Jumat, 19 November 2010

Pandangan Lama Terhadap Perempuan

Oleh Nurul K. Fuadah

Tidak dapat dipungkiri bahwa mengabaikan perempuan berarti mengabaikan setengah dari masyarakat, dan melecehkan mereka berarti melecehkan seluruh manusia karena tidak seorang manusia pun-kecuali Adam dan Hawa-yang tidak lahir melalui seorang perempuan.(Shihab,2005:33)

Tidak dapat disangkal pula bahwa ada bias terhadap perempuan oleh lelaki dan perempuan, muslim maupun non-muslim, ulama, cendekiawan maupun bukan, dari masa lalu sampai masa kini. Bias tersebut bukan saja mengakibatkan peremehan terhadap perempuan karena mempersamakan perempuan secara penuh dengan lelaki menjadikan perempuan menyimpang dari kodratnya, dan ini adalah pelecehan. Sebaliknya, tidak memberi hak-hak perempuan sebagai manusia yang memiliki kodrat dan kehormatan yang tidak kalah dengan apa yang dianugerahkan Allah kepada lelaki, juga merupakan sebuah pelecehan.

Tidak memberi perempuan hak-haknya, sebagai mitra yang sejajar dengan lelaki dan meremehkan perempuan tidak jarang menggunakan dalih keagamaan serta memberi interpretasi terhadap teks-intrepertasi yang lahir dari kesan atau pandangan lama ketika perempuan masih dilecehkan oleh dunia masa lalu.(Shihab,2005:34)

Sebaliknya, yang memberi hak-hak yang melebihi kodrat perempuan, tidak jarang juga mengalami bias ketika berhadapan dengan teks-teks keagamaan dengan menggunakan logika yang keliru lagi tak sejalan dengan teks, jiwa, dan tuntunan agama. Memang sebagian orang, bahkan ulama atau cendekiawan, karena menggebu-gebunya semangat mereka menampik bias atau meluruskan kekeliruan, kesalahpahaman, dan pengamalan umat tentang ajaran agama-sementara mereka-sering kali melampui batas sehingga lahir pandangan yang justru tidak sejalan dengan ajaran agama. Mereka beralih dari satu kesalahan ke kesalahan yang lain, dan berpindah dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain.(Shihab,2005:35)

Dalam literatur agama, ditemukan sekian banyak riwayat atau interpretasi dan pandangan yang dapat dinilai dari sisa-sisa pandangan lama terhadap perempuan. Sekian banyak riwayat yag dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw atau sahabat-sahabat beliau yang diterima sebagai kebenaran, padahal Nabi saw dan sahabat-sahabat itu tidak pernah bermaksud seperti apa yang mereka pahami, atau bahkan Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabat itu tidak pernah mengucapkannya sama sekali dan pengalaman beliau pun bertentangan dengan apa yang dinyatakan sebagai ucapan beliau-beliau itu. Boleh jadi riwayat-riwayat dan pandangan-pandangan sebagian ulama itu diterima secara luas dan dianggap benar karena ia sejalan dengan apa yang terdapat di bawah sadar masyarakat- dari ide-ide lama tentang perempuan- yang belum lama lagi terkikis habis.(Shihab,2005:40)

Ada pandangan-pandangan yang menyatakan bahwa asal kejadian perempuan berbeda dari asal kejadian laki-laki. Pandangan ini bersumber dari hadits (Shihab,2005: 43-44) yang menyatakan:

“Saling memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.”(H.R. Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi melalui Abu Hurairah).

Hadits ini dipahami oleh ulama terdahulu secara harfiah. Namun, tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara metaforis, bahkan ada yang menolak kesahahihannya.

Sebenarnya, hadits ini bermaksud untuk memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan secara bijaksana karena ada sifat dan kecenderungan perempuan yang tidak sama dengan lelaki, yang bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk berperilaku tidak wajar. Siapa pun tidak mampu mengubah kodrat, termasuk kodrat perempuan. Kalau ada yang memaksakan perubahan itu, akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang yang bengkok. Kata bengkok di sini bukan untuk melecehkan perempuan, itu hanya ilustrasi yang diberikan Rasulullah saw terhadap presepsi yang keliru dari sebagian laki-laki menyangkut sifat perempuan sehingga para lelaki itu memaksakan untuk meluruskannya.(Shihab,2005:44)

Memahami hadits di atas dengan makna yang dikemukakan ini, justru mengakui kepribadian perempuan yang menjadi kodrat/bawaannya sejak lahir. Dan tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an maupun hadits yang menyatakan perbedaan penciptaan antara lelaki dan perempuan. Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, tak ada perbedaan antara mereka dari segi asal kejadian kemanusiaannya. Dengan konsiderasi ini, Al-Qur’an menegaskan bahwa "Sesungguhnya Aku (Allah) tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan.” (Q.S. Ali Imran : 195)

