Jumat, 19 November 2010

Pandangan Lama Terhadap Perempuan

Oleh Nurul K. Fuadah

Tidak dapat dipungkiri bahwa mengabaikan perempuan berarti mengabaikan setengah dari masyarakat, dan melecehkan mereka berarti melecehkan seluruh manusia karena tidak seorang manusia pun-kecuali Adam dan Hawa-yang tidak lahir melalui seorang perempuan.(Shihab,2005:33)

Tidak dapat disangkal pula bahwa ada bias terhadap perempuan oleh lelaki dan perempuan, muslim maupun non-muslim, ulama, cendekiawan maupun bukan, dari masa lalu sampai masa kini. Bias tersebut bukan saja mengakibatkan peremehan terhadap perempuan karena mempersamakan perempuan secara penuh dengan lelaki menjadikan perempuan menyimpang dari kodratnya, dan ini adalah pelecehan. Sebaliknya, tidak memberi hak-hak perempuan sebagai manusia yang memiliki kodrat dan kehormatan yang tidak kalah dengan apa yang dianugerahkan Allah kepada lelaki, juga merupakan sebuah pelecehan.

Tidak memberi perempuan hak-haknya, sebagai mitra yang sejajar dengan lelaki dan meremehkan perempuan tidak jarang menggunakan dalih keagamaan serta memberi interpretasi terhadap teks-intrepertasi yang lahir dari kesan atau pandangan lama ketika perempuan masih dilecehkan oleh dunia masa lalu.(Shihab,2005:34)

Sebaliknya, yang memberi hak-hak yang melebihi kodrat perempuan, tidak jarang juga mengalami bias ketika berhadapan dengan teks-teks keagamaan dengan menggunakan logika yang keliru lagi tak sejalan dengan teks, jiwa, dan tuntunan agama. Memang sebagian orang, bahkan ulama atau cendekiawan, karena menggebu-gebunya semangat mereka menampik bias atau meluruskan kekeliruan, kesalahpahaman, dan pengamalan umat tentang ajaran agama-sementara mereka-sering kali melampui batas sehingga lahir pandangan yang justru tidak sejalan dengan ajaran agama. Mereka beralih dari satu kesalahan ke kesalahan yang lain, dan berpindah dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain.(Shihab,2005:35)

Dalam literatur agama, ditemukan sekian banyak riwayat atau interpretasi dan pandangan yang dapat dinilai dari sisa-sisa pandangan lama terhadap perempuan. Sekian banyak riwayat yag dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw atau sahabat-sahabat beliau yang diterima sebagai kebenaran, padahal Nabi saw dan sahabat-sahabat itu tidak pernah bermaksud seperti apa yang mereka pahami, atau bahkan Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabat itu tidak pernah mengucapkannya sama sekali dan pengalaman beliau pun bertentangan dengan apa yang dinyatakan sebagai ucapan beliau-beliau itu. Boleh jadi riwayat-riwayat dan pandangan-pandangan sebagian ulama itu diterima secara luas dan dianggap benar karena ia sejalan dengan apa yang terdapat di bawah sadar masyarakat- dari ide-ide lama tentang perempuan- yang belum lama lagi terkikis habis.(Shihab,2005:40)

Ada pandangan-pandangan yang menyatakan bahwa asal kejadian perempuan berbeda dari asal kejadian laki-laki. Pandangan ini bersumber dari hadits (Shihab,2005: 43-44) yang menyatakan:

“Saling memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.”(H.R. Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi melalui Abu Hurairah).

Hadits ini dipahami oleh ulama terdahulu secara harfiah. Namun, tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara metaforis, bahkan ada yang menolak kesahahihannya.

Sebenarnya, hadits ini bermaksud untuk memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan secara bijaksana karena ada sifat dan kecenderungan perempuan yang tidak sama dengan lelaki, yang bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk berperilaku tidak wajar. Siapa pun tidak mampu mengubah kodrat, termasuk kodrat perempuan. Kalau ada yang memaksakan perubahan itu, akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang yang bengkok. Kata bengkok di sini bukan untuk melecehkan perempuan, itu hanya ilustrasi yang diberikan Rasulullah saw terhadap presepsi yang keliru dari sebagian laki-laki menyangkut sifat perempuan sehingga para lelaki itu memaksakan untuk meluruskannya.(Shihab,2005:44)

Memahami hadits di atas dengan makna yang dikemukakan ini, justru mengakui kepribadian perempuan yang menjadi kodrat/bawaannya sejak lahir. Dan tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an maupun hadits yang menyatakan perbedaan penciptaan antara lelaki dan perempuan. Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, tak ada perbedaan antara mereka dari segi asal kejadian kemanusiaannya. Dengan konsiderasi ini, Al-Qur’an menegaskan bahwa "Sesungguhnya Aku (Allah) tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan.” (Q.S. Ali Imran : 195)

Kemudian sebagian ulama masa lampau-bahkan masa kini-masih percaya bahwa “Keberhasilan iblis menggoda manusia tercapai melalui perempuan” atau “perempuan adalah senjata setan memperdaya manusia”, demikian dua ungkapan yang sering terdengar.(Shihab,2005:46)

Dengan adanya dugaaan ini perempuan dinilai sebagai alat-alat setan untuk menjerat lelaki dan menjerumuskan mereka, padahal secara tegas Allah yang menyatakan rencana-Nya menciptakan manusia menjadi khalifah di bumi-jauh sebelum penciptaan manusia- dan bahwa pelanggaran memakan buah terlarang bukan hanya dilakukan-apalagi-atas dorongan perempuan, tetapi dilakukan bersama-Adam dan Hawa- bahkan Q.S. Thaha : 120 menyebutkan bahwa Adam sendiri yaang dibisiki pikiran jahat oleh setan sehingga memakan (buah) pohon terlarang itu- ini agaknya dalam kedudukan beliau sebagai pemimpin rumah tangga yang harus bertaggung jawab atas keluarga/isterinya (Shihab,2005:47-48). Jika demikian, mengapa perempuan yang disalahkan? Memang sebagaian dari pandangan negatif terhadap perempuan bersumber pada budaya non Islam. Dalam perjanjian lama, kesalahan memakan buah terlarang itu tertuang kepada perempuan, yang menurutnya dirayu oleh setan, sehingga dari sini perempuan dikutuk (Perjanjian Lama Kejadian III).

Terdapat juga dalam berbagai literatur, pesan kepada suami/lelaki agar jangan bermusyawarah dengan perempuan, misalnya :

“Berbeda pendapatlah dengan perempuan karena dalam berbeda dengan terdapat keberkahan” (H.R. al-Askari melalui Umar ra.)

Ada lagi riwayat yang menyatakan :

“Menaati/memperkenankan saran perempuan berakhir dengan penyesalan” (H.R. al-Aljuni), bahkan ada riwayat yang menyatakan :

“Musuhmu yang paling utama adalah istrimu yang sepembaringan denganmu” (H.R. ad-Dailami melalui Abu Malik al-Asy’ari).

Riwayat di atas (dan semacamnya) sangat lemah, baik dari segi sanad (rentetan perawi-rawinya), lebih-lebih dari segi matan (kandungan informasinya). Karena hal itu bertentangan dengan apa yang telah diuraikan dalam Al-Qur’an tentang putri Nabi Syu’aib as. mengajukan saran kepada ayahnya yang nabi itu dan sarannya diterima, bahkan diabadika oleh al-Qur’an sebagai petunjuk dan pelajaran bagi umat manusia (baca Q.S. Al-Qashash : 26) (Shihab,2005:51)

Selain itu, pada zaman Yunani kuno, ketika hidup filosof-filosof kenamaan semacam Plato (427-347 SM), Aristoteles (384 -322SM),dan Demosthenes (384-322SM), martabat perempuan dalam pandangan mereka sangat rendah. Perempuan hanya di pandang sebagai alat penerus generasi sangat merajalela. Socrates (470-399SM) berpendapat bahwa dua sahabat setia harus mampu meminjamkan istrinya kepada sahabatnya, sedangkan Demosthenes (384-322SM) berpendapat bahwa istri hanya berfungsi melahirkan anak; filosop Aristoteles menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya, sedangkan Plato menilai kehormatan lelaki pada kemampuannya memerintah dan ’kehormatan’ perempuan menurutnya adalah pada kemampuannya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sederhana/hina sambil terdiam tanpa berbicara.(Shihab,2005:112-113)

Para filosof dahulu membicarakan apakah perempuan mempunyai roh atau tidak. Kalau punya, apakah perempuan tersebut roh binatang atau manusia? Dan kalau manusia, bagaimana kedudukannya?

Dalam masyarakat Romawi, “kewanitaan” menjadi salah satu sebab pembatasan hak seperti halnya anak-anak dan orang gila.

Sejarah mencatat betapa suatu ketika perempuan dinilai sebagai makhluk kelas dua. Dalam masyarakat Hindu, keadaan perempuan tidak lebih baik. Dalam ajaran Manu dinyatakan bahwa, “Wabah penyakit, kematian, racun, ular, dan api kesemuanya lebih baik daripada perempuan”. Istri harus mengabdi kepada suaminya bagaikan mengabdi kepada Tuhan. Ia harus berjalan dibelakangnya, tidak boleh berbicara dan tidak juga makan bersamanya, tetapi memakan sisanya. Bahkan, samapai abad ke 17, seorang istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar, kalau ingin tetap hidup sang istri mencukur rambutnya dan memperburuk wajahnya agar terjamin bahwa ia tidak lagi dimainati lelaki.(Shihab,2005:113-114)

Di Eropa-khususnya pada masa lalu-perempuan juga mendapat tempat terhormat. Pada 586 M, agamawan di Perancis masih mendiskusikan apakah perempuan boleh menyembah Tuhan atau tidak? Apakah mereka juga dapat masuk surga? Diskusi-diskusi itu berakhir dengan kesimpulan bahwa perempuan mempunyai jiwa, tetapi tidak kekal dan dia bertugas melayani lelaki. Pada masa silam di Eropa, hubungan seks dianggap sebagai suatu yang buruk-walau hubungan itu diawali dengan pernikahan yang sah.

Parlemen Skotlandia pada 1567 menetapkan bahwa perempuan tidak boleh diberi wewenang sedikitpun. Bahkan, pada pemerintah Henry VIII (1491-1547) di Inggris, lahir keputusan yang melarang perempuan membaca kitab Injil (Perjanjian Baru).(Shihab,2005:114)

Selanjutnya, meski Eropa telah mengalami revolusi industri (1750 M) dan perbudakan telah dikumandangkan penghapusannya, harakah dan martabat perempuan belum juga mendapat tempat yang wajar. Mereka bekerja di pabrik-pabrik, tetapi gajinya lebih rendah daripada lelaki. Bahkan di Inggris, sampai dengan tahun 1850, perundang-undangan mereka mengakui hak suami untuk menjual istrinya.(Shihab,2005:114-115)

Perempuan-pada masa lampau juga dinilai tidak wajar mendapat pendidikan. Elizabeth Black Will, dokter perempuan pertama yang menyelesaikan studinya di Geneve University pada 1849, diboikot oleh teman-temannya sendiri dengan dalih bahwa perempuan tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan, ketika sebagian dokter bermaksud mendirikan institut kedokteran khusus perempuan di Philadelphia, Amerika Serikat, ikatan dokter setempat mengancam memboikot semua dokter yang mengajar di Institus itu. (Shihab,2005:115)

Masih ada lagi, dalam revolusi Perancis pada tahun 1789 tidak banyak memberi keuntungan bagi wanita, bahkan perkumpulan-perkumpulan wanita dilarang, dan dalam hukum perdata yang disusun oleh pemimpin-pemimpin Revolusi dan disahkan oleh Napoleon I menunjukkan rendahnya kedudukan wanita. Menurut hukum, suami mempunyai kekuasaan penuh terhadap istrinya, terhadap harta istrinya dan terhadap anak-anaknya. Istri harus tunduk kepada suaminya,tidak diperbolehkan mengadakan transaksi secara hukum tanpa izin suaminya. Istri yang berzinah dapat dihukum penjara 2 tahun, dan kalau tertangkap basah, suaminya boleh membunuhnya tanpa mendapat hukuman. Sebaliknya, suami yang berzinah bebas hukuman. Wanita juga dilarang menghadiri rapat-rapat politik, atau berpakaian celana panjang,dan bila wanita berjalan tanpa pengantar ia bisa ditangkap oleh polisi karena dianggap pelacur. (Suryochondro,1995:31-32)

Di Filiphina sebelum dijajah oleh Spanyol, kedudukan wanita tinggi. Perempuan memerintah di barangaya (desa), permpuan berfungsi sebagai pemuka-pemuka agama bahkan pemimpin-pemimpin militer. Perkawinana umumnya monogami. Anak laki-laki dan perempuan mendapat bagian yang sama dari warisan, sedang istri mendapat separo dari milik bersama. Masyarakat pada waktu itu bersifat egaliter.(Suryochondro,1995:37)

Mengapa perlakuan demikian harus terjadi pada perempuan ?

Sebagian para pakar bahwa kenyataan biologis yang membedakan lelaki dan perempuan mengantar pada lahirnya pandangan tentang harakah, martabat, serta peran utama kedua jenis makhluk Tuhan ini. Ada yang memberi lelaki kedudukan yang lebih tinggi dan peranan yang besar karena lelaki dianggap lebih kuat, lebih potensial, dan lebih produktif. Perempuan kata Thomas Aquino (1225-1274 M), adalah makhluk yang penciptaannya belum sempurna. Mereka terbatasi oleh kodratnya yang lemah, antara lain karena organ reproduksinya menghalani mereka melakukan sekian aktifitas akibat, mestruasi, hamil, melahirkan, dan menyusukan.(Shihab,2005:116)

Begitulah beberapa bias mengenai perempuan yang banyak merebak ditengah masyarakat.

0 komentar:

About Me

Foto Saya
Lingga S. Anshary
sulit sekali untuk mengambil keputusan, namun setelah keputusan diambil yang ada hanya kelegaan karena kita hanya harus melakukannya...
Lihat profil lengkapku
Selamat Datang
di Halamanku,,,,

Penayangan bulan lalu

Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer