Sabtu, 02 April 2011
LEARN FROM JAPAN Nasionalisme Yang Kokoh Saat Musibah Melanda
Gempa bumi berkekuatan 8,9 skala richter disertai tsunami telah mengguncang Jepang pada 11 Maret 2011. Pusat gempa tepat berada 130 km di lepas pantai timur Kota Sendai atau 400 km di timur laut Tokyo pada kedalaman 24,4 km. Gempa bumi ini menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat setinggi 10 m di sekitar Kota Sendai.
Kita tentunya prihatin dengan peristiwa ini. Namun, dari peristiwa ini kita bisa belajar banyak bagaimana Pemerintah Jepang beserta rakyatnya menangani fase responsif di dalam manajemen bencana gempa.
Saya melihat di berbagai tayangan berita yang menampilkan kejadian saat Tsunami, warga Jepang telah memiliki kesadaran dan kesiapsiagaan terhadap bencana gempa. Karena negara dalam wilayah rawan gempa, masyarakat telah mendapatkan sosialisasi bencana gempa bumi. Mereka mencari tempat berlindung terdekat, di kolong meja ataupun di mana mereka merasa aman. Masyarakat terkesan sudah sangat terlatih dengan bencana gempa.
Antisipasi mengatasi gempa menjadi salah satu kurikulum wajib bagi siswa sekolah dasar di Jepang. Latihan antisipasi gempa dan tsunami, selalu dilakukan berkali-kali. Negri Ninja ini juga satu-satunya Negara di dunia yang memiliki Kementrian Penanganan Bencana (Disaster Management Ministry) yang setiap tahunnya memiliki anggaran beratus-ratus miliar.
Sekalipun dalam kondisi krisis akibat gempa bumi dan tsunami, disusul radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima Daiichi, masyarakat Jepang menunjukkan kebersamaan dan kekuatan karakter untuk bangkit kembali. Sikap itu berangkat dari kemauan melakukan otokritik atas apa yang sudah dipersiapkan dan apa yang seharusnya dilakukan pada masa depan.
Berbeda dengan Jepang, saat bencana mendera Indonesia, seperti gempa, tsunami, dan letusan gunung berapi yang susul-menyusul dalam enam tahun terakhir, terlihat betul kelemahan bangsa ini, dari ketidaksiapan infrastruktur, kacaunya manajemen bencana, hingga penjarahan oleh masyarakat.
Kekeliruan itu terus berulang hingga gempa dan tsunami terakhir melanda Mentawai serta Gunung Merapi meletus, akhir tahun 2010 lalu.
Bahkan, negara maju lain, seperti Amerika Serikat, terbukti tidak sekuat Jepang saat menangani badai Katrina. Penjarahan terjadi di wilayah Louisiana setelah badai terjadi.
Pakar bencana dan gempa Jepang setelah gempa dan tsunami mengakui, bencana kali ini melampaui perkiraan dan antisipasi yang telah dilakukan. Namun, mereka yakin mampu belajar dari bencana ini untuk bersiap diri lebih baik mengantisipasi bencana berikutnya.
Teruyuki Kato, profesor gempa dari Earthquake Research Institute The University of Tokyo, mengatakan, banyaknya korban yang jatuh dalam gempa bumi dan tsunami terjadi karena pemerintah dan ilmuwan gagal mengantisipasinya.
”Kami sudah menerapkan sistem pencegahan tsunami, juga pendidikan kepada masyarakat agar waspada bencana. Ternyata bencananya lebih besar dari perhitungan,” katanya. Kato mengatakan, para ilmuwan di Jepang sudah memperkirakan terjadi gempa bumi di sekitar Miyagi. ”Perkiraannya terjadi dalam 30 tahun ini dengan kemungkinan 99,9 persen. Kekuatan gempanya diperkirakan hanya 7,4 skala Richter dengan tsunami maksimal 6 meter,” ujarnya.
Karena itu, Pemerintah Jepang telah membangun tanggul di sepanjang pantai dengan ketinggian 10 meter. Ia menambahkan, ”Namun, tsunaminya ternyata lebih besar. Kami harus belajar lebih banyak lagi ke depan.”
Semangat untuk mengoreksi kesalahan dan membangun lebih baik disampaikan Yozo Goto, ahli gempa di universitas yang sama. Gempa Kobe tahun 1981 membuat Pemerintah Jepang menetapkan standar bangunan tahan gempa hingga skala 6 MMI.
Dari pengalaman itu, gempa pekan lalu hampir tidak merusak bangunan dan infrastruktur jembatan, bahkan rel kereta api. ”Yang jadi masalah sekarang, tsunami. Sekuat apa pun bangunannya, kalau kena tsunami, akan terlewati dan bisa roboh. Ini tantangan ke depan,” kata Goto.
Yamamoto Nobuto, profesor di Departemen Politik Keio University, Tokyo, mengatakan, Pemerintah Jepang sebenarnya tak siap dan terlambat mengatasi bencana ini. Penyaluran bantuan kurang baik. Sepekan setelah bencana, distribusi bantuan masih tersendat. Namun, warga Jepang di pengungsian sangat kuat dan tidak mengeluh.
”Masyarakat di pedesaan, khususnya di utara, seperti Tohoku, punya rasa memiliki komunitas yang kuat. Saya lihat tayangan di televisi, ada kakek-kakek di pengungsian yang membuat sumpit karena ingin berbuat sesuatu untuk kepentingan bersama. Intinya, masyarakat tidak akan menuntut banyak,” paparnya.
Di beberapa titik pengungsian di Kesennuma, Miyagi, nyaris tak ada keluhan dari para pengungsi sekalipun mereka dalam kondisi sulit, misalnya tak ada pemanas di tengah suhu di bawah nol derajat celsius. Mereka bersikap tenang dan antre dengan tertib.
Nobuto menambahkan, media massa di Jepang memiliki peran penting membangun karakter bangsa. Saat ada bencana besar, seluruh jam tayang iklan di televisi dibeli pemerintah untuk menyiarkan layanan masyarakat perihal bagaimana seharusnya berbagi dan berbuat baik.
pembentukan karakter dibandingkan dengan kognisi. Nilai tradisional juga dipegang teguh, misalnya ajaran bushido. Mereka diajari untuk bersifat ksatria.
Budaya disiplin dan kejujuran tinggi yang dimiliki warga Jepang juga turut memberi andil pada masyarakat dalam menghadapi bencana gempa. Hal itu tercermin pada saat mereka menghadapi gempa karena tanpa disiplin yang tinggi, masyarakat tidak akan tenang menghadapi gempa bumi. Mereka tetap antri dengan tertib untuk memperoleh jatah bantuan pascagempa utama terjadi dan harga-harga di Tokyo masih stabil. Berbeda dengan pengalaman saat gempa bumi di Yogyakarta 2006, harga sekotak Supermi pun bisa menjadi tiga kali lipat.
Demikian pula dengan penanganan reaktor nuklir di Fukushima, Pemerintah Jepang langsung merespon cepat dengan menyatakan darurat nuklir. Pemerintah pun dengan segera mengevakuasi 200.000 rakyatnya dari radius 20 km dari reaktor nuklir.
Meski masih dalam penanganan para ahli, tingkat radiasi saat ini telah mencapai 160 kali tingkat radiasi normal. Bahkan, empat hari setelah kerusakan reaktor Fukushima, masyarakat Tokyo yang tinggal dalam jarak 250-an km telah diimbau untuk tetap di dalam rumah karena dikhawatirkan terkena debu nuklir.
Kita tentunya prihatin dengan peristiwa ini. Namun, dari peristiwa ini kita bisa belajar banyak bagaimana Pemerintah Jepang beserta rakyatnya menangani fase responsif di dalam manajemen bencana gempa.
Saya melihat di berbagai tayangan berita yang menampilkan kejadian saat Tsunami, warga Jepang telah memiliki kesadaran dan kesiapsiagaan terhadap bencana gempa. Karena negara dalam wilayah rawan gempa, masyarakat telah mendapatkan sosialisasi bencana gempa bumi. Mereka mencari tempat berlindung terdekat, di kolong meja ataupun di mana mereka merasa aman. Masyarakat terkesan sudah sangat terlatih dengan bencana gempa.
Antisipasi mengatasi gempa menjadi salah satu kurikulum wajib bagi siswa sekolah dasar di Jepang. Latihan antisipasi gempa dan tsunami, selalu dilakukan berkali-kali. Negri Ninja ini juga satu-satunya Negara di dunia yang memiliki Kementrian Penanganan Bencana (Disaster Management Ministry) yang setiap tahunnya memiliki anggaran beratus-ratus miliar.
Sekalipun dalam kondisi krisis akibat gempa bumi dan tsunami, disusul radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima Daiichi, masyarakat Jepang menunjukkan kebersamaan dan kekuatan karakter untuk bangkit kembali. Sikap itu berangkat dari kemauan melakukan otokritik atas apa yang sudah dipersiapkan dan apa yang seharusnya dilakukan pada masa depan.
Berbeda dengan Jepang, saat bencana mendera Indonesia, seperti gempa, tsunami, dan letusan gunung berapi yang susul-menyusul dalam enam tahun terakhir, terlihat betul kelemahan bangsa ini, dari ketidaksiapan infrastruktur, kacaunya manajemen bencana, hingga penjarahan oleh masyarakat.
Kekeliruan itu terus berulang hingga gempa dan tsunami terakhir melanda Mentawai serta Gunung Merapi meletus, akhir tahun 2010 lalu.
Bahkan, negara maju lain, seperti Amerika Serikat, terbukti tidak sekuat Jepang saat menangani badai Katrina. Penjarahan terjadi di wilayah Louisiana setelah badai terjadi.
Pakar bencana dan gempa Jepang setelah gempa dan tsunami mengakui, bencana kali ini melampaui perkiraan dan antisipasi yang telah dilakukan. Namun, mereka yakin mampu belajar dari bencana ini untuk bersiap diri lebih baik mengantisipasi bencana berikutnya.
Teruyuki Kato, profesor gempa dari Earthquake Research Institute The University of Tokyo, mengatakan, banyaknya korban yang jatuh dalam gempa bumi dan tsunami terjadi karena pemerintah dan ilmuwan gagal mengantisipasinya.
”Kami sudah menerapkan sistem pencegahan tsunami, juga pendidikan kepada masyarakat agar waspada bencana. Ternyata bencananya lebih besar dari perhitungan,” katanya. Kato mengatakan, para ilmuwan di Jepang sudah memperkirakan terjadi gempa bumi di sekitar Miyagi. ”Perkiraannya terjadi dalam 30 tahun ini dengan kemungkinan 99,9 persen. Kekuatan gempanya diperkirakan hanya 7,4 skala Richter dengan tsunami maksimal 6 meter,” ujarnya.
Karena itu, Pemerintah Jepang telah membangun tanggul di sepanjang pantai dengan ketinggian 10 meter. Ia menambahkan, ”Namun, tsunaminya ternyata lebih besar. Kami harus belajar lebih banyak lagi ke depan.”
Semangat untuk mengoreksi kesalahan dan membangun lebih baik disampaikan Yozo Goto, ahli gempa di universitas yang sama. Gempa Kobe tahun 1981 membuat Pemerintah Jepang menetapkan standar bangunan tahan gempa hingga skala 6 MMI.
Dari pengalaman itu, gempa pekan lalu hampir tidak merusak bangunan dan infrastruktur jembatan, bahkan rel kereta api. ”Yang jadi masalah sekarang, tsunami. Sekuat apa pun bangunannya, kalau kena tsunami, akan terlewati dan bisa roboh. Ini tantangan ke depan,” kata Goto.