Kemudian sebagian ulama masa lampau-bahkan masa kini-masih percaya bahwa “Keberhasilan iblis menggoda manusia tercapai melalui perempuan” atau “perempuan adalah senjata setan memperdaya manusia”, demikian dua ungkapan yang sering terdengar.(Shihab,2005:46)

Dengan adanya dugaaan ini perempuan dinilai sebagai alat-alat setan untuk menjerat lelaki dan menjerumuskan mereka, padahal secara tegas Allah yang menyatakan rencana-Nya menciptakan manusia menjadi khalifah di bumi-jauh sebelum penciptaan manusia- dan bahwa pelanggaran memakan buah terlarang bukan hanya dilakukan-apalagi-atas dorongan perempuan, tetapi dilakukan bersama-Adam dan Hawa- bahkan Q.S. Thaha : 120 menyebutkan bahwa Adam sendiri yaang dibisiki pikiran jahat oleh setan sehingga memakan (buah) pohon terlarang itu- ini agaknya dalam kedudukan beliau sebagai pemimpin rumah tangga yang harus bertaggung jawab atas keluarga/isterinya (Shihab,2005:47-48). Jika demikian, mengapa perempuan yang disalahkan? Memang sebagaian dari pandangan negatif terhadap perempuan bersumber pada budaya non Islam. Dalam perjanjian lama, kesalahan memakan buah terlarang itu tertuang kepada perempuan, yang menurutnya dirayu oleh setan, sehingga dari sini perempuan dikutuk (Perjanjian Lama Kejadian III).

Terdapat juga dalam berbagai literatur, pesan kepada suami/lelaki agar jangan bermusyawarah dengan perempuan, misalnya :

“Berbeda pendapatlah dengan perempuan karena dalam berbeda dengan terdapat keberkahan” (H.R. al-Askari melalui Umar ra.)

Ada lagi riwayat yang menyatakan :

“Menaati/memperkenankan saran perempuan berakhir dengan penyesalan” (H.R. al-Aljuni), bahkan ada riwayat yang menyatakan :

“Musuhmu yang paling utama adalah istrimu yang sepembaringan denganmu” (H.R. ad-Dailami melalui Abu Malik al-Asy’ari).

Riwayat di atas (dan semacamnya) sangat lemah, baik dari segi sanad (rentetan perawi-rawinya), lebih-lebih dari segi matan (kandungan informasinya). Karena hal itu bertentangan dengan apa yang telah diuraikan dalam Al-Qur’an tentang putri Nabi Syu’aib as. mengajukan saran kepada ayahnya yang nabi itu dan sarannya diterima, bahkan diabadika oleh al-Qur’an sebagai petunjuk dan pelajaran bagi umat manusia (baca Q.S. Al-Qashash : 26) (Shihab,2005:51)

Selain itu, pada zaman Yunani kuno, ketika hidup filosof-filosof kenamaan semacam Plato (427-347 SM), Aristoteles (384 -322SM),dan Demosthenes (384-322SM), martabat perempuan dalam pandangan mereka sangat rendah. Perempuan hanya di pandang sebagai alat penerus generasi sangat merajalela. Socrates (470-399SM) berpendapat bahwa dua sahabat setia harus mampu meminjamkan istrinya kepada sahabatnya, sedangkan Demosthenes (384-322SM) berpendapat bahwa istri hanya berfungsi melahirkan anak; filosop Aristoteles menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya, sedangkan Plato menilai kehormatan lelaki pada kemampuannya memerintah dan ’kehormatan’ perempuan menurutnya adalah pada kemampuannya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sederhana/hina sambil terdiam tanpa berbicara.(Shihab,2005:112-113)

Para filosof dahulu membicarakan apakah perempuan mempunyai roh atau tidak. Kalau punya, apakah perempuan tersebut roh binatang atau manusia? Dan kalau manusia, bagaimana kedudukannya?

Dalam masyarakat Romawi, “kewanitaan” menjadi salah satu sebab pembatasan hak seperti halnya anak-anak dan orang gila.

