Selasa, 22 Maret 2011
Kedhaliman Manusia
oleh: Shania_Mamania
Indonesia merupakan negara yang mempunyai letak geografis yang sangat strategis. Terletak sejajar dengan garis khatulistiwa, berbentuk kepulauan, berada dalam rentetan Sirkum Pasifik, diapit oleh benua Asia dan Australia, dan sebagainya. Berbagai keuntungan ini menyebabkan Indonesia menjadi tempat yang kaya akan sumber daya alam.
Jika sumber daya ini diumpamakan sebagai warisan, maka warisan ini tidak akan habis sampai tujuh turunan bahkan lebih. Namun sumber daya ini akan tetap bertahan jika manusia yang mendiami tanahnya mengelola dan melestarikan dengan baik.
Sayangnya, manusia atau penduduk Indonesia yang manja akan limpahan rahmat ini enggan untuk menjaga dan mengelolanya dengan baik. Manusia malah menggerus dan membabat sumber daya alam ini dengan serakah dan seenak hatinya. Tanah Indonesia yang dulunya merupakan hamparan permadani hijau berubah menjadi hamparan hutan gundul yang sakit. Maka tidak heran jika Tuhan marah dan menimpakan musibah pagi penduduk Indonesia.
Tsunami, Gempa bumi, tanah longsor, banjir, angin puting beliung dan sebagainya bukanlah hal yang aneh bisa terjadi di tanah sakit ini. Musibah terus menerus terjadi seolah alam melampiaskan kemarahannya kepada manusia yang telah berbuat lalim kepadanya.
Maka kita sebagai manusia yang berakal harus sadar bahwa segala yang ada di bumi ini adalah titipan Tuhan yang harus dijaga dan dikelola dengan baik. Manusia diberi tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Dengan adanya musibah tadi selayaknya kita sadar akan kesalahan kita dan berusaha untuk memperbaiki dan tidak mengulanginya. Musibah ini dijadikan peringatan agar kita kembali kepada jalan yang lurus, jalan bukan tempat orang-orang yang dhalim.
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Mulailah dari diri sendiri, mulailah mengubah kebiasaan buruk kita yang merusak bumi tercinta ini, mulailah dari sekarang sebelum kita terlambat dan dunia hancur karena kedhaliman kita yang telah teramat besar. Naudzubillahi min dzalik....
Indonesia merupakan negara yang mempunyai letak geografis yang sangat strategis. Terletak sejajar dengan garis khatulistiwa, berbentuk kepulauan, berada dalam rentetan Sirkum Pasifik, diapit oleh benua Asia dan Australia, dan sebagainya. Berbagai keuntungan ini menyebabkan Indonesia menjadi tempat yang kaya akan sumber daya alam.
Jika sumber daya ini diumpamakan sebagai warisan, maka warisan ini tidak akan habis sampai tujuh turunan bahkan lebih. Namun sumber daya ini akan tetap bertahan jika manusia yang mendiami tanahnya mengelola dan melestarikan dengan baik.
Sayangnya, manusia atau penduduk Indonesia yang manja akan limpahan rahmat ini enggan untuk menjaga dan mengelolanya dengan baik. Manusia malah menggerus dan membabat sumber daya alam ini dengan serakah dan seenak hatinya. Tanah Indonesia yang dulunya merupakan hamparan permadani hijau berubah menjadi hamparan hutan gundul yang sakit. Maka tidak heran jika Tuhan marah dan menimpakan musibah pagi penduduk Indonesia.
Tsunami, Gempa bumi, tanah longsor, banjir, angin puting beliung dan sebagainya bukanlah hal yang aneh bisa terjadi di tanah sakit ini. Musibah terus menerus terjadi seolah alam melampiaskan kemarahannya kepada manusia yang telah berbuat lalim kepadanya.
Maka kita sebagai manusia yang berakal harus sadar bahwa segala yang ada di bumi ini adalah titipan Tuhan yang harus dijaga dan dikelola dengan baik. Manusia diberi tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Dengan adanya musibah tadi selayaknya kita sadar akan kesalahan kita dan berusaha untuk memperbaiki dan tidak mengulanginya. Musibah ini dijadikan peringatan agar kita kembali kepada jalan yang lurus, jalan bukan tempat orang-orang yang dhalim.