Yamamoto Nobuto, profesor di Departemen Politik Keio University, Tokyo, mengatakan, Pemerintah Jepang sebenarnya tak siap dan terlambat mengatasi bencana ini. Penyaluran bantuan kurang baik. Sepekan setelah bencana, distribusi bantuan masih tersendat. Namun, warga Jepang di pengungsian sangat kuat dan tidak mengeluh.
”Masyarakat di pedesaan, khususnya di utara, seperti Tohoku, punya rasa memiliki komunitas yang kuat. Saya lihat tayangan di televisi, ada kakek-kakek di pengungsian yang membuat sumpit karena ingin berbuat sesuatu untuk kepentingan bersama. Intinya, masyarakat tidak akan menuntut banyak,” paparnya.
Di beberapa titik pengungsian di Kesennuma, Miyagi, nyaris tak ada keluhan dari para pengungsi sekalipun mereka dalam kondisi sulit, misalnya tak ada pemanas di tengah suhu di bawah nol derajat celsius. Mereka bersikap tenang dan antre dengan tertib.
Nobuto menambahkan, media massa di Jepang memiliki peran penting membangun karakter bangsa. Saat ada bencana besar, seluruh jam tayang iklan di televisi dibeli pemerintah untuk menyiarkan layanan masyarakat perihal bagaimana seharusnya berbagi dan berbuat baik.
pembentukan karakter dibandingkan dengan kognisi. Nilai tradisional juga dipegang teguh, misalnya ajaran bushido. Mereka diajari untuk bersifat ksatria.
Budaya disiplin dan kejujuran tinggi yang dimiliki warga Jepang juga turut memberi andil pada masyarakat dalam menghadapi bencana gempa. Hal itu tercermin pada saat mereka menghadapi gempa karena tanpa disiplin yang tinggi, masyarakat tidak akan tenang menghadapi gempa bumi. Mereka tetap antri dengan tertib untuk memperoleh jatah bantuan pascagempa utama terjadi dan harga-harga di Tokyo masih stabil. Berbeda dengan pengalaman saat gempa bumi di Yogyakarta 2006, harga sekotak Supermi pun bisa menjadi tiga kali lipat.
Demikian pula dengan penanganan reaktor nuklir di Fukushima, Pemerintah Jepang langsung merespon cepat dengan menyatakan darurat nuklir. Pemerintah pun dengan segera mengevakuasi 200.000 rakyatnya dari radius 20 km dari reaktor nuklir.
Meski masih dalam penanganan para ahli, tingkat radiasi saat ini telah mencapai 160 kali tingkat radiasi normal. Bahkan, empat hari setelah kerusakan reaktor Fukushima, masyarakat Tokyo yang tinggal dalam jarak 250-an km telah diimbau untuk tetap di dalam rumah karena dikhawatirkan terkena debu nuklir.
Label:
Edukasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blog Archive
About Me
- Lingga S. Anshary
- sulit sekali untuk mengambil keputusan, namun setelah keputusan diambil yang ada hanya kelegaan karena kita hanya harus melakukannya...
Selamat Datang
di Halamanku,,,,
di Halamanku,,,,
Penayangan bulan lalu
Diberdayakan oleh Blogger.
2 komentar:
Play at Sahara Casino
Sahara sbobet ทางเข้า Casino is a new online casino. Play at Sahara Casino 메리트 카지노 주소 and get your Sign Up Bonus up bonus now! Play slots, blackjack, roulette, poker and much more 샌즈카지노 at
Slots Casino Vegas, NV MapYRO
Slots Casino Vegas, 성남 출장마사지 NV, United States - United States 사천 출장안마 - Find 논산 출장안마 your way around the casino, find where 김포 출장안마 everything 안동 출장샵 is located with map directions,
Posting Komentar