Sejarah mencatat betapa suatu ketika perempuan dinilai sebagai makhluk kelas dua. Dalam masyarakat Hindu, keadaan perempuan tidak lebih baik. Dalam ajaran Manu dinyatakan bahwa, “Wabah penyakit, kematian, racun, ular, dan api kesemuanya lebih baik daripada perempuan”. Istri harus mengabdi kepada suaminya bagaikan mengabdi kepada Tuhan. Ia harus berjalan dibelakangnya, tidak boleh berbicara dan tidak juga makan bersamanya, tetapi memakan sisanya. Bahkan, samapai abad ke 17, seorang istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar, kalau ingin tetap hidup sang istri mencukur rambutnya dan memperburuk wajahnya agar terjamin bahwa ia tidak lagi dimainati lelaki.(Shihab,2005:113-114)

Di Eropa-khususnya pada masa lalu-perempuan juga mendapat tempat terhormat. Pada 586 M, agamawan di Perancis masih mendiskusikan apakah perempuan boleh menyembah Tuhan atau tidak? Apakah mereka juga dapat masuk surga? Diskusi-diskusi itu berakhir dengan kesimpulan bahwa perempuan mempunyai jiwa, tetapi tidak kekal dan dia bertugas melayani lelaki. Pada masa silam di Eropa, hubungan seks dianggap sebagai suatu yang buruk-walau hubungan itu diawali dengan pernikahan yang sah.

Parlemen Skotlandia pada 1567 menetapkan bahwa perempuan tidak boleh diberi wewenang sedikitpun. Bahkan, pada pemerintah Henry VIII (1491-1547) di Inggris, lahir keputusan yang melarang perempuan membaca kitab Injil (Perjanjian Baru).(Shihab,2005:114)

Selanjutnya, meski Eropa telah mengalami revolusi industri (1750 M) dan perbudakan telah dikumandangkan penghapusannya, harakah dan martabat perempuan belum juga mendapat tempat yang wajar. Mereka bekerja di pabrik-pabrik, tetapi gajinya lebih rendah daripada lelaki. Bahkan di Inggris, sampai dengan tahun 1850, perundang-undangan mereka mengakui hak suami untuk menjual istrinya.(Shihab,2005:114-115)

Perempuan-pada masa lampau juga dinilai tidak wajar mendapat pendidikan. Elizabeth Black Will, dokter perempuan pertama yang menyelesaikan studinya di Geneve University pada 1849, diboikot oleh teman-temannya sendiri dengan dalih bahwa perempuan tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan, ketika sebagian dokter bermaksud mendirikan institut kedokteran khusus perempuan di Philadelphia, Amerika Serikat, ikatan dokter setempat mengancam memboikot semua dokter yang mengajar di Institus itu. (Shihab,2005:115)

Masih ada lagi, dalam revolusi Perancis pada tahun 1789 tidak banyak memberi keuntungan bagi wanita, bahkan perkumpulan-perkumpulan wanita dilarang, dan dalam hukum perdata yang disusun oleh pemimpin-pemimpin Revolusi dan disahkan oleh Napoleon I menunjukkan rendahnya kedudukan wanita. Menurut hukum, suami mempunyai kekuasaan penuh terhadap istrinya, terhadap harta istrinya dan terhadap anak-anaknya. Istri harus tunduk kepada suaminya,tidak diperbolehkan mengadakan transaksi secara hukum tanpa izin suaminya. Istri yang berzinah dapat dihukum penjara 2 tahun, dan kalau tertangkap basah, suaminya boleh membunuhnya tanpa mendapat hukuman. Sebaliknya, suami yang berzinah bebas hukuman. Wanita juga dilarang menghadiri rapat-rapat politik, atau berpakaian celana panjang,dan bila wanita berjalan tanpa pengantar ia bisa ditangkap oleh polisi karena dianggap pelacur. (Suryochondro,1995:31-32)

Di Filiphina sebelum dijajah oleh Spanyol, kedudukan wanita tinggi. Perempuan memerintah di barangaya (desa), permpuan berfungsi sebagai pemuka-pemuka agama bahkan pemimpin-pemimpin militer. Perkawinana umumnya monogami. Anak laki-laki dan perempuan mendapat bagian yang sama dari warisan, sedang istri mendapat separo dari milik bersama. Masyarakat pada waktu itu bersifat egaliter.(Suryochondro,1995:37)

Mengapa perlakuan demikian harus terjadi pada perempuan ?

Sebagian para pakar bahwa kenyataan biologis yang membedakan lelaki dan perempuan mengantar pada lahirnya pandangan tentang harakah, martabat, serta peran utama kedua jenis makhluk Tuhan ini. Ada yang memberi lelaki kedudukan yang lebih tinggi dan peranan yang besar karena lelaki dianggap lebih kuat, lebih potensial, dan lebih produktif. Perempuan kata Thomas Aquino (1225-1274 M), adalah makhluk yang penciptaannya belum sempurna. Mereka terbatasi oleh kodratnya yang lemah, antara lain karena organ reproduksinya menghalani mereka melakukan sekian aktifitas akibat, mestruasi, hamil, melahirkan, dan menyusukan.(Shihab,2005:116)

Begitulah beberapa bias mengenai perempuan yang banyak merebak ditengah masyarakat.

