ibn Saba ini, maka sebagaian kaum Syi’ah mengatakan bahwa Abdullah bin Saba itu sebenarnya orangnya tidak ada, Saba itu hanya dibuat-buat saja oleh orang-orang yang anti Syi’ah tetapi menurut Ahmad Amin, keingkaran orang-orang Syi’ah sekarang tidak beralasan, karena kitab-kitab sejarah Islam yang lama menetapkan adanya Abdullah bin Saba ini. Kaum Syi’ah mendustakan adanya Ibn Saba karena malu melihat ajaran-ajarannya yang keji ini.
Nasib Abdullah bin Saba ini pada akhir hayatnya menjadi orang buangan yang dibuang oleh Sayyidina Ali. Sesudah beliau menjadi khalifah. Pada suatu hari ia datang kepada Sayyidina Ali dan mengatakan kepada beliau : “ anta, anta” (engkkau, engkau ) yakni : engkaulah yang Tuhan. Sayyidina Ali marah kepadanya dan ditangkap, lalu dibuang ke Madain (lihat” al milal wan nihal” juz 1, hal 174 ).
Dalam sejarah timbulnya Syi’ah terdapat seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang masuk agama Islam, bernama Abdullah bin Saba. Setelah masuk Islam, ia datang ke Madinah pada akhir tahun kekuasaan khalifah Sayyidina Usman Bin Affan, yaitu sekitar tahun 30 H.
Orang ini kebetulan tidak begitu mendapat penghargaan dari khalifah Usman dan orang-orang besar di Madinah seperti apa yang diharapkannya. Ia menyangka kalau ia datang ke Madinah ia akan disambut dengan kebesaran sebab ia adalah seorang pendeta besar dari Yahudi Yaman yang masuk Islam. Harapannya ini meleset, maka karena itu ia jengkel.
Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa masuknya Abdullah bin Saba ke dalam Islam adalah dengan tujuan untuk mengacaukan Islam dari dalam, karena mereka tak sanggup mengacaukan Islam dari luar.
Pada mulanya ia benci kepada khalifah Sayyidina Usman karena khalifah tak menyambutnya. Ia membangunkan gerakan anti Sayyidina Usman dan berusaha meruntuhkannya dan menggantinya dengan Sayyidina ‘Ali.
Usaha Abdullah bin Saba ini mendapatkan dukungan di kota-kota besar umat Islam ketika itu, seperti di Madinah, di Mesir, di Kuffah, Basrah dll, karena kebetulan orang-orang sudah banyak pula yang tidak suka dengan kepemimpinan Sayyidina Usman, karena beliau banyak mengangkat orang-orang dari suku beliau, yaitu orang-orang dari Bani Umayah menjadi pengusaha-pengusaha daerah.
Demi untuk menjatuhkan dan mengalahkan Sayyidina Usman ra, Abdullah bin Saba pergi ke Mesir, ke Kuffah, ke Basrah, Damsik dan berbagai kota untuk membikin propaganda tentang keagungan Sayyidina Ali.
Abdullah bin Saba sangat berlebihan dalam mengagungkan Sayyidina Ali dan sangat berani membuat hadits-hadits palsu yang bertujuan mengagungkan begitu rupa dan merendahkan Sayyidina Usman, Umar, dan Abu Bakar yaitu khalifah-khalifah yang terdahulu. Di antara ajaran Abdullah bin Saba adalah Al Wishayah artinya wasiat, Ar Raj’ah ialah kembali, dan ketuhanan Ali.
Melihat ganjilnya pelajaran-pelajaran Ibn Saba ini, maka sebagaian kaum Syi’ah mengatakan bahwa Abdullah bin Saba itu sebenarnya orangnya tidak ada, Saba itu hanya dibuat-buat saja oleh orang-orang yang anti Syi’ah tetapi menurut Ahmad Amin, keingkaran orang-orang Syi’ah sekarang tidak beralasan, karena kitab-kitab sejarah Islam yang lama menetapkan adanya Abdullah bin Saba ini. Kaum Syi’ah mendustakan adanya Ibn Saba karena malu melihat ajaran-ajarannya yang keji ini.
Nasib Abdullah bin Saba ini pada akhir hayatnya menjadi orang buangan yang dibuang oleh Sayyidina Ali. Sesudah beliau menjadi khalifah. Pada suatu hari ia datang kepada Sayyidina Ali dan mengatakan kepada beliau : “ anta, anta” (engkkau, engkau ) yakni : engkaulah yang Tuhan. Sayyidina Ali marah kepadanya dan ditangkap, lalu dibuang ke Madain (lihat” al milal wan nihal” juz 1, hal 174 ).
SEJARAH RINGKAS FAHAM SYI’AH
oleh: Erna Monica
Kata Syiah berasal dari bahasa Arab yang artinya pengikut, juga mengandung makna pendukung dan pecinta, juga dapat diartikan kelompok. Syi’ah ‘Ali berarti menurut bahasa Arab “pengikut ‘Ali”. Tetapi arti “kaum syi’ah” menurut istilah yang dipakai dalam lingkungan umat islam ialah kaum yang beri’tiqad bahwa Sayyidina ‘Ali adalah orang yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi, karena Nabi berwasiat bahwa pengganti beliau sesudah wafat adalah Sayyidina ‘Ali.
Pada zaman Nabi penggunaan kata syiah dalam pengertian berpihak atau memilih golongan Ali sudah ada, baik sebelum maupun sesudah wafat Nabi. Pada masa itu syi’ah bermakna suatu golongan aliran faham yang berpegang pada Ali bin Abi Thalib, baik ketika Nabi masih hidup maupun sesudah wafat Nabi, dikenal dengan ketaatannya dalam keputusan dan keimanannya seperti yang diperbuat oleh Miqdad bin Aswad, Salman Al-Farisi, Abu Zar, Jundub bin Junadah al-Ghifari, Ammar bin Yassar, dan orang-orang yang bersimpati kepada kepribadian Ali abi Thalib. Orang-orang inilah yang mula-mula menggunakan nama Syi’ah.
Ada satu persoalan mengenai keimanan syi’ah ini, yaitu persoalan sesudah Nabi, mengapa harus Ali?
Menurut Kaum Syi’ah hukum imam sesudah Nabi wajib jatuh kepada Ali bin Abi Thalib dikarenakan dua alasan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, yakni:
Pertama dalam QS al-Maidah: 55
“Adapun imam kamu itu Allah dan Rasulnya, kemudian mereka yang beriman, yang mendirikan sembahyang, membayar zakat dan mereka itu sedang ruku’”
Ayat ini turun dengan disepakati oleh semua ahli tafsir mengenai Ali bin Abi Thalib, yang konon ketika itu sedang ruku’, sebagai menjawab pertanyaan orang, siapa yang harus ditaati.
Kedua sebagai alasan dari Sunnah. Orang-orang Syi’ah mengemukakan sebuah hadits di mana Rasulullah sedang berbicara dengan Ali bin Abi Thalib, yang berbunyi demikian “Engkau terhadapku seperti Harun dan Musa. Barang siapa yang ingin mencari wali (imam), maka Ali-lah yang akan jadi walinya.....Engkau saudaraku, engkau tempat wasiatku, dan engkau akan jadi khalifahku di kemudian hari.....”.
Muslim Syi'ah percaya bahwa keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga terpercaya dari tradisi Sunnah. Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah. Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan. Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
Syi’ah terpecah menjadi 22 sekte. Dari 22 sekte itu hanya tiga sekte yang masih ada sampai sekarang yakni pertama Syi’ah Itsna Asy’ariyah (Imamiah), dinamakan demikian sebab mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam, aliran ini merupakan aliran terbesar di dalam syi’ah. Kedua Syi’ah Ismailiyah dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang. Dan yang ketiga Syi’ah Zaidiyah atau disebut juga lima imam, dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Thlalib.
Ada beberapa orang kaum orentalist (orang-orang barat yang suka menyelidiki dan menulis soal-soal Islam). Yang menerangkan bahwa faham Sy’ah itu ialah faham yang mencintai Sayyidina ‘Ali atau orang-orang yang mencintai ahli bait Rasulullah.
Keterangan ini keliru, karena kaum ahlu sunnah dan bahkan seluruh umat Islam mencintai ahli bait, khususnya Sayyidina ‘Ali, terbukti dengan do’a shalat seluruh umat Islam yaitu:
اللّهمّ صلىّ على سّيد نا محمّد و على ال سيّد نا محمّد
Artinya : ya Allah shalawatlah atas penghulu kami Muhammad dan atas keluarga penghulu kami Muhammad.
Apakah dengan membaca shalawat yang menunjukkan kecintaan kepada ahli bait Rasulullah dan apakah karena kita mendo’akan Sayyidina ‘Ali di dalam khutbah kita akan menjadi orang Syi’ah?
Tidak, sekali lagi tidak karena cinta kepada Ahli bait dan khususnya mencintai Sayyidina ‘Ali adalah I’tiqad dan faham kaum ahli sunnah waljama’ah juga.
Sayyidina Ali, Siti Fatimah ra, Hasan dan Husain (cucu Nabi) dan Abbas bin Abdul Muthalib bukanlah kaum Syi’ah karena beliau-beliau itu tidak sefaham dengan kaum Syi’ah.
Sejarah telah membuktikan, bahwa Sayyidina Ali serta Siti Fatimah ra. ikut membai’ah (mengangkat Sayyidina Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama, walaupun agak sedikit terlambat), Sayyidina Ali. Ikut membai’ah khalifah yang kedua, yaitu Sayyidina bin Umar bin Khattab ra. Sayyidina Ali juga ikut membai’ah Sayyidina Utsman, khalifah yang ketiga, walaupun beliau termasuk salah seorang calon untuk itu dan termasuk salah seorang anggota pemilih. Beliau tidak mencalonkan dirinya dan tidak memilih dirinya, andai kata ada wasiat Nabi SAW kepadanya, bahwa yang harus menjadi khalifah sesudah Nabi wafat adalah ia sendiri, tentulah beliau tidak akan membai’ah Sayyidina Abu Bakr, Umar, dan Utsman rda.
Andaikata ada wasiyat itu tentulah beliau kemukakan kepada sahabat-sahabat yang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah untuk memilih khalifah yang pertama. Sayyidina Ali mengetahui, bahwa Nabi Muhammad saw. Sebelum wafat tidak ada berwasiyat bahwa khalifah sesudah beliau meninggal adalah Ali.
Dapat disimpulkan bahwa Sayyidina Ali bukanlah orang yang berfaham serupa faham syiah yang mengi’tiqadkan bahwa jabatan imamah adalah dari tunjukan Nabi, dan bahwa beliau ditunjuk oleh Nabi untuk jabatan itu. Selain itu Sayyidina juga bukan penganut faham syiah, bukan termasuk golongan syiah, dan bukan imam kaum syiah saja, tetapi juga imam kaum ahlussunnah waljamaah dalam arti yang luas.
Kata Syiah berasal dari bahasa Arab yang artinya pengikut, juga mengandung makna pendukung dan pecinta, juga dapat diartikan kelompok. Syi’ah ‘Ali berarti menurut bahasa Arab “pengikut ‘Ali”. Tetapi arti “kaum syi’ah” menurut istilah yang dipakai dalam lingkungan umat islam ialah kaum yang beri’tiqad bahwa Sayyidina ‘Ali adalah orang yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi, karena Nabi berwasiat bahwa pengganti beliau sesudah wafat adalah Sayyidina ‘Ali.
Pada zaman Nabi penggunaan kata syiah dalam pengertian berpihak atau memilih golongan Ali sudah ada, baik sebelum maupun sesudah wafat Nabi. Pada masa itu syi’ah bermakna suatu golongan aliran faham yang berpegang pada Ali bin Abi Thalib, baik ketika Nabi masih hidup maupun sesudah wafat Nabi, dikenal dengan ketaatannya dalam keputusan dan keimanannya seperti yang diperbuat oleh Miqdad bin Aswad, Salman Al-Farisi, Abu Zar, Jundub bin Junadah al-Ghifari, Ammar bin Yassar, dan orang-orang yang bersimpati kepada kepribadian Ali abi Thalib. Orang-orang inilah yang mula-mula menggunakan nama Syi’ah.
Ada satu persoalan mengenai keimanan syi’ah ini, yaitu persoalan sesudah Nabi, mengapa harus Ali?
Menurut Kaum Syi’ah hukum imam sesudah Nabi wajib jatuh kepada Ali bin Abi Thalib dikarenakan dua alasan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, yakni:
Pertama dalam QS al-Maidah: 55
“Adapun imam kamu itu Allah dan Rasulnya, kemudian mereka yang beriman, yang mendirikan sembahyang, membayar zakat dan mereka itu sedang ruku’”
Ayat ini turun dengan disepakati oleh semua ahli tafsir mengenai Ali bin Abi Thalib, yang konon ketika itu sedang ruku’, sebagai menjawab pertanyaan orang, siapa yang harus ditaati.