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Mulailah dari diri sendiri, mulailah mengubah kebiasaan buruk kita yang merusak bumi tercinta ini, mulailah dari sekarang sebelum kita terlambat dan dunia hancur karena kedhaliman kita yang telah teramat besar. Naudzubillahi min dzalik....
Label:
Edukasi
|
0
komentar
Syi’ah dan Abdullah Bin Saba
Oleh: Erna Monica
Dalam sejarah timbulnya Syi’ah terdapat seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang masuk agama Islam, bernama Abdullah bin Saba. Setelah masuk Islam, ia datang ke Madinah pada akhir tahun kekuasaan khalifah Sayyidina Usman Bin Affan, yaitu sekitar tahun 30 H.
Orang ini kebetulan tidak begitu mendapat penghargaan dari khalifah Usman dan orang-orang besar di Madinah seperti apa yang diharapkannya. Ia menyangka kalau ia datang ke Madinah ia akan disambut dengan kebesaran sebab ia adalah seorang pendeta besar dari Yahudi Yaman yang masuk Islam. Harapannya ini meleset, maka karena itu ia jengkel.
Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa masuknya Abdullah bin Saba ke dalam Islam adalah dengan tujuan untuk mengacaukan Islam dari dalam, karena mereka tak sanggup mengacaukan Islam dari luar.
Pada mulanya ia benci kepada khalifah Sayyidina Usman karena khalifah tak menyambutnya. Ia membangunkan gerakan anti Sayyidina Usman dan berusaha meruntuhkannya dan menggantinya dengan Sayyidina ‘Ali.
Usaha Abdullah bin Saba ini mendapatkan dukungan di kota-kota besar umat Islam ketika itu, seperti di Madinah, di Mesir, di Kuffah, Basrah dll, karena kebetulan orang-orang sudah banyak pula yang tidak suka dengan kepemimpinan Sayyidina Usman, karena beliau banyak mengangkat orang-orang dari suku beliau, yaitu orang-orang dari Bani Umayah menjadi pengusaha-pengusaha daerah.
Demi untuk menjatuhkan dan mengalahkan Sayyidina Usman ra, Abdullah bin Saba pergi ke Mesir, ke Kuffah, ke Basrah, Damsik dan berbagai kota untuk membikin propaganda tentang keagungan Sayyidina Ali.
Abdullah bin Saba sangat berlebihan dalam mengagungkan Sayyidina Ali dan sangat berani membuat hadits-hadits palsu yang bertujuan mengagungkan begitu rupa dan merendahkan Sayyidina Usman, Umar, dan Abu Bakar yaitu khalifah-khalifah yang terdahulu. Di antara ajaran Abdullah bin Saba adalah Al Wishayah artinya wasiat, Ar Raj’ah ialah kembali, dan ketuhanan Ali.
Melihat ganjilnya pelajaran-pelajaran Ibn Saba ini, maka sebagaian kaum Syi’ah mengatakan bahwa Abdullah bin Saba itu sebenarnya orangnya tidak ada, Saba itu hanya dibuat-buat saja oleh orang-orang yang anti Syi’ah tetapi menurut Ahmad Amin, keingkaran orang-orang Syi’ah sekarang tidak beralasan, karena kitab-kitab sejarah Islam yang lama menetapkan adanya Abdullah bin Saba ini. Kaum Syi’ah mendustakan adanya Ibn Saba karena malu melihat ajaran-ajarannya yang keji ini.
Nasib Abdullah bin Saba ini pada akhir hayatnya menjadi orang buangan yang dibuang oleh Sayyidina Ali. Sesudah beliau menjadi khalifah. Pada suatu hari ia datang kepada Sayyidina Ali dan mengatakan kepada beliau : “ anta, anta” (engkkau, engkau ) yakni : engkaulah yang Tuhan. Sayyidina Ali marah kepadanya dan ditangkap, lalu dibuang ke Madain (lihat” al milal wan nihal” juz 1, hal 174 ).
Dalam sejarah timbulnya Syi’ah terdapat seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang masuk agama Islam, bernama Abdullah bin Saba. Setelah masuk Islam, ia datang ke Madinah pada akhir tahun kekuasaan khalifah Sayyidina Usman Bin Affan, yaitu sekitar tahun 30 H.
Orang ini kebetulan tidak begitu mendapat penghargaan dari khalifah Usman dan orang-orang besar di Madinah seperti apa yang diharapkannya. Ia menyangka kalau ia datang ke Madinah ia akan disambut dengan kebesaran sebab ia adalah seorang pendeta besar dari Yahudi Yaman yang masuk Islam. Harapannya ini meleset, maka karena itu ia jengkel.
Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa masuknya Abdullah bin Saba ke dalam Islam adalah dengan tujuan untuk mengacaukan Islam dari dalam, karena mereka tak sanggup mengacaukan Islam dari luar.
Pada mulanya ia benci kepada khalifah Sayyidina Usman karena khalifah tak menyambutnya. Ia membangunkan gerakan anti Sayyidina Usman dan berusaha meruntuhkannya dan menggantinya dengan Sayyidina ‘Ali.
Usaha Abdullah bin Saba ini mendapatkan dukungan di kota-kota besar umat Islam ketika itu, seperti di Madinah, di Mesir, di Kuffah, Basrah dll, karena kebetulan orang-orang sudah banyak pula yang tidak suka dengan kepemimpinan Sayyidina Usman, karena beliau banyak mengangkat orang-orang dari suku beliau, yaitu orang-orang dari Bani Umayah menjadi pengusaha-pengusaha daerah.
Demi untuk menjatuhkan dan mengalahkan Sayyidina Usman ra, Abdullah bin Saba pergi ke Mesir, ke Kuffah, ke Basrah, Damsik dan berbagai kota untuk membikin propaganda tentang keagungan Sayyidina Ali.
Abdullah bin Saba sangat berlebihan dalam mengagungkan Sayyidina Ali dan sangat berani membuat hadits-hadits palsu yang bertujuan mengagungkan begitu rupa dan merendahkan Sayyidina Usman, Umar, dan Abu Bakar yaitu khalifah-khalifah yang terdahulu. Di antara ajaran Abdullah bin Saba adalah Al Wishayah artinya wasiat, Ar Raj’ah ialah kembali, dan ketuhanan Ali.
Melihat ganjilnya pelajaran-pelajaran Ibn Saba ini, maka sebagaian kaum Syi’ah mengatakan bahwa Abdullah bin Saba itu sebenarnya orangnya tidak ada, Saba itu hanya dibuat-buat saja oleh orang-orang yang anti Syi’ah tetapi menurut Ahmad Amin, keingkaran orang-orang Syi’ah sekarang tidak beralasan, karena kitab-kitab sejarah Islam yang lama menetapkan adanya Abdullah bin Saba ini. Kaum Syi’ah mendustakan adanya Ibn Saba karena malu melihat ajaran-ajarannya yang keji ini.
Nasib Abdullah bin Saba ini pada akhir hayatnya menjadi orang buangan yang dibuang oleh Sayyidina Ali. Sesudah beliau menjadi khalifah. Pada suatu hari ia datang kepada Sayyidina Ali dan mengatakan kepada beliau : “ anta, anta” (engkkau, engkau ) yakni : engkaulah yang Tuhan. Sayyidina Ali marah kepadanya dan ditangkap, lalu dibuang ke Madain (lihat” al milal wan nihal” juz 1, hal 174 ).
SEJARAH RINGKAS FAHAM SYI’AH
oleh: Erna Monica
Kata Syiah berasal dari bahasa Arab yang artinya pengikut, juga mengandung makna pendukung dan pecinta, juga dapat diartikan kelompok. Syi’ah ‘Ali berarti menurut bahasa Arab “pengikut ‘Ali”. Tetapi arti “kaum syi’ah” menurut istilah yang dipakai dalam lingkungan umat islam ialah kaum yang beri’tiqad bahwa Sayyidina ‘Ali adalah orang yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi, karena Nabi berwasiat bahwa pengganti beliau sesudah wafat adalah Sayyidina ‘Ali.
Pada zaman Nabi penggunaan kata syiah dalam pengertian berpihak atau memilih golongan Ali sudah ada, baik sebelum maupun sesudah wafat Nabi. Pada masa itu syi’ah bermakna suatu golongan aliran faham yang berpegang pada Ali bin Abi Thalib, baik ketika Nabi masih hidup maupun sesudah wafat Nabi, dikenal dengan ketaatannya dalam keputusan dan keimanannya seperti yang diperbuat oleh Miqdad bin Aswad, Salman Al-Farisi, Abu Zar, Jundub bin Junadah al-Ghifari, Ammar bin Yassar, dan orang-orang yang bersimpati kepada kepribadian Ali abi Thalib. Orang-orang inilah yang mula-mula menggunakan nama Syi’ah.
Ada satu persoalan mengenai keimanan syi’ah ini, yaitu persoalan sesudah Nabi, mengapa harus Ali?
Menurut Kaum Syi’ah hukum imam sesudah Nabi wajib jatuh kepada Ali bin Abi Thalib dikarenakan dua alasan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, yakni:
Pertama dalam QS al-Maidah: 55
“Adapun imam kamu itu Allah dan Rasulnya, kemudian mereka yang beriman, yang mendirikan sembahyang, membayar zakat dan mereka itu sedang ruku’”
Ayat ini turun dengan disepakati oleh semua ahli tafsir mengenai Ali bin Abi Thalib, yang konon ketika itu sedang ruku’, sebagai menjawab pertanyaan orang, siapa yang harus ditaati.
Kedua sebagai alasan dari Sunnah. Orang-orang Syi’ah mengemukakan sebuah hadits di mana Rasulullah sedang berbicara dengan Ali bin Abi Thalib, yang berbunyi demikian “Engkau terhadapku seperti Harun dan Musa. Barang siapa yang ingin mencari wali (imam), maka Ali-lah yang akan jadi walinya.....Engkau saudaraku, engkau tempat wasiatku, dan engkau akan jadi khalifahku di kemudian hari.....”.
Muslim Syi'ah percaya bahwa keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga terpercaya dari tradisi Sunnah. Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah. Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan. Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
Syi’ah terpecah menjadi 22 sekte. Dari 22 sekte itu hanya tiga sekte yang masih ada sampai sekarang yakni pertama Syi’ah Itsna Asy’ariyah (Imamiah), dinamakan demikian sebab mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam, aliran ini merupakan aliran terbesar di dalam syi’ah. Kedua Syi’ah Ismailiyah dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang. Dan yang ketiga Syi’ah Zaidiyah atau disebut juga lima imam, dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Thlalib.
Ada beberapa orang kaum orentalist (orang-orang barat yang suka menyelidiki dan menulis soal-soal Islam). Yang menerangkan bahwa faham Sy’ah itu ialah faham yang mencintai Sayyidina ‘Ali atau orang-orang yang mencintai ahli bait Rasulullah.
Keterangan ini keliru, karena kaum ahlu sunnah dan bahkan seluruh umat Islam mencintai ahli bait, khususnya Sayyidina ‘Ali, terbukti dengan do’a shalat seluruh umat Islam yaitu:
اللّهمّ صلىّ على سّيد نا محمّد و على ال سيّد نا محمّد
Artinya : ya Allah shalawatlah atas penghulu kami Muhammad dan atas keluarga penghulu kami Muhammad.
Apakah dengan membaca shalawat yang menunjukkan kecintaan kepada ahli bait Rasulullah dan apakah karena kita mendo’akan Sayyidina ‘Ali di dalam khutbah kita akan menjadi orang Syi’ah?
Tidak, sekali lagi tidak karena cinta kepada Ahli bait dan khususnya mencintai Sayyidina ‘Ali adalah I’tiqad dan faham kaum ahli sunnah waljama’ah juga.
Sayyidina Ali, Siti Fatimah ra, Hasan dan Husain (cucu Nabi) dan Abbas bin Abdul Muthalib bukanlah kaum Syi’ah karena beliau-beliau itu tidak sefaham dengan kaum Syi’ah.
Sejarah telah membuktikan, bahwa Sayyidina Ali serta Siti Fatimah ra. ikut membai’ah (mengangkat Sayyidina Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama, walaupun agak sedikit terlambat), Sayyidina Ali. Ikut membai’ah khalifah yang kedua, yaitu Sayyidina bin Umar bin Khattab ra. Sayyidina Ali juga ikut membai’ah Sayyidina Utsman, khalifah yang ketiga, walaupun beliau termasuk salah seorang calon untuk itu dan termasuk salah seorang anggota pemilih. Beliau tidak mencalonkan dirinya dan tidak memilih dirinya, andai kata ada wasiat Nabi SAW kepadanya, bahwa yang harus menjadi khalifah sesudah Nabi wafat adalah ia sendiri, tentulah beliau tidak akan membai’ah Sayyidina Abu Bakr, Umar, dan Utsman rda.
Andaikata ada wasiyat itu tentulah beliau kemukakan kepada sahabat-sahabat yang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah untuk memilih khalifah yang pertama. Sayyidina Ali mengetahui, bahwa Nabi Muhammad saw. Sebelum wafat tidak ada berwasiyat bahwa khalifah sesudah beliau meninggal adalah Ali.
Dapat disimpulkan bahwa Sayyidina Ali bukanlah orang yang berfaham serupa faham syiah yang mengi’tiqadkan bahwa jabatan imamah adalah dari tunjukan Nabi, dan bahwa beliau ditunjuk oleh Nabi untuk jabatan itu. Selain itu Sayyidina juga bukan penganut faham syiah, bukan termasuk golongan syiah, dan bukan imam kaum syiah saja, tetapi juga imam kaum ahlussunnah waljamaah dalam arti yang luas.
Kata Syiah berasal dari bahasa Arab yang artinya pengikut, juga mengandung makna pendukung dan pecinta, juga dapat diartikan kelompok. Syi’ah ‘Ali berarti menurut bahasa Arab “pengikut ‘Ali”. Tetapi arti “kaum syi’ah” menurut istilah yang dipakai dalam lingkungan umat islam ialah kaum yang beri’tiqad bahwa Sayyidina ‘Ali adalah orang yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi, karena Nabi berwasiat bahwa pengganti beliau sesudah wafat adalah Sayyidina ‘Ali.
Pada zaman Nabi penggunaan kata syiah dalam pengertian berpihak atau memilih golongan Ali sudah ada, baik sebelum maupun sesudah wafat Nabi. Pada masa itu syi’ah bermakna suatu golongan aliran faham yang berpegang pada Ali bin Abi Thalib, baik ketika Nabi masih hidup maupun sesudah wafat Nabi, dikenal dengan ketaatannya dalam keputusan dan keimanannya seperti yang diperbuat oleh Miqdad bin Aswad, Salman Al-Farisi, Abu Zar, Jundub bin Junadah al-Ghifari, Ammar bin Yassar, dan orang-orang yang bersimpati kepada kepribadian Ali abi Thalib. Orang-orang inilah yang mula-mula menggunakan nama Syi’ah.
Ada satu persoalan mengenai keimanan syi’ah ini, yaitu persoalan sesudah Nabi, mengapa harus Ali?
Menurut Kaum Syi’ah hukum imam sesudah Nabi wajib jatuh kepada Ali bin Abi Thalib dikarenakan dua alasan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, yakni:
Pertama dalam QS al-Maidah: 55
“Adapun imam kamu itu Allah dan Rasulnya, kemudian mereka yang beriman, yang mendirikan sembahyang, membayar zakat dan mereka itu sedang ruku’”
Ayat ini turun dengan disepakati oleh semua ahli tafsir mengenai Ali bin Abi Thalib, yang konon ketika itu sedang ruku’, sebagai menjawab pertanyaan orang, siapa yang harus ditaati.
Kedua sebagai alasan dari Sunnah. Orang-orang Syi’ah mengemukakan sebuah hadits di mana Rasulullah sedang berbicara dengan Ali bin Abi Thalib, yang berbunyi demikian “Engkau terhadapku seperti Harun dan Musa. Barang siapa yang ingin mencari wali (imam), maka Ali-lah yang akan jadi walinya.....Engkau saudaraku, engkau tempat wasiatku, dan engkau akan jadi khalifahku di kemudian hari.....”.
Muslim Syi'ah percaya bahwa keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga terpercaya dari tradisi Sunnah. Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah. Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan. Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
Syi’ah terpecah menjadi 22 sekte. Dari 22 sekte itu hanya tiga sekte yang masih ada sampai sekarang yakni pertama Syi’ah Itsna Asy’ariyah (Imamiah), dinamakan demikian sebab mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam, aliran ini merupakan aliran terbesar di dalam syi’ah. Kedua Syi’ah Ismailiyah dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang. Dan yang ketiga Syi’ah Zaidiyah atau disebut juga lima imam, dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Thlalib.
Ada beberapa orang kaum orentalist (orang-orang barat yang suka menyelidiki dan menulis soal-soal Islam). Yang menerangkan bahwa faham Sy’ah itu ialah faham yang mencintai Sayyidina ‘Ali atau orang-orang yang mencintai ahli bait Rasulullah.
Keterangan ini keliru, karena kaum ahlu sunnah dan bahkan seluruh umat Islam mencintai ahli bait, khususnya Sayyidina ‘Ali, terbukti dengan do’a shalat seluruh umat Islam yaitu:
اللّهمّ صلىّ على سّيد نا محمّد و على ال سيّد نا محمّد
Artinya : ya Allah shalawatlah atas penghulu kami Muhammad dan atas keluarga penghulu kami Muhammad.
Apakah dengan membaca shalawat yang menunjukkan kecintaan kepada ahli bait Rasulullah dan apakah karena kita mendo’akan Sayyidina ‘Ali di dalam khutbah kita akan menjadi orang Syi’ah?
Tidak, sekali lagi tidak karena cinta kepada Ahli bait dan khususnya mencintai Sayyidina ‘Ali adalah I’tiqad dan faham kaum ahli sunnah waljama’ah juga.
Sayyidina Ali, Siti Fatimah ra, Hasan dan Husain (cucu Nabi) dan Abbas bin Abdul Muthalib bukanlah kaum Syi’ah karena beliau-beliau itu tidak sefaham dengan kaum Syi’ah.
Sejarah telah membuktikan, bahwa Sayyidina Ali serta Siti Fatimah ra. ikut membai’ah (mengangkat Sayyidina Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama, walaupun agak sedikit terlambat), Sayyidina Ali. Ikut membai’ah khalifah yang kedua, yaitu Sayyidina bin Umar bin Khattab ra. Sayyidina Ali juga ikut membai’ah Sayyidina Utsman, khalifah yang ketiga, walaupun beliau termasuk salah seorang calon untuk itu dan termasuk salah seorang anggota pemilih. Beliau tidak mencalonkan dirinya dan tidak memilih dirinya, andai kata ada wasiat Nabi SAW kepadanya, bahwa yang harus menjadi khalifah sesudah Nabi wafat adalah ia sendiri, tentulah beliau tidak akan membai’ah Sayyidina Abu Bakr, Umar, dan Utsman rda.
Andaikata ada wasiyat itu tentulah beliau kemukakan kepada sahabat-sahabat yang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah untuk memilih khalifah yang pertama. Sayyidina Ali mengetahui, bahwa Nabi Muhammad saw. Sebelum wafat tidak ada berwasiyat bahwa khalifah sesudah beliau meninggal adalah Ali.
Dapat disimpulkan bahwa Sayyidina Ali bukanlah orang yang berfaham serupa faham syiah yang mengi’tiqadkan bahwa jabatan imamah adalah dari tunjukan Nabi, dan bahwa beliau ditunjuk oleh Nabi untuk jabatan itu. Selain itu Sayyidina juga bukan penganut faham syiah, bukan termasuk golongan syiah, dan bukan imam kaum syiah saja, tetapi juga imam kaum ahlussunnah waljamaah dalam arti yang luas.
Langganan:
Postingan (Atom)
Blog Archive
About Me
- Lingga S. Anshary
- sulit sekali untuk mengambil keputusan, namun setelah keputusan diambil yang ada hanya kelegaan karena kita hanya harus melakukannya...
Selamat Datang
di Halamanku,,,,
di Halamanku,,,,
Penayangan bulan lalu
Diberdayakan oleh Blogger.