Problematika Perempuan Kini

Ali Abdul Halim Mahmud (2007: 207), menerangkan dalam bukunya bahwa problem perempuan modern terjadi dalam beberapa hal, yaitu mengenai pendidikan, pekerjaan, pernikahan, perceraian, poligami, dan hijab bagi muslimah.

1. Pendidikan dan Pekerjaan

Bagi perempuan, menuntut ilmu merupakan hak asasi yang dilindungi Islam. Bahkan, Islam mewajibkan walinya untuk memberikan pendidikan, sebagaimana Hadits Rasulullh yang diriwayatkan Abu Nu’aim sebagai berikut:

“Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nama yang baik, mengajarkan menulis (mendidik), dan menikahkan ketika sudah baligh.”

Sesungguhnya Islam telah mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu dan berdakwah di jalan Allah. Bagaimana caranya seorang muslimah berdakwah jika ia tidak mempunyai pendidikan yang memadai. Abdul Halim Mahmud (2007: 214) mengecam anggapan bahwa Islam telah melarang para perempuan untuk belajar dan mengajar, dan Islam melarang perempuan untuk pergi keluar menuntut ilmu atau keperluan lainnya.

Tuduhan dan bualan seperti itu menurut beliau adalah ketidak benaran yang telah disebarkan para pembenci dan pendengki Islam. Mereka menyimpan kedengkian dalam hatinya dari kalangan orientalis, misionaris, dan kolonialis, dengan tujuan menipu umat Islam sehingga perempuan-perempuannya bodoh dan tidak terpelajar. Akibatnya, banyak rumah tangga kaum Muslimin sepi dari ibu-ibu yang terpelajar. Tidak memiliki pemahaman dan tsaqafah yang luas, juga tidak pandai meniddik serta menanamkan prinsip-prinsip Islam dan nilai-nilainya yang tinggi kepada anak-anaknya (Mahmud, 2007: 215).

Kemudian Islam memberikan toleransi kepada kaum perempuan untuk menjalani kariernya sebagai pekerja, sebagaimana diberikan kepada laki-laki. Allah berfirman:

“ dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah [9]: 105)

Islam menurut beliau (Mahmud, 2007: 233), telah memberikan banyak kelonggaran kepada perempuan untuk bekerja. Namun terdapat syarat yang harus dipenuhi apabila ia ingin bekerja, yaitu:

a. Pekerjaan yang ditekuni harus sesuatu yang diridhali oleh oleh Allah, diperbolehkan dan tidak mengandung maksiat.

b. Harus seizin wali.

c. Sesuai dengan sifat dan karakter kepermpauanan

d. Tidak menyebabkannya menyendiri di tengah laki-laki

e. Bukan pekerjaan yang menyebabkan ia menyingkap auratnya

f. Tidak mengharuskan berpakaian seperti laki-laki

g. Tidak merangasang laki-laki lewat pakaian dan aroma parfumnya.

Inilah etika bagi kaum perempuan Muslimah, baik zaman dulu maupun zaman sekarang. Kemudian beliau menegaskan bahwa pekerjaan terbaik perempuan tetaplah pekerjaan yang dapat dikerjakan di rumah bersama suami, anak-anak dan familinya. Pekerjaan seperti ini akan lebih baik baginya, rumah tangganya, masyarakat seluruhnya yang menganggap bahwa keluarga adalah batu bata pertama bangunan (Mahmud, 2007: 233).

Namun menurut beliau (Mahmud, 2007: 236) perempuan yang bekerja akan kehilangan kesegaran fisik dan jiwa, karena setelah bekerja, ia kecapaian dan ketika sampai ke rumahnya maka di hadapannya telah menghadang pekerjaan rumah yang membutuhkan penanganan dari seorang yang secara khusus mengatasi pekerjaan itu. Sebagian perempuan menganggap bahwa pembantu dapat mengatasi semua masalah. Namun pembantu tidaklah dapat menggantikan posisi ibu di rumah untuk mengurusi rumah tangga.

Di sisi lain, orang yang mengatakan bahwa tinggal di rumah adalah sesuatu yang membelenggu dab menjemukan. Menurut beliau (Mahmud, 2007: 237), hal ini terjadi karena perempuan tidak mengetahui apa yang seharusnya dia lakukan di rumah sehingga ia menyerahkan tugasnya tersebut kepada pembantu.