Kedua sebagai alasan dari Sunnah. Orang-orang Syi’ah mengemukakan sebuah hadits di mana Rasulullah sedang berbicara dengan Ali bin Abi Thalib, yang berbunyi demikian “Engkau terhadapku seperti Harun dan Musa. Barang siapa yang ingin mencari wali (imam), maka Ali-lah yang akan jadi walinya.....Engkau saudaraku, engkau tempat wasiatku, dan engkau akan jadi khalifahku di kemudian hari.....”.
Muslim Syi'ah percaya bahwa keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga terpercaya dari tradisi Sunnah. Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah. Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan. Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
Syi’ah terpecah menjadi 22 sekte. Dari 22 sekte itu hanya tiga sekte yang masih ada sampai sekarang yakni pertama Syi’ah Itsna Asy’ariyah (Imamiah), dinamakan demikian sebab mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam, aliran ini merupakan aliran terbesar di dalam syi’ah. Kedua Syi’ah Ismailiyah dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang. Dan yang ketiga Syi’ah Zaidiyah atau disebut juga lima imam, dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Thlalib.
Ada beberapa orang kaum orentalist (orang-orang barat yang suka menyelidiki dan menulis soal-soal Islam). Yang menerangkan bahwa faham Sy’ah itu ialah faham yang mencintai Sayyidina ‘Ali atau orang-orang yang mencintai ahli bait Rasulullah.
Keterangan ini keliru, karena kaum ahlu sunnah dan bahkan seluruh umat Islam mencintai ahli bait, khususnya Sayyidina ‘Ali, terbukti dengan do’a shalat seluruh umat Islam yaitu:
اللّهمّ صلىّ على سّيد نا محمّد و على ال سيّد نا محمّد
Artinya : ya Allah shalawatlah atas penghulu kami Muhammad dan atas keluarga penghulu kami Muhammad.
Apakah dengan membaca shalawat yang menunjukkan kecintaan kepada ahli bait Rasulullah dan apakah karena kita mendo’akan Sayyidina ‘Ali di dalam khutbah kita akan menjadi orang Syi’ah?
Tidak, sekali lagi tidak karena cinta kepada Ahli bait dan khususnya mencintai Sayyidina ‘Ali adalah I’tiqad dan faham kaum ahli sunnah waljama’ah juga.
Sayyidina Ali, Siti Fatimah ra, Hasan dan Husain (cucu Nabi) dan Abbas bin Abdul Muthalib bukanlah kaum Syi’ah karena beliau-beliau itu tidak sefaham dengan kaum Syi’ah.
Sejarah telah membuktikan, bahwa Sayyidina Ali serta Siti Fatimah ra. ikut membai’ah (mengangkat Sayyidina Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama, walaupun agak sedikit terlambat), Sayyidina Ali. Ikut membai’ah khalifah yang kedua, yaitu Sayyidina bin Umar bin Khattab ra. Sayyidina Ali juga ikut membai’ah Sayyidina Utsman, khalifah yang ketiga, walaupun beliau termasuk salah seorang calon untuk itu dan termasuk salah seorang anggota pemilih. Beliau tidak mencalonkan dirinya dan tidak memilih dirinya, andai kata ada wasiat Nabi SAW kepadanya, bahwa yang harus menjadi khalifah sesudah Nabi wafat adalah ia sendiri, tentulah beliau tidak akan membai’ah Sayyidina Abu Bakr, Umar, dan Utsman rda.
Andaikata ada wasiyat itu tentulah beliau kemukakan kepada sahabat-sahabat yang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah untuk memilih khalifah yang pertama. Sayyidina Ali mengetahui, bahwa Nabi Muhammad saw. Sebelum wafat tidak ada berwasiyat bahwa khalifah sesudah beliau meninggal adalah Ali.
Dapat disimpulkan bahwa Sayyidina Ali bukanlah orang yang berfaham serupa faham syiah yang mengi’tiqadkan bahwa jabatan imamah adalah dari tunjukan Nabi, dan bahwa beliau ditunjuk oleh Nabi untuk jabatan itu. Selain itu Sayyidina juga bukan penganut faham syiah, bukan termasuk golongan syiah, dan bukan imam kaum syiah saja, tetapi juga imam kaum ahlussunnah waljamaah dalam arti yang luas.
Langganan:
Postingan (Atom)
About Me
- Lingga S. Anshary
- sulit sekali untuk mengambil keputusan, namun setelah keputusan diambil yang ada hanya kelegaan karena kita hanya harus melakukannya...
Selamat Datang
di Halamanku,,,,
di Halamanku,,,,
Penayangan bulan lalu
Diberdayakan oleh Blogger.