Problematika Perempuan Kini
Ali Abdul Halim Mahmud (2007: 207), menerangkan dalam bukunya bahwa problem perempuan modern terjadi dalam beberapa hal, yaitu mengenai pendidikan, pekerjaan, pernikahan, perceraian, poligami, dan hijab bagi muslimah.
1. Pendidikan dan Pekerjaan
Bagi perempuan, menuntut ilmu merupakan hak asasi yang dilindungi Islam. Bahkan, Islam mewajibkan walinya untuk memberikan pendidikan, sebagaimana Hadits Rasulullh yang diriwayatkan Abu Nu’aim sebagai berikut:
“Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nama yang baik, mengajarkan menulis (mendidik), dan menikahkan ketika sudah baligh.”
Sesungguhnya Islam telah mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu dan berdakwah di jalan Allah. Bagaimana caranya seorang muslimah berdakwah jika ia tidak mempunyai pendidikan yang memadai. Abdul Halim Mahmud (2007: 214) mengecam anggapan bahwa Islam telah melarang para perempuan untuk belajar dan mengajar, dan Islam melarang perempuan untuk pergi keluar menuntut ilmu atau keperluan lainnya.
Tuduhan dan bualan seperti itu menurut beliau adalah ketidak benaran yang telah disebarkan para pembenci dan pendengki Islam. Mereka menyimpan kedengkian dalam hatinya dari kalangan orientalis, misionaris, dan kolonialis, dengan tujuan menipu umat Islam sehingga perempuan-perempuannya bodoh dan tidak terpelajar. Akibatnya, banyak rumah tangga kaum Muslimin sepi dari ibu-ibu yang terpelajar. Tidak memiliki pemahaman dan tsaqafah yang luas, juga tidak pandai meniddik serta menanamkan prinsip-prinsip Islam dan nilai-nilainya yang tinggi kepada anak-anaknya (Mahmud, 2007: 215).
Kemudian Islam memberikan toleransi kepada kaum perempuan untuk menjalani kariernya sebagai pekerja, sebagaimana diberikan kepada laki-laki. Allah berfirman:
“ dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah [9]: 105)
Islam menurut beliau (Mahmud, 2007: 233), telah memberikan banyak kelonggaran kepada perempuan untuk bekerja. Namun terdapat syarat yang harus dipenuhi apabila ia ingin bekerja, yaitu:
a. Pekerjaan yang ditekuni harus sesuatu yang diridhali oleh oleh Allah, diperbolehkan dan tidak mengandung maksiat.
b. Harus seizin wali.
c. Sesuai dengan sifat dan karakter kepermpauanan
d. Tidak menyebabkannya menyendiri di tengah laki-laki
e. Bukan pekerjaan yang menyebabkan ia menyingkap auratnya
f. Tidak mengharuskan berpakaian seperti laki-laki
g. Tidak merangasang laki-laki lewat pakaian dan aroma parfumnya.
Inilah etika bagi kaum perempuan Muslimah, baik zaman dulu maupun zaman sekarang. Kemudian beliau menegaskan bahwa pekerjaan terbaik perempuan tetaplah pekerjaan yang dapat dikerjakan di rumah bersama suami, anak-anak dan familinya. Pekerjaan seperti ini akan lebih baik baginya, rumah tangganya, masyarakat seluruhnya yang menganggap bahwa keluarga adalah batu bata pertama bangunan (Mahmud, 2007: 233).
Namun menurut beliau (Mahmud, 2007: 236) perempuan yang bekerja akan kehilangan kesegaran fisik dan jiwa, karena setelah bekerja, ia kecapaian dan ketika sampai ke rumahnya maka di hadapannya telah menghadang pekerjaan rumah yang membutuhkan penanganan dari seorang yang secara khusus mengatasi pekerjaan itu. Sebagian perempuan menganggap bahwa pembantu dapat mengatasi semua masalah. Namun pembantu tidaklah dapat menggantikan posisi ibu di rumah untuk mengurusi rumah tangga.
Di sisi lain, orang yang mengatakan bahwa tinggal di rumah adalah sesuatu yang membelenggu dab menjemukan. Menurut beliau (Mahmud, 2007: 237), hal ini terjadi karena perempuan tidak mengetahui apa yang seharusnya dia lakukan di rumah sehingga ia menyerahkan tugasnya tersebut kepada pembantu.
2. Pernikahan, Perceraian, dan Poligami
Pernikahan dalam Islam merupkan fondasi di mana sistem sosial secara keseluruhan tegak ditasnya. Oleh karena itu, Islam telah menjadikan pernikahan itu dapat meliputi seluruh jaminan moral, sosial, dan agama yang dapat memudahkannya untuk melaksanakan tugas dan fungsi utamanya yaitu menjadikan dan menciptakan ketenteraman sosial (Mahmud, 2007: 273).
Sistem pernikahan dalam islam dapat menjadikan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban sebagai ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Suami serta istri bersama-sama bahu-membahu mengatasi berbagai masalah yang mendera dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya tersebut.
Namun musuh-musuh Islam menganggap bahwa kepemimpinan suami dalam rumah tangga adalah sebuah kediktatoran dan sewenang-wenang (Mahmud, 2007: 274). Mereka menuntut agar laki-laki dan perempuan disamakan tanggung jawabnya dalam rumah tangga, bahkan mereka tidak melarang perempuan menjadi pemimpin dalam rumah tangga.
Selanjutnya adalah perceraian. Sesuatu yang halal namun dibenci oleh Allah ini mempunyai proses dan tata cara yang telah diatur sedemikian rupa dalam Islam. Suami memiliki hak talaq dan istri memiliki hak khulu’. Perempuan melakukan khulu’ apabila ia telah mencapai puncak kesabarannya untuk membina rumah tangga. Sehingga khulu’ dapat dilakukan apabila ada faktor yang mengharuskan.
Namun sebagian orang yang tidak mengerti menganggap ada ketidak adilan dalam sistem perceriann ini. Istri dibatasi untuk mengajukan cerai, sedangkan suami bebas melakukan talaq kepada istrinya. Pemahaman seperti ini merupakan kesalahan besar, karena dalam Islam baik talaq maupun khulu’ diberikan apabila telah terjadi kemadharatan yang mengharuskan mereka berdua berpisah.
Selain itu poligami merupakan isu yang selalu menjadi topik hangat di setiap pembahasannya. Islam membolehkan memperistri lebih dari satu yang menurut mereka adalah suatu pelanggaran hak asasi manusia. Perempuan dirugikan dengan adanya istri lain dari suaminya. Istri pertama mendpat tekanan yang besar dan sebagainya. Mereka menganggap bahwa tidak ada kesetiaan dalam pernikahan Islam.
Namun mereka melupakan bahwa poligami bukanlah barang baru, namun telah dibolehkan oleh agama-agama samawi selain Islam yaitu Yahuid dan Nasharani (Mahmud, 2007: 290). Apabila dilihat dalam perjanjian Lama maka dapat ditemukan bahwa agama Yahudi membolehkan melakukan poligami sebagaimana Nabi Daud yang mempunyai istri sangat banyak. Nabi Sulaiman pernah menikahi lebih dari satu istri bahkan dari seratus istri.
3. Hijab Bagi Muslimah.
Pengertian hijab bagi seorang muslimah adalah bagaimana agar perempuan menutup bagian-bagian tubuhnya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. Semua tubuhnya ditutupi kecuali wajah dan telapak tangannya sebagaimana telah disepakati jumhur ulama. Wajib bagi seorang perempuan menutup aurat agar tidak menimbulkan fitnah serta memelihara perempuan dan masyarakat (Mahmud, 2007: 310).
Hijab atau penutup aurat ini tidak boleh menjadi penghambat untuk mengerjakan aktivitas hidupnya sehari-hari. Orang-orang yang membenci Islam memandang hijab sebagai kendala bagi perempuan dan penghinaan baginya, serta menghilangkan kebebasan seakan-akan memandang bahwa apabila perempuan itu telanjang dan membuka auratnya maka hal itu lebih baik untuk dia dan lebih pantas untuk menjaga kehormatan dan keperempuanannya (Mahmud, 2007: 311).
Blog Archive
About Me
- Lingga S. Anshary
- sulit sekali untuk mengambil keputusan, namun setelah keputusan diambil yang ada hanya kelegaan karena kita hanya harus melakukannya...
di Halamanku,,,,
0 komentar:
Posting Komentar