2. Pernikahan, Perceraian, dan Poligami

Pernikahan dalam Islam merupkan fondasi di mana sistem sosial secara keseluruhan tegak ditasnya. Oleh karena itu, Islam telah menjadikan pernikahan itu dapat meliputi seluruh jaminan moral, sosial, dan agama yang dapat memudahkannya untuk melaksanakan tugas dan fungsi utamanya yaitu menjadikan dan menciptakan ketenteraman sosial (Mahmud, 2007: 273).

Sistem pernikahan dalam islam dapat menjadikan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban sebagai ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Suami serta istri bersama-sama bahu-membahu mengatasi berbagai masalah yang mendera dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya tersebut.

Namun musuh-musuh Islam menganggap bahwa kepemimpinan suami dalam rumah tangga adalah sebuah kediktatoran dan sewenang-wenang (Mahmud, 2007: 274). Mereka menuntut agar laki-laki dan perempuan disamakan tanggung jawabnya dalam rumah tangga, bahkan mereka tidak melarang perempuan menjadi pemimpin dalam rumah tangga.

Selanjutnya adalah perceraian. Sesuatu yang halal namun dibenci oleh Allah ini mempunyai proses dan tata cara yang telah diatur sedemikian rupa dalam Islam. Suami memiliki hak talaq dan istri memiliki hak khulu’. Perempuan melakukan khulu’ apabila ia telah mencapai puncak kesabarannya untuk membina rumah tangga. Sehingga khulu’ dapat dilakukan apabila ada faktor yang mengharuskan.

Namun sebagian orang yang tidak mengerti menganggap ada ketidak adilan dalam sistem perceriann ini. Istri dibatasi untuk mengajukan cerai, sedangkan suami bebas melakukan talaq kepada istrinya. Pemahaman seperti ini merupakan kesalahan besar, karena dalam Islam baik talaq maupun khulu’ diberikan apabila telah terjadi kemadharatan yang mengharuskan mereka berdua berpisah.

Selain itu poligami merupakan isu yang selalu menjadi topik hangat di setiap pembahasannya. Islam membolehkan memperistri lebih dari satu yang menurut mereka adalah suatu pelanggaran hak asasi manusia. Perempuan dirugikan dengan adanya istri lain dari suaminya. Istri pertama mendpat tekanan yang besar dan sebagainya. Mereka menganggap bahwa tidak ada kesetiaan dalam pernikahan Islam.

Namun mereka melupakan bahwa poligami bukanlah barang baru, namun telah dibolehkan oleh agama-agama samawi selain Islam yaitu Yahuid dan Nasharani (Mahmud, 2007: 290). Apabila dilihat dalam perjanjian Lama maka dapat ditemukan bahwa agama Yahudi membolehkan melakukan poligami sebagaimana Nabi Daud yang mempunyai istri sangat banyak. Nabi Sulaiman pernah menikahi lebih dari satu istri bahkan dari seratus istri.

3. Hijab Bagi Muslimah.

Pengertian hijab bagi seorang muslimah adalah bagaimana agar perempuan menutup bagian-bagian tubuhnya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. Semua tubuhnya ditutupi kecuali wajah dan telapak tangannya sebagaimana telah disepakati jumhur ulama. Wajib bagi seorang perempuan menutup aurat agar tidak menimbulkan fitnah serta memelihara perempuan dan masyarakat (Mahmud, 2007: 310).

Hijab atau penutup aurat ini tidak boleh menjadi penghambat untuk mengerjakan aktivitas hidupnya sehari-hari. Orang-orang yang membenci Islam memandang hijab sebagai kendala bagi perempuan dan penghinaan baginya, serta menghilangkan kebebasan seakan-akan memandang bahwa apabila perempuan itu telanjang dan membuka auratnya maka hal itu lebih baik untuk dia dan lebih pantas untuk menjaga kehormatan dan keperempuanannya (Mahmud, 2007: 311).

PEREMPUAN SHOLEHAH

Shalihah atau tidaknya seorang perempuan bergantung ketaatannya pada aturan-aturan Allah. Aturan-aturan tersebut berlaku universal, bukan saja bagi perempuan yang sudah menikah, tapi juga bagi remaja putri. Mulialah perempuan shalihah. Inilah salah satu bukti kesempurnaan Islam, dimana perempuan dimuliakan dan ditempatkan dalam posisi yang tinggi.
Jika ia wafat, Allah akan menjadikannya bidadari di surga. Kemuliaan perempuan shalihah digambarkan Rasulullah Saw. dalam sabdanya, “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah perempuan shalihah”. (HR. Muslim).
Dalam al-Quran surat An-Nur: 30-31, Allah swt. memberikan gambaran perempuan shalihah sebagai perempuan yang senantiasa mampu menjaga pandangannya. Ia selalu taat kepada Allah dan Rasul Nya. Make up-nya adalah basuhan air wudhu. Lipstiknya adalah dzikir kepada Allah. Celak matanya adalah memperbanyak bacaan al-Quran. Perempuan shalihah sangat memperhatikan kualitas kata-katanya. Di dunia, ia akan menjadi cahaya bagi keluarganya dan berperan melahirkan generasi dambaan.
Katakanlah kepada perempuan yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke-dadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.

Tidak ada dalam sejarahnya seorang perempuan shalihah itu centil, suka jingkrak-jingkrak, dan menjerit-jerit saat mendapatkan kesenangan. Ia akan sangat menjaga setiap tutur katanya agar bernilai bagaikan untaian intan yang penuh makna dan bermutu tinggi. Dia sadar betul bahwa kemuliaannya bersumber dari kemampuannya menjaga diri (iffah). Perempuan shalihah itu murah senyum. Baginya, senyum adalah shadaqah. Namun, senyumnya tetap proporsional.
Tidak setiap laki-laki yang dijumpainya diberikan senyuman manis. Senyumnya adalah senyum ibadah yang ikhlas dan tidak menimbulkan fitnah bagi orang lain. Perempuan shalihah juga pintar dalam bergaul. Dengan pergaulan itu, ilmunya akan terus bertambah. Ia akan selalu mengambil hikmah dari orang-orang yang ia temui. Kedekatannya kepada Allah semakin baik dan akan berbuah kebaikan bagi dirinya maupun orang lain. Ia juga selalu menjaga akhlaknya.
Salah satu ciri bahwa imannya kuat adalah kemampuannya memelihara rasa malu. Dengan adanya rasa malu, segala tutur kata dan tindak tanduknya selalu terkontrol. Ia tidak akan berbuat sesuatu yang menyimpang dari bimbingan al-Quran dan Sunnah. Ia sadar bahwa semakin kurang iman seseorang, makin kurang rasa malunya. Semakin kurang rasa malunya, makin buruk kualitas akhlaknya.
Pada prinsipnya, perempuan shalihah adalah perempuan yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia menyadari bahwa hidupnya tidak berarti tanpa lindungan dan anugerah Allah. Hidupnya akan hampa tanpa petunjuk dan rambu-rambu kehidupan dari Allah.
Rambu-rambu kemuliaannya bukan dari aneka aksesori yang ia gunakan. Justru ia selalu menjaga kecantikan dirinya agar tidak menjadi fitnah bagi orang lain. Kecantikan satu saat bisa jadi anugerah yang bernilai. Tapi jika tidak hati-hati, kecantikan bisa jadi sumber masalah yang akan menyulitkan pemiliknya sendiri. Saat mendapat keterbatasan fisik pada dirinya, perempuan shalihah tidak akan pernah merasa kecewa dan sakit hati, ia yakin bahwa itulah yang terbaik menurut Allah dan terdapat rencana indah dibalik hal tersebut. Ia yakin bahwa kekecewaan adalah bagian dari sikap kufur nikmat. Dia tidak akan merasa minder dengan keterbatasannya. Pribadinya begitu indah sehingga make up apa pun yang dipakainya akan memancarkan cahaya kemuliaan. Bahkan, kalaupun ia tidak memakai make up sedikit pun, kecantikan jiwanya akan tetap terpancar dan menyejukkan hati orang-orang di sekitarnya.
Jika ingin menjadi perempuan shalihah, maka belajarlah dari lingkungan sekitar dan orang-orang yang kita temui. Ambil ilmunya dari mereka. Kita bisa mencontoh istri-istri Rasulullah saw. seperti Aisyah ra. Ia terkenal dengan kekuatan pikirannya. Seorang istri dambaan yang mempunyai gudang ilmu tempat suami dan anak-anak bertukar pikiran.
Contoh pula Siti Khadijah, figur istri shalihah penenteram batin, pendukung setia, dan penguat semangat suami dalam berjuang di jalan Allah swt. Beliau berkorban harta, kedudukan, dan dirinya demi membela perjuangan Rasulullah. Begitu kuatnya kesan keshalihan Khadijah, hingga nama beliau terus disebut-sebut oleh Rasulullah walau beliau telah lama meninggal.
Keshalihan bukanlah keturunan, namun usaha serta didikan yang baiklah yang membuat seorang perempuan mencapai derajat tersebut. Seorang pelajar yang baik akhlak dan tutur katanya, bisa jadi gambaran seorang ibu yang mendidiknya menjadi manusia berakhlak. Didikan yang baik pun tidak menjadi jaminan seseorang menjadi wanita shalihah tanpa ada kesadaran dan usaha dari dirinya untuk shalih. Banyak sejarah mencatat didikan orang tua atau faktor keturunan tidak menjadikan anak atau turunannya baik atau shalih.
Sulit dibayangkan, seorang perempuan shalihah tiba-tiba muncul tanpa didahului sebuah proses. Di sini, faktor usaha sangat menentukan. Begitu pun dengan pola pendidikan, lingkungan, keteladanan, dan lain-lain. Apa yang tampak, bisa menjadi gambaran bagi sesuatu yang tersembunyi. Banyak perempuan bisa sukses. Namun tidak semua bisa shalihah. Shalihah atau tidaknya seorang perempuan bergantung ketaatannya pada aturan-aturan Allah.
Aturan-aturan tersebut berlaku universal, bukan saja bagi perempuan yang sudah menikah, tapi juga bagi remaja putri. Tidak akan rugi jika seorang remaja putri menjaga sikapnya saat mereka berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Bertemanlah dengan orang-orang yang akan menambah kualitas ilmu, amal, dan ibadah kita. Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Jika kita ingin mengenal pribadi seseorang maka lihatlah teman-teman di sekelilingnya.” Peran perempuan shalihah sangat besar dalam keluarga, bahkan negara.
Kita pernah mendengar bahwa di belakang seorang pemimpin yang sukses ada seorang perempuan yang sangat hebat. Jika perempuan shalihah ada di belakang para lelaki di dunia ini, maka berapa banyak kesuksesan yang akan diraih. Selama ini, perempuan hanya ditempatkan sebagai pelengkap saja, yaitu hanya mendukung dari belakang, tanpa peran tertentu yang serius. Perempuan adalah tiang Negara. Bayangkanlah, jika tiang penopang bangunan itu rapuh, maka sudah pasti bangunannya akan roboh dan rata dengan tanah. Tidak akan ada lagi yang tersisa kecuali puing-puing yang nilainya tidak seberapa. Kita tinggal memilih, apakah akan menjadi tiang yang kuat atau tiang yang rapuh? Jika ingin menjadi tiang yang kuat, kaum perempuan harus terus berusaha menjadi perempuan shalihah dengan mencontoh pribadi istri-istri Rasulullah. Dengan terus berusaha menjaga kehormatan diri dan keluarga serta memelihara farji-nya, maka pesona perempuan shalihah akan melekat pada diri kaum perempuan kita.

By Fitri Pratama

Menjadi Perempuan Tangguh

Kata perempuan memiliki berbagai arti sesuai dengan kata yang merangkainya. Bisa bermakna baik atau sebaliknya berarti jelek. Begitu pun yang terjadi pada sosok perempuan sebagai wujud nyata manusia, bisa menjadi sosok yang baik dan bisa juga menjadi jelek tergantung akhlak yang dicerminkan dalam tingkah lakunya. Dan akhlak ini adalah cermin dari kualitas iman seorang perempuan.

Ibnu Mas’ud mengatakan “Sesungguhnya jiwa manusia itu mempunyai saat dimana ia ingin beribadah dan ada saat dimana enggan beribadah.”

Di antara dua keadaan itulah semua manusia menjalani kehidupan ini. dan di antara dua keadaan itu pula nasib manusia ditentukan. Dalam arti lain, semakin seseorang berada dalam iman yang rendah, maka besar kemungkinan dalam kondisi ini ia akan mengakhiri hidupnya. Demikian sebaliknya, jika seseorang semakin sering berada pada kondisi iman yang tinggi, maka semakin besar peluangnya memperoleh akhir kehidupan yang baik.

Sejatinya perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki dalam mencapai sifat-sifat mulia, seperti kuat imannya, patuh pada Allah, konsisten pada kebenaran, memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi, sabar dan tangguh. Sebagaimana Allah menerangkan dalam Al-Quran bahwa dihadapan-Nya manusia tidak memiliki perbedaan kecuali ketakwaannya.

Pertanyaannya, bagaimana cara kaum perempuan mewujudkan kondisi pribadi yang berujung kebaikan dan tangguh tersebut?. Pribadi pantang menyerah dan tangguh adalah tidak lain sebutan bagi pribadi yang tidak merasa lemah terhadap sesuatu yang terjadi dan menimpanya. Pribadinya menganggap sesuatu yang terjadi itu dari segi positifnya. Ia yakin betul bahwa skenario Allah itu tidak akan melesat sekali pun.

Pribadi tangguh ini tidak lain adalah pribadi yang memiliki kemampuan untuk bersyukur apabila ia mendapat sesuatu yang berkaitan dengan kebahagiaan, kesuksesan, mendapat rezeki, dan lain-lain. Sebaliknya, jika ia mendapati sesuatu yang tidak diharapkannya, entah itu berupa kesedihan, kegagalan, mendapat bencana, dll, maka ia memiliki ketahanan untuk selalu bersabar. Dan pribadi seperti ini memposisikan setiap kejadian yang menimpanya adalah atas izin dan kehendak Allah. Ia pasrah dan selalu berusaha untuk bangkit dengan cara mengambil pelajaran dari setiap kejadian tersebut. Pribadi pantang menyerah ini bukan saja semata-mata dilihat dari secara fisik. Tetapi lebih-lebih dan yang lebih penting justru adanya sifat positif dalam jiwanya yang begitu tangguh dan kuat. Pada dasarnya manusia kuat karena mentalnya kuat, begitu pun sebaliknya seseorang menjadi lemah, karena mentalnya lemah juga, dan juga orang sukses, ia sukses karena memiliki keinginan untuk sukses. Dan seseorang gagal karena ia berbuat gagal.

Dalam hal ini ada hadits Nabi yang menyebutkan bahwa:

“Orang mukmin yang kuat lebih disukai dan lebih baik dari mukmin yang lemah.”

Jadi, manusia tangguh dan kuat itu sudah seharusnya menjadi cita-cita kaum perempuan sebagai rahim kebangkitan bangsa ini dan dalam rangka mengabdi kepada Allah.

Intinya, menjadi perempuan tangguh dan pantang menyerah ini adalah sebuah tuntutan di zaman sekarang. Namun demikian, menurut KH. Dr. Muslih Abdul Karim,MA, dosen pascasarjana di Perguruan Tinggi Al-Qur’an dan LIPIA, Jakarta menyatakan bahwa yang menjadi catatan penting adalah untuk menjadi manusia tangguh, seorang perempuan tidak harus keluar dari sifat/ watak dasarnya, yaitu lembut, penyayang, dan sebagainya. Ia tidak harus menjadi maskulin atau berperilaku seperti laki-laki. Bukan seperti itu. Ketangguhan yang demikian itu justru melenceng dari akar dan watak dasarnya.

Lebih jauh diungkapkan Muslih, perempuan bisa menjadi tangguh dengan caranya sendiri. Ia bisa menjadi pahlawan dengan kelembutannya dan bisa menjadi teladan dengan sifat penyayangnya manakala semua tindakannya terbingkai dan terarah oleh perkataan-perkataan Tuhannya.

Dalam konteks ini dapat disebutkan bahwa kesuksesan (menjadi prempuan tangguh) menurut pandangan al-Qur’an itu memiliki dua syarat pokok, yakni Iman dan Ilmu.

Kedua hal ini kalau kita kaji secara rinci jelas-jelas memiliki pengaruh sangat besar dalam kehidupan manusia. Dengan kuatnya iman seseorang, maka ia akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan manusia. Menurut M. Ridwan IR Lubis (1985), ada tiga pengaruh iman tersebut, yaitu berupa:

Kekuatan berpikir (quwatul idraak), kekuatan fisik (quwatul jismi), dan kekuatan ruh (quwatur ruuh).

Sedangkan menurut M. Yunan Nasution (1976), mengungkapkan pengaruh iman terhadap kehidupan manusia itu berupa: iman akan melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda; menanamkan semangat berani menghadapi maut; membentuk ketenteraman jiwa; dan membentuk kehidupan yang baik.

Akhirnya, untuk mencapai dampak dari kekuatan iman itu kuncinya terletak pada manusia itu sendiri. Jika kita cermati sebenarnya pembentukan sifat pribadi perempuan yang pantang menyerah dan tangguh ini adalah berawal dari sifat optimisme yang menyelimuti pola pikirnya. Sehingga untuk menjadikan perempuan itu menjadi pribadi pantang menyerah dan tangguh, maka dalam dirinya harus tertanam sikap optimis, berpikir positif, dan percaya diri.

About Me

Foto Saya
Lingga S. Anshary
sulit sekali untuk mengambil keputusan, namun setelah keputusan diambil yang ada hanya kelegaan karena kita hanya harus melakukannya...
Lihat profil lengkapku
Selamat Datang
di Halamanku,,,,

Penayangan bulan lalu

Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer