Senin, 01 Oktober 2012

Recommended Drama



Kenangan akan selalu menjadi kenangan jika hanya dikenang. namun demikian kenangan akan menjadi suram bila terus disesali, sebaliknya kenangan akan menjadi kebahagiaan jika dijadikan sebagai pelajaran yang berharga.
Berhari-hari, berminggu-minggu, bertahun-tahun aku akan selalu mengenang masa kanak-kanakku, masa sekolahku, masa kuliahku, sebagai masa laluku. namun manusia adalah makhluk pelupa, seperti yang dikatakan tokoh Edward dalam Twilight "setiap saat manusia mudah lupa dan dialihkan perhatiannya."

untungnya, sebuah serial drama telah mangingatkan aku pada indahnya masa laluku. teringat kenangan ketika bahagia, kesal, sedih, gundah, nyaman dan beragama perasaan yang ku rasakan. berhari-hari aku terlena di depan layar komputer menyambangi drama yang berjudul Reply 1997.

   


Drama ini bercerita tentang kehidupan lima sahabat yang berjuang mencari arti dari kehidupannya. drama yang dibintangi Jung Eun Ji, Seo In Guk ini mendapatkan sambutan yang sangat baik dari penonton korea maupun mancanegara. Sungguh indah masa-masa remaja, membuatku ingin terbang ke masa lalu dan mengulangi kenangan indah bersama teman-temanku.
Kamis, 14 Juni 2012

Taubat....


Menurut Isa (2010:194) dalam bukunya hakikat Tasaw.uf taubat adalah tahap pertama dalam menempuh tahap-tahap berikutnya. Taubat adalah jalan untuk membersihkan segala dosa. Setelah manusia dilumuri berbagai dosa. Tanpa adanya taubat seseorang tidak akan dapat menempuh jalan menuju Allah swt. Para sufi mengatakan bahwa taubat adalah bahagian terpenting dalam kehidupan menuju Allah SWT..
Al-Hujwiri mengatakan tiada ibadah yang benar apabila tidak disertai pertaubatan. Taubat adalah tahap pertama di dalam jalur ini. Ia berpendapat bahwa terdapat tiga hal yang termasuk dalam taubat: Pertama : taubat karena ketidak taatannya, kedua : memutuskan untuk tidak melakukan dosa lagi, ketiga : segera meninggalkan perbuatan dosa itu.
Ada banyak definisi taubat di kalangan sufi, Abul Husain an-Nuri, mengungkapkan definisi tentang taubat. "Taubat adalah menolak dari semua, kecuali Allah yang Maha Tinggi", dan pemikiran yang sama dari penyesalan tahap tertinggi adalah berbeda sama sekali dari yang biasa terjadi, sebagaimana ditemukan dalam suatu pernyataan, "Dosa-dosa bagi mereka yang dekat dengan Allah swt.. adalah suatu perbuatan baik yang pada tempatnya". Sedang al-Ghazali menyatakan, bahwa hakikat taubat adalah kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah mengatakan bahwa taubat yang murni itu mengandungi tiga unsur: Pertama : taubat yang meliputi atas keseluruhan jenis dosa, tidak ada satu dosa pun melainkan bertaubat karenanya; Kedua : membulatkan tekad dan bersungguh-sungguh dalam bertaubat, sehingga tiada keraguan dan menunda-nunda kesempatan untuk bertaubat; dan Ketiga : menyucikan jiwa dari segala kotoran dan hal-hal yang dapat mengurangi rasa keikhlasan, khauf kepada Allah swt. dan menginginkan karunia-Nya.
Taubat adalah kembali dari segala sesuatu yang tercela dalam pandangan syariat kepada segala sesuatu yang terpuji dalam pandangannya. Taubat merupakan prinsip pokok  dalam kegiatan spiritual para sufi, kunci kebahagiaan bagi para murid dan syarat sahnya perjalanan menuju Allah. Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk melakukan Taubat dalam banyak ayat al-Quran dan menjadikan sebagai sebab untuk memperoleh keuntungan di dunia dan akhirat.
Menurut Syuqail (2004:118) taubat adalah kembali dari yang disesali menuju amalan yang lebih baik. Taubat yang disyari’atkan adalah kembali menuju Allah, kembali mengerjakan apa yang diperintahkan yang dahulu pernah ditinggalkan, dan kembali meninggalkan larangan yang dahulu pernah dikerjakan. Taubat tidak sebatas pada berhenti dari perbuatan dosa saja, sebagaimana yang dipahami oleh mayoritas orang yang tidak berilmu. Taubat lebih dari itu. Taubat dari meninggalkan kebaikan-kebaikan yang diperintahkan lebih penting daripada taubat dari melaksanakan dosa.
Taubat adalah langkah pasti menuju istiqamah dan menyongsong hidayat Allah, menjauhkan diri dari ketergelinciran dan kenistaan. Ia adalah pintu kehormatan yang dibuka bagi para pendosa untuk kembali tanpa ditunda-tunda
.
Taubat adalah suatu amalan yang harus dilakukan oleh seluruh muslimin dan mukminin di sepanjang hayatnya. Banyak ayat Al-Quran yang menyatakan pentingnya taubat, di antaranya:

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung”. (Q.S. [24] An-Nur: 31).
             
” Hai orang-orang yang beriman, berTaubatlah kepada Allah dengan Taubat yang semurni-murninya”. (QS At-Tahrim:8)

  
" dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, Maka Sesungguhnya Dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.”(Q.S al-Furqan:68-71)
 
 ”orang-orang yang mengerjakan kejahatan, kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; Sesungguhnya Tuhan kamu sesudah taubat yang disertai dengan iman itu adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
 
Maka aku katakana kepada mereka,’Mohonlah ampun kepada Tuhan kalian-sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-niscaya Dia akan mengirimkan ujan kepada kalian dengan lebat, membanyakkan harta dan anak-anak kalian, mengadakan untuk kalian kebun-kebun. An mengadakan (pula didalamnya) untuk kalin sungai-sungai.”(QS. Nuh:10-13)
 
Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada di taman-taman (surga) dan mata air-mata air, samba mengambil apa yang diberikan kepada mera oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).”(QS Adz-Dzariyat:15-18).
  
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. [3] Ali Imran: 133).

Diriwayatkan dari Aghar ibn Yasar al-Muzani dari Nabi s.a.w beliau bersabda:
   يا يها الناس توبوا الي الله واستغفروه فاني  اتوب الي الله واستغفروه في اليوم ما ئة مرة
Wahai seklian manusia , berTaubatlah kalian kepada Allah dan mohonlah ampunan –Nya. Sesungguhnya aku berTaubat kepada-Nya dalam sehai semalam sebanyak seratus kali.”(H.R Muslim).

Sabda Nabi saw..,
“Dan iringilah yang buruk dengan yang baik, niscaya yang baik akan menghapusnya”. (HR. Tirmidzi)    
 “Setiap manusia itu (sangat mungkin) banyak berbuat dosa, dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah mereka yang (bersegera) bertaubat.”

Dan Rasulullah, meskipun beliau terpelihara dari segala dosa dan kesalahan, beliau sering memperbaharui Taubat dan mengulang-ulang istigfar. Hal itu beliau lakukan sebagai pembelajaran dan pensyariatan bagi umat beliau.
Setiap manusia potensial (dan pasti pernah) melakukan kesalahan dan dosa. Tidak ada orang yang ‘steril’ dari dosa (ma’shum), kecuali nabi/rasul. Untuk menghindari dosa mungkin bisa dengan diam, tidak melakukan apapun, tetapi itu juga salah. Oleh karena itu, berbuatlah. Namun jika terasa telah berbuat dosa, segeralah memohon ampun dan bertaubatlah kepada Allah swt..
Dijelaskan pula bahwa di antara ciri-ciri orang yang bertakwa adalah:“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”. (Q.S. [3] Ali Imran: 133).
Dosa yang segera dimohonkan ampun dan taubat diibaratkan sebagai noda yang cepat dibersihkan dari pakaian. Dia akan dengan mudah dan cepat dihilangkan.
Taubat yang diterima di sisi Allah hanyalah taubatnya orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera; bukan taubatnya orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajalnya barulah ia mengatakan, “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”. Dan bukan pula taubatnya orang yang mati di dalam kekafiran. Dosa yang dilakukan berulang kali tanpa rasa penyesalan, niscaya menutupi hatinya (dari hidayah dan kebaikan), seperti noda yang merusak keindahan pakaian.
Hendaknya kita tidak memandang ringan karena merasa hanya melakukan dosa kecil. Dosa memang terbagi menjadi dua kategori: dosa besar dan dosa kecil. Dosa besar ialah dosa yang sanksi hukumnya jelas di dunia ini, dan juga diancam dengan adzab di akhirat. Adapun dosa kecil ialah dosa yang tidak secara tegas disebutkan sanksi hukumnya di dunia, juga tidak disebutkan secara spesifik jenis siksanya di akhirat. Tetapi menurut ulama yang lain dosa besar ialah dosa yang dilakukan dengan sengaja dan menganggap remeh (tanpa rasa menyesal, dan berulang-ulang). Adapun dosa kecil ialah dosa yang dilakukan secara tidak sengaja, tidak berulang-ulang, dan disertai rasa bersalah. Oleh karena itu dikenal ungkapan,
“Tiada (dinamai) dosa besar selama pelakunya bersegera memohon ampun (beristighfar), dan tiada (dinamai) dosa kecil bila pelakunya terus-menerus mengulanginya.”
Sementara jika maksiat yang dilakukannya ada sangkut-pautya dengan hak manusia, maka syaratnya ada empat: tiga syarat yang telah disebutkan di atas, dan satu lagi yakni menyelesaikan urusannya dengan pemilik hak tersebut. Jika hak tersebut adalah harta, maka dia harus mengembalikannya. Jika hak tersebut adalah had qadzaf (menuduh orang lain berzina), maka di harus menyerahkan diri untuk dijatuhi had atau meminta maaf kepada orangnya. Jika hak tersebut adalah ghibah, maka dia harus meminta maaf dari orang yang digunjingnya. Dan wajib atasnya untuk bertaubat dari semua dosa. Di antara syarat lain dari Taubat adalah meninggalkan persahabatan dengan orang-orang fasik yang mendorongnya untuk melakukan maksiat dan menjauhkannya dari ketaatan. Kemudian dia harus bergabung dan bersahabat dengan orang-orang jujur da orang-orang baik, agar persahabatan dengan mereka menjadi pagar yang menghalanginya untuk kembali kepada kehidupan maksiat dan pelanggaran terhadap syariat.
Seorang sufi tidak memandang pada kecilnya suatu dosa, tapi dia memandang keagungan Tuhan, sebagai bentuk peneladanan terhadap para sahabat Nabi. Diriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Anas bin Malik berkata:
“Sesungguhnya kalian akan melakukan perbuatan yang dalam pandangan mata kalian lebih dari biji gandum, sementara pada masa Nabi SAW. kami menganggapnya sebagai dosa besar”.(HR. Muslim).
Abu Ubaidillah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dosa besar dalam ungkapan Anas bin Malik itu adalah perbuatan yang membinasakan.
Seorang sufi tidak hanya bertaubat dari maksiat. Sebab, dalam pandangannya taubat model ini adalah Taubat orang awam. Akan tetapi, dia juga bertaubat dari segala sesuatu yang menyibukkan hatinya dari Allah. Ketika ditanya tentang taubat, Dzunnun al-Mishri, seorang pemuka sufi, berkata,”Taubat orang awam adalah taubat dari dosa. Sementara Taubat orang khawwash adalah Taubat dari kelalaian.
Abdullah at-Tamimi berkata,”Sungguh jauh perbedaan antara ta’ib (orang yang bertaubat) yang satu dan ta’ib lainnya. Ada orang yang bertaubat dari dosa besar dan dosa kecil, ada yang bertaubat dari keterpelesetan dan kelalaian, dan ada orang yang bertaubat karena melihat hal-hal yang baik dan ketaatan.”
Setiap kali seorang sufi memperbaiki pengetahuannya terhadap Allah dan memperbanyak amalannya, maka Taubatnya akan semakin mendalam. Barang siapa hatinya suci dari segala macam dosa da kotoran, dan diterangi oleh nur-nur ilahiah, maka tidak tertutup baginya penyakit-penyakit yang samar yang menerobos msuk ke dalam hatinya ketika berniat melakukan kesalahan. Ketika itu, dia akan langsung bertaubat karena malu kepada Allah yang selalu melihatnya.
Taubat juga harus diiringi dengan memperbanyak istighfar, baik di tengah malam maupun siang hari. Dengan yang demikian ini, seorang sufi akan merasakan kehambaannya yang hakiki dan kelalaiannya dalam mengerjakan hak Tuhan.
Menurut Syuqail (2004:116) meskipun dosa seorang hamba menumpuk, pintu taubat tetap terbuka lebar baginya. Tentunya, selama ia belum sekarat dan matahari belum terbit dari barat. Ini adalah karunia Allah bagi hamba-hamba-Nya. Allah menerima taubat seorang hamba agar ia dapat membersihkan dirinya dari lumuran dosa.
Salah satu hal yang membawa kepada keberhasilan adalah taubat. Taubat merupakan alah satu rahmat Allah yang Maha Tinggi kepada para hamba-Nya. Betapa indahnya ungkapan-ungkapan Imam Ali as-Sajjad dalam karyanya yang berjudul Munajat at-Taibin (Bisikan doa orang-orang yang bertaubat kepada Allah).
Imam berseru,” Ya Tuhanku, Engkaulah yang telah membuka bagi para hamba-Mu pintu menuju ampunan-Mu, dan Engkau menamakannya Taubat ketika Engkau berfirman,”Bertaubatlah kepada Allah dengan Taubat yang semurni-murninya (taubatan nasuha),” sehingga kemudian apa alasan bagi orang yang mengabaikan kesempatan untuk memasuki pintu tersebut sesudah pintu tersebut terbuka?”
Makna kalimat yang disabdakan oleh Nabi saw.. dalam hadits: ”Bertaubatlah  sebelum engkau mati,” adalah bahwa segera setelah kita melakukan suatu dosa, kita harus bertaubat kepada Allah SWT, karena tidak ada seseorang pun yang tahu kapan dia akan mati. Dalam al-Quran dinyatakan:
Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diperolehnya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana akan mati”.
Telah diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw.. dengan segala kebesaran dan kemuliaan jiwa yang beliau miliki—meminta ampun (berTaubat) 70 kali setiap hari!Kita menyatakan diri sebagai pengikut nabi saw. yang berkepribadian agug ini, maka berapa kali dalam sehari kita meminta maaf dan bertaubat Allah swt.?
Pada malam hari, sebelum kita tidur berapa banyak perbuatan dalam hari yang kita ingat? Jika seseorang duduk, menelaah dan merenungkan perbuatan-perbuatannya setiap hari, maka kegelapan spiritual akan terangkat dari hatinya dan jiwanya akan diterangi oleh cahaya ilahi.
Karena itulah, perbuatan yang terbaik yang bisa dilakukan oleh seseorang adalah meminta maaf sebelum fajar menyingsing. Dengan demikian, seseorang hendaknya bangun di tengah malam, dan dalam ketenangan mala, ia hendaknya mendirikan salat dan memohon kebutuhannya dari Allah SWT serta mencurahkan hati kepada-Nya; atau dalam dalam istilah al-Quran, dia hendaknya menjadi salah satu dari “orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur.”
Rabu, 13 Juni 2012

Metode Observasi dalam Pembelajaran Moral di Sekolah Tingkat SMA

Kondisi Pendidikan

Pendidikan merupakan proses sadar untuk membelajarkan manusia menjadi manusia. Dalam pendidikan seseorang dididik sehingga mempunyai pengetahuan, pemahaman, dan cara tingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Dengan pendidikan seseorang dapat mengetahui hal yang baik dan buruk yang akan menentukan apakah dia akan menjadi seorang yang berakhlak mulia atau berakhlak jelek. Karena itu pendidikan harus dirancang dengan baik agar dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas.

Agama merupakan aspek pendidikan yang sangat penting untuk diberikan kepada para penerus bangsa. Pendidikan agama Islam khususnya harus diberikan sejak dini agar manusia yang dihasilkan dapat mengetahui tujuan dan makna hidupnya.

Dewasa ini pendidikan agama hanya dilakukan di bangku-bangku sekolah dan di mesjid-mesjid saja. Materi yang diberikan pun kebanyakan sebatas teori tanpa banyak memperhatikan praktek dari materi yang diberikan. Adapun materi yang berhubungan dengan praktek biasanya materi tentang membaca al-Quran dan gerakan-gerakan shalat, sedangkan materi yang lainnya kurang dipraktekkan.

Sebagai contoh materi tentang menghormati orang tua. Guru kurang memperhatikan bagaimana materi ini dipraktekkan di rumah siswa. Hal ini bukan tanpa alasan. Memang sangat merepotkan apabila guru harus selalu memantau perkembangan tingkah laku siswa di rumahnya masing-masing. Maka pengawasan kepada siswa di luar sekolah diserahkan kembali kepada orang tua masing-masing.

Dengan cara seperti ini sekolah mengharapkan bahwa tujuan pendidikan nasional yaitu menjadikan manusia yang bertakwa dan berakhlak mulia akan tercapai. Namun realita yang ada menjawab lain, malah jauh dari tujuan yang ada. Banyak kenakalan yang dilakukan remaja yang menjurus kepada perilaku kriminal. Geng-geng bermotor, pencurian, penggunaan narkotika, seks bebas, dan sebagainya bukanlah cerita baru di kalangan anak-anak SMA zaman sekarang.

Pertanyaan yang pertama kali muncul di benak semua orang adalah mengapa hal ini terjadi? Apa yang salah dari sistem pendidikan di Indonesia? Apakah pendidikan di Indonesia memang buruk sehingga lulusan yang dihasilkan adalah para berandalan.

Namun hal ini tidak bisa dinilai dari salah satu sisi saja, kita juga tidak bisa melupakan siswa-siswa berprestasi yang telah mengharumkan nama bangsa di kancah dunia dan internasional. Sungguh ironis memang, pendidikan ini menghasilkan lulusan yang terbaik dan juga yang terburuk.

Solusi yang Ditawarkan

Kemudian masalah-masalah tersebut dicari berbagai penyelesaian yang mungkin. Salah satu pendidikan yang mulai dilirik adalah sistem pendidikan di pesantren. Pendidikan di pesantren telah terbukti menghasilkan lulusan yang berkualitas dari segi moral dan tingkah laku. Maka untuk menyelesaikan masalah di atas adalah dapat menyadur dari sistem pendidikan di pesantren.

Di pesantren siswa diajak untuk selalu menghormati guru, sesama siswa lain, lingkungan masyarakat dan berbagai elemen lain di sekolah tersebut. Guru menjadi panutan untuk seluruh murid dalam hal hidup dan beragama. Siswa mengikuti dan menaati peraturan pesantren dengan patuh dan penuh ketaatan.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa metode yang dilakukan guru untuk mengajar adalah dengan metode suri tawladan yang baik. Guru menjadikan dirinya sebagai sosok panutan yang harus menjaga akhlaknya di depan para siswa.

Namun ternyata bukan hanya metode ini yang diterapkan di pesantren. Salah satu metode yang diterapkan dengan secara tidak sadar dilakukan para siswa adalah dengan metode observasi. Metode observasi ialah suatu cara penguasaan bahan pelajaran oleh para anak didik dengan jalan membawa langsung ke objek yang terdapat di luar kelas atau lingkungan kehidupan nyata, agar mereka dapat mengamati atau mengalami secara langsung.

Para siswa melihat dan mengamati lingkungan sekitar sehingga dirinya terbawa pada suasana pesantren yang sangat kental dengan nuansa keagamaan. Selain itu siswa juga mengamati bagaimana perilaku beragama sang guru sebagai panutan bagi seluruh siswa atau santri di pesantren.

Ternyata metode ini pernah dipakai oleh Rasulullah dalam mendakwahkan Islam kepada seorang tawanan perang. Pada saat itu tawanan perang tersebut meronta-ronta dengan mengeluarkan sumpah serapah dan minta dilepaskan. Para sahabat sudah naik pitam karenanya dan hendak membunuhnya, namun Rasulullah melarang hal itu namun menyuruh para sahabat membawa tawanan tersebut masuk ke mesjid. Tawanan itu tinggal di mesjid untuk beberapa lama dan diberi makan layaknya manusia biasa. Lama kelamaan tawanan itu menjadi lembut hatinya karena memperhatikan berbagai aktifitas umat Islam yang shalat berjamaah di mesjid dan berdiskusi di sana. Tawanan itu kemudian mulai tertarik pada Islam karena ia telah menyadari bahwa Islam merupakan agama yang penuh dengan kasih sayang dan cinta kedamaian.

Penerapan Metode Observasi di SMA

Dalam metode ini poin yang yang paling penting adalah bagaimana siswa dapat belajar dengan senang, sehingga siswa mempunyai minat yang besar untuk belajar. Siswa belajar tentang sesuatu dengan membuat pengalamannya sendiri yang langsung mengamati objek yang dipelajari. Metode ini memberikan kesan yang mendalam sehingga siswa mengerti dan berpikir tentang objek yang dipelajarinya.

Di sekolah-sekolah umum metode ini sering disebut sebagai metode karya wisata. Metode ini dilakukan hanya sekali selama setahun yaitu pada waktu karyawisata yang diadakan sekolah bagi seluruh murid. Sehingga anggapan yang ada pada metode ini adalah piknik dan bukan belajar.

Metode karyawisata diterapkan antara lain karena objek yang akan dipelajari hanya terdapat di tempat tertentu. Selain itu, pengalaman langsung dapat membuat setiap anak didik lebih tertarik untuk mendalami hal-ikhwal yang diminati dengan mencari informasi dari buku-buku sumber lainnya serta menumbuhkan rasa cinta kepada alam sekitar sebagai ciptaan Tuhan. Banyak pula yang menyatakan bahwa metode ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, yaitu sebagai berikut:

Kelebihan metode observasi

1. observasi memiliki prinsip pengajaran modern yang memanfaatkan lingkungan nyata dalam pelajaran.

2. membuat apa yang dipelajari di sekolah lebih relevan dengan kenyataan dan kebutuhan di masyarakat.

3. pengajaran serupa ini dapat lebih merangsang kreativitas siswa.

4. informasi sebagai bahan pelajaran lebih luas dan aktual.

Kekurangan metode observasi

1. fasilitas yang diperlukan dan biaya yang digunakan sulit untuk disediakan oleh siswa atau sekolah

2. sangat memerlukan persiapan atau perencanaan yang matang.

3. memerlukan koordinasi dengan guru serta bidang studi lain agar terjadi tumpang tindih waktu dan kegiatan selama observasi atau karyawisata.

4. dalam observasi sering unsur rekreasi menjadi lebih prioritas daripada tujuan utama, sedang unsur studinya menjadi terabaikan.

5. sulit mengatur siswa yang banyak dalam perjalanan dan mengarahkan mereka kepada kegiatan studi yang menjadi permasalahan.

Dalam menggunakan metode ini untuk pembelajaran moral di SMA masih menggunakan prinsip-prinsip dan langkah-langkah metode yang ditentukan. Namun hal yang berbeda adalah dari objek yang diteliti dan aspek-aspek yang menjadi pembelajaran siswa.

Jika biasanya objek observasi adalah objek sejarah atau science, namun dalam pembelajaran moral objek yang dipakai adalah berbagai kehidupan pesantren atau kehidupan orang-orang yang shaleh di sekitar lingkungan mereka. Hal ini dilakukan agar siswa tidak perlu mengeluarkan uang yang lebih karena mengobservasi perilaku beragama orang-orang di lingkungan mereka.

Kemudian aspek yang diamati adalah aspek tata cara beribadah yang berkembang di lingkungannya. Ia akan mengamati bahwa tata cara beribadah berbeda-beda sesuai keyakinan yang dianut orang yang diamati. Kemudian ia mengamati bagaimana perbedaan orang yang agamanya kuat dan tidak, sehingga diharapkan ia (siswa tersebut) mengetahui hal-hal yang benar dan mengantarkannya menjadi makhluk sosial yang berakhlak mulia.

Dengan menerapkan metode Observasi dalam pembelajaran moral siswa merasa bawa ia melakukan hal-hal yang menarik dan menambah pengalamannya. Sehingga siswa mempunyai kreativitas lebih dan kesan yang mendalam pada apa yang telah ia amati.

Senin, 11 Juni 2012

Tokoh-tokoh Besar di Zaman Khalīfaħ Al-Mahdī (Part 3)

HARUN AL-RASYID (170-193 H)
Zaman Khalīfaħ Harun al-Rasyid merupakan puncak kegemilangan pemerintahan ‘Abbasyiyah atau boleh juga dikatakan zaman paling gemilang dalam sejarah Islam. Pemerintahan ketika itu menikmati segala bentuk kebesaran, kekuasaan dan keagungan ilmu pengetahuan. Ia amat disegani dan dihormati oleh negara-negara jiran. Di dalam negeri, kedudukan Khalīfaħ Harun al-Rasyid lebih hebat dari segala peristiwa dan kekacauan yang timbul di beberapa tempat. Menurut as-Sayuti bahwa zaman pemerintahan Khalīfaħ Harun al-Rasyid seluruhnya merupakan zaman yang penuh dengan kebaikan, semua indah seperti pengantin-pengantin baru.[1]
Khalīfaħ Harun al-Rasyid dilahirkan di Raiyi pada tahun 145 H, ibundanya ialah Khaizuran, bekas seorang hamba yang juga ibunda al-Hadi. Beliau telah dibesarkan dengan baik sewaktu beliau diasuh agar berpribadi kuat dan berjiwa toleransi. Ayahanda beliau al-Mahdī telah memikul beban yang berat, bertanggung jawab memerintah negeri dengan melantik beliau sebagai Amir di Saifah pada tahun 163 H. Pada tahun 164 H, beliau dilantik memerintah seluruh wilayah Anbar dan negeri-negeri di Afrika Utara. Khalīfaħ Harun al-Rasyid telah melantik pula beberapa orang pegawai tinggi, mewakili beliau dikawasan tersebut. Pada tahun 165 H., sekali lagi al-Mahdī melantik Harun al-Rasyid sebagai Amir di Saifah di mana berlakunya suatu pertempuran hebat yang akan dibicarakan kelak. Apabila al-Hadi mangkat, Harun al-Rasyid pun dengan resmi menjadi Khalīfaħ pada  tahun 170 H.
Pribadi dan akhlak Harun al-Rasyid salah seorang khalīfaħ paling dihormati, suka bercengkerama, ‘alim dan sangat dimuliakan, sepanjang usia menjadi khalīfaħ, kecuali beberapa tahun saja, beliau berselang-seling menunaikan haji dan turun ke medan perang dari tahun berganti tahun. Beliau bersembahyang seratus raka’at setiap hari dan pergi menunaikan haji dengan berjalan kaki. Semua perbuatannya terutama menyebar harta bendanya, adalah serupa dengan Khalīfaħ al-Mansur. Belum pernah dijumpai seorang khalīfaħ yang sangat rahim dan pemurah berhubung dengan harta benda yang dipunyainya. Beliau tidak menyia-siakan kebaikan orang kepadanya dan tidak pernah menangguh-nangguh membalasnya. Beliau menyukai syair dan para penyair serta gemar tokoh-tokoh sastra dan ilmu fiqih, malah beliau sangat menghormati dan merendahkan diri kepada ‘alim-’ulama.[2]
Di antara sifat-sifat Khalīfaħ Harun al-Rasyid yang amat menonjol ialah beliau kadang-kadang diumpamakan sebagai angin ribut yang kencang dan kadang-kadang diumpamakan sebagai bayu yang bertiup sepoi-sepoi basah. Beliau lebih banyak menggunakan akal daripada emosi. Kalau marah, beliau begitu garang dan menggelegar seluruh badan; dan kalau memberi nasihat, beliau menangis tersedu sedan. Beliau mendekati pelawak-pelawak penglipur-lara yang karut dan juga pahlawan-pahlawan yang cakap dan gagah.
Sebagai contoh, beliau dikuasai oleh emosi ialah pada suatu kali mengurung penyair bernama Abu al-Ataniah. Pada suatu hari pengawal penjara memberi tahu beliau bahwa abu al-Ataniah telah menulis di dinding bilik tahannya itu: “Kita semua akan menghadap Tuhan, dan di depannya kelak semua pihak yang bermusuh akan berhimpun.” Mendengar kata-kata ini, Khalīfaħ Harun al-Rasyid pun terus menangis serta memerintahkan supaya Abu al-Ataniah dibawa menghadap untuk dibebaskan dan diberi hadiah sebanyak 1,000 Dinar.[3]
Sebagian penyair yang sering mendampinginya menyadari tentang dorongan emosi Khalīfaħ Harun al-Rasyid ini, dan telah mengambil kesempatan untuk menimbulkan rasa duka dan sedihnya. Penyair Abu Ataniah yang telah dibebaskan itu, umpamanya, kadang-kadang menggunakan kesempatan tersebut untuk membalas dendam ke atas Harun al-Rasyid dan merasa senang apabila melihatnya menangis tersedu-sedu.
Sebagai seorang yang mudah menangis, Khalīfaħ Harun al-Rasyid juga bersifat mudah tertawa. Ibnu al-Aśir menceritakan bahwa amat sayangnya kepada Ibnu Abi Maryam, seorang pelawak itu tinggal di istananya. Pada suatu subuh Ibnu Abi Maryam terdengar Khalīfaħ Harun al-Rasyid membaca:
  
“Mengapa aku tidak menyembah (tuhan) yang telah menciptakanku ....“ (QS. Yāsīn: 22)

Beliau membaca ayat di dalam sembahyang, lalu dia pun menjawab sendiri: “Demi Allah, hamba pun tidak tahu mengapa!” Mendengar jawaban tersebut, Khalīfaħ Harun al-Rasyid lantas tertawa dan terus memberhentikan sembahyangnya, marah kepada Ibnu abi Maryam karena berjenaka ketika beliau sedang şalat. Tetapi pelawak itu hanya menjawab: ”Hamba Cuma mengatakan, hamba tidak tahu mengapa! Apabila terdengar tuanku membaca ayat itu.” Sekali lagi Khalīfaħ Harun al-Rasyid tertawa, kemudian memberi amaran: “Ingat, jangan berjenaka tentang al-Quran dan agama. Selain dari keduanya, buatlah apa yang engkau mau.”[4]
Khalīfaħ Harun al-Rasyid juga seorang yang bersopan-santun dan banyak memberi, dan kadang-kadang pemberiannya itu terlalu boros. Pernah seorang lelaki dari Bani Umayyah menemui beliau di tengah jalan dan menyerahkan kepada beliau secarik kertas dan tertulis empat bait syair memuji beliau sambil meminta simpati, beliau berkata: “Jika syair ini lebih panjang dari itu niscaya kami tambah lagi pemberian kepadamu”[5]
Demikianlah contoh kemurahan hati Khalīfaħ Harun al-Rasyid. Contoh-contoh lain sangat banyak dan tercatat di dalam buku-buku sejarah dan sastra.

Keagungan Pemerintahan di Zaman Harun al-Rasyid
Pemerintahan Khalīfaħ Harun al-Rasyid merupakan pemerintahan paling baik dan terhormat, bersih dan penuh kebajikan serta paling luas daerah pemerintahannya. Tidak ada khalīfaħ yang paling diminati oleh ‘alim-‘ulama, para penyair, ahli-ahli fiqh, pembaca-pembaca al-Quran, juri-juri, penulis-penulis, dan teman-teman, selain daripada Khalīfaħ Harun al-Rasyid. Beliau mempunyai hubungan yang rapat dengan semua orang dari mereka dan menyanjung mereka dengan setinggi-tinggi. Beliau sendiri seorang sastrawan, penyair, pencipta cerita-cerita lama dan syair-syair, berperasaan tajam dan disegani oleh semua pihak dan golongan.[6]
Di zaman pemerintahan Harun al-Rasyid itu juga baitul mal ditugaskan menanggung narapidana dengan memberikan setiap orang makanan yang cukup serta pakaian musim panas dan musim dingin.[7] Sebelum itu Khalīfaħ al-Mahdī juga berbuat demikian, tetapi dengan nama pemberian, sementara Khalīfaħ Harun al-Rasyid menjadikannya suatu tugas dan tanggung jawab Bait al-Māl.
Satu daripada perkara-perkara terpenting yang menyebabkan Khalīfaħ Harun al-Rasyid begitu masyhur, ialah naungannya ke atas ilmu pengetahuan dan mendirikan Bait al-Hikmaħ yang merupakan sebuah institusi kebudayaan dan pikiran yang cemerlang ketika itu, dan telah merintis jalan ke arah kebangkitan Eropa kemudiannya. Terutama sekali yang menjadikan Khalīfaħ Harun al-Rasyid masyhur dan terkenal ialah buku seribu satu malam yang telah menduduki tempat paling atas di bidang kesusastraan dunia. Buku tersebut telah diterjemahkan bahasa-bahasa dunia.

Kemewahan Istana Zaman Pemerintahan Khalīfaħ Harun Al-Rasyid
Menurut Ibnu Khaldun, bahwa sesuatu umat apabila telah mencapai kemenangan dan memiliki segala yang terdapat pada kerajaan sebelumnya, maka melimpahlah kemewahan dan kenikmatannya serta banyak pula keuntungannya. Kehidupan mereka melampaui batas-batas keperluan dan kekasaran hidup hal-ihwal yang tidak penting, kepada kelembutan dan hiasan hidup, mengikuti jejak langkah umat sebelum merka di dalam kebiasaan-kebiasaan dan kebiasaan mereka, di samping itu mendorong ke arah kemewahan di dalam makanan, pakaian, hamparan, pinggan mangkuk dan barang-barang hiasan, saling berbangga dengan semua itu, mengatasi umat-umat lain di dalam makanan yang baik, pakaian- pakaian yang indah dan kendaraan yang mewah. Nasib mereka dan kemewahan mereka tergantung kepada kemampuan kerajaan mereka, sehingga mereka mencapai tujuan yang dicapai oleh sesuatu kerajaan menurut kekuatannya dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh dari sebelumnya. Kerajaan tidak diperoleh melainkan dengan tuntutan dan kemenangan. Apabila telah tercapai tujuan, lenyaplah usaha ke arahnya, berkuranglah kesusahan yang mereka pikul semasa untuk mendapatkan kerajaan. Orang-orang yang telah memilikinya lebih gemar kepada kedamaian dan ketenteraman, serta kembali untuk memperoleh hasil-hasil kerajaan yang berupa bangunan-bangunan, tempat-tempat tinggal, dan pakaian-pakaian. Dengan itu mereka meminta istana-istana untuk mengaliri air-air, mengadakan taman-taman dan menikmati segala hal-ihwal dunia.[8]
Jika tidak semua sebagian dari pada apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Khaldun itu telah terjadi di zaman pemerintahan Khalīfaħ Harun al-Rasyid. Di antara faktor-faktor yang menolong beliau mencapai puncak kejayaannya ialah usianya yang masih muda, istana ayahandanya di mana beliau dibesarkan, orang-orang yang diharapkan memikul beban dan tanggung jawab kerajaan, yang telah merintis jalan-jalan kemewahan, dan kenikmatan untuknya. Uang dan harta benda adalah diakui sebagai tulang belakang kenikmatan dan tangga bagi mencapai kemewahan. Khalīfaħ Harun al-Rasyid dan orang-orangnya mempunyai harta yang terkira banyaknya, menurut Ibnu Khaldun, bahwa hasil pendapatan yang dibawa ke Bait al-Māl di zaman pemerintahan Khalīfaħ Harun al-Rasyid ialah sebanyak 7,500 pikul setiap tahun. Jumlah ini adalah 75 juta ponsterling, tidak termasuk pajak barang-barang seperti bijian, pakaian dan sebagainya. Pendapatan seperti ini, pada zaman tersebut adalah merupakan pendapatan yang fantastik. Di dalam hubungan mana diperoleh khalīfaħ yang hanya berbaring terlentang saja sambil berkata kepada awan yang sedang bergerak: “Pergilah ke mana saja yang engkau mau, pajak bumimu akan datang kepadaku.”
Dengan demikian zaman pemerintahan Khalīfaħ Harun al-Rasyid adalah dianggap sebagai puncak keemasan zaman pemerintahan ‘Abbasiyyaħ. Kota Bagdad sebagai ibunegara telah mencapai puncak keagungannya dan kegagahannya pada masa itu. Bangunan-bangunan begitu banyak didirikan dan berdekatan satu sama lain, serta penduduknya mencapai angka sejuta orang, dan menjadi pusat perdagangan yang besar, penuh dengan barang-barang dan harta benda yang datang dari segenap pelosok dunia.
Sebenarnya bukan hanya Khalīfaħ Harun al-Rasyid saja yang berada di puncak kemewahan demikian rupa di zamannya. Tokoh-tokoh kerajaannya dan pembesar-pembesar serta banyak pegawai-pegawai pemerintah dan panglima-panglima tentara juga dalam kondisi demikian. Di zaman itu terdapat banyak mahligai dengan taman-tamannya yang indah, perabot-perabot dan barang-barang perhiasan yang mahal dan bernilai, dihiasi pula dengan dayang-dayang dan penyanyi-penyanyi penghibur. Mereka telah membaca ayat-ayat al-Quran al-Karim yang menerangkan tentang keadaan surga dan semua keterangan itu telah mereka cerminkan di dunia. Dengan demikian di sana terdapat istana al-Khuldi yang namanya menyerupai jannatul Khuldi yang tersebut di dalam al-Quran (QS. al-Furqan: 15), dan juga istana, al-Salam yang namanya dipetik dari alam Lahum Darus Salami (QS. Al-An’Am: 127). Kebanyakan istana dan mahligai di zaman tersebut dialiri sungai di bawahnya dan dihiasi dengan bidadari-bidadari yang seperti mutiara yang tersimpan, sebagaimana gambaran yang terdapat dalam surat Al-Waqi’ah ayat 22 dan 23.
Istana al-Khuldi dikelilingi oleh taman-taman yang subur lebat, kebun-kebun yang luas, aneka bunga berwarna-warni menarik dan semerbak harum mewangi udara di sekitarnya. Di antara taman-taman dan kebun-kebun itu pula, terdapat terusan-terusan dan anak-anak sungai, dan di sebelah depannya ialah sungai Dajlah yang kelihatan begitu indah dengan  perahu-perahu dan sampan-sampannya. Amir-amir dan para hartawan bangsawan telah membangun mahligai-mahligai mereka di sekitar istana al-Khuldi dan memperindah mahligai masing-masing dengan berbagai hiasan yang berkualitas dengan harta kekayaan mereka dan khayalan mereka yang begitu jauh, serta semangat kemewahan yang menguasai diri mereka. Dengan itu di samping istana al-Khuldi, maka di sebelah tebing yang bertantangan dengannya terdapat pula mahligai Abu Aiyub Sulaiman bin Abu Ja’far al-Mansur, penyair yang handal dan lemah lembut serta ayah saudara kepada khalīfaħ, kemudian di sebelah selatan istana al-Khuldi terletak pula mahligai Ummi Ja’far istri Khalīfaħ sendiri. Manakala di sebelah depan istana al-Khuldi, menghadap ke pintu Khurasan terdapat pula mahligai-mahligai lain yang penuh dengan berbagai hiasan dan tanda-tanda kemewahan yang menjadikan kawasan tersebut benar-benar seperti surga di muka bumi.
Pesta-pesta hiburan, nyanyian, dan musik semakin menambahkan lagi keindahan dan kenikmatan kawasan tersebut. Kawasan yang terletak di tebing barat sungai itu dinamakan kawasan Rusafah dan kawasan Syamsiyaħ. Kedua-dua kawasan ini merupakan kawan kaum bangsawan, hartawan dan kalangan yang mewah. Di Syamsiyaħ terdapat tanah-tanah kaum Baramikaħ, di mana mereka mendirikan mahligai-mahligai yang tinggi. Istana al-Khuldi adalah menghadap kawasan yang indah dan penuh dengan mahligai-mahligai yang terletak di tebing timur sungai Dajlaħ. Kawasan makmur itu sendiri dari dua tebing yang berhias dengan mahligai dan taman-taman indah, dipisahkan oleh sebatang sungai. Dengan ini bertemulah keindahan asli dan kecantikan dari ciptaan manusia. Semua itu menunjukkan ketinggian peradaban di negeri Irak pada masa itu. Menurut Richard Coke,[9] nama Khalīfaħ Harun al-Rasyid sangat harum dan terkenal sehingga amat sukar didapati di dalam sejarah raja-raja dan sultan-sultan seperti. Di sekitar zamannyalah berkumandang riwayat-riwayat Seribu Satu Malam yang telah diterjemahkan ke sebagian besar bahasa-bahasa di dunia. Di balik beberapa kelemahan pribadi Khalīfaħ Harun al-Rasyid, namun beliau tetap merupakan salah seorang raja yang agung di dalam sejarah. Di zaman pemerintahannya kemakmuran meliputi seluruh kekaisaran Islam. Kerajaan disegani dan dihormati di dalam dan juga di luar negeri. Keadilan dinikmati oleh semua penduduk, kota Bagdad telah membuat hubungan dengan berbagai negeri yang terkenal di dunia pada masa itu melalui kegiatan perdagangan yang luas. Di samping memberi perlindungan dan menjaga keselamatan rakyatnya, Khalīfaħ Harun al-Rasyid telah menyumbangkan kepada mereka berbagai peradaban, kemajuan ilmu pengetahuan kesenian dan kesusastraan. Di zamannya kota Bagdad mencapai keagungan dan meluas di segenap sudut. Bangunan-bangunannya teratur. Setiap bangunan yang dibangun sebelum pemerintahan Harun al-Rasyid telah diperbaharui dan dihiasi dengan sebaik-baiknya agar sesuai dengan zaman yang baru itu. Dengan itu nama kota Bagdad, keindahannya, kebudayaannya yang terdapat padanya, berbagai rupa kesenangan, hiburan dan kemewahannya menjadi terkenal di seluruh dunia. Malahan para pengembara belum menjumpai sebuah kota pun yang seindah kota Bagdad di zaman pemerintahan Khalīfaħ Harun al-Rasyid itu.
Cerita berikut memberikan gambaran tentang kemewahan dan kejayaan melalui hadiah yang biasanya diberikan oleh pembesar-pembesar dan hartawan-hartawan di dalam berbagai-bagai perayaan. Menurut cerita al-Mas’udi,[10] Ummi Ja’far telah menulis kepada Abu Yusuf meminta fatwa mengenai suatu perkara dan Abu Yusuf lantas memberikan fatwanya yang agak sesuai dengan kehendak Ummi Ja’far mengikut cara yang diwajibkan oleh syariat dan berdar kepada ijtihadnya. Ummi Ja’far yang merasa sangat gembira dengan fatwa tersebut telah mengirim hadiah kepada Abu Yusuf berupa sebuah mangkuk perak, di dalamnya berisi dua mangkuk yang lain berisi minyak wangi, sebuah bejana emas penuh berisi mata uang dirham dan sebuah bejana perak penuh berisi mata uang dinar, beberapa budak, beberapa almari penuh berisi pakaian, seekor keledai dan seekor bagal. Hadiah-hadiah tiba kepada Abu Yusuf semasa beliau sedang bersama-sama dengan beberapa orang temannya. Salah seorang dari teman-temannya itu berkata: “Rasulullah saw. telah bersabda: “Siapa yang diberi hadiah, maka teman-teman yang ada di sisinya juga mendapat hadiah itu.” Abu Yusuf lantas menjawab: “Engkau hanya melihat pengertian lahirnya saja. Sebenarnya pada zaman Rasulullha saw. dulu hadiah-hadiah adalah berupa kurma dan susu. Tetapi kini hadiah-hadiah itu berupa benda dan kertas (emas dan perak) dan sejenisnya. Hadiah-hadiah ini adalah khas untuk penerimanya saja, sebagaimana firman Allah berbunyi:
 y7Ï9ºsŒ ã@ôÒsù «!$# ÏmÏ?÷sム`tB âä!$t±o 4 ª!$#ur rèŒ È@ôÒxÿø9$# ÉOÏàyèø9$# ÇËÊÈ  
“Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Hadid: 21)

Minat rakyat terhadap majelis-majelis perayaan dan taman hiburan adalah sangat nyata. Begitu juga minat berburu berbagai jenis binatang dan burung bagi tujuan tertentu.
Mengenai pakaian dan makanan, terdapat banyak bukti-bukti yang menunjukkan tentang kemewahan yang tiada bandingnya dinikmati oleh mereka. Pada suatu hari yang sejuk, Abu Qabus al-Himyari yang beragama Kristen datang mengunjungi Ja’far bin Yahya dalam keadaan kedinginan. Ja’far yang menyadari keadaan Abu Qabus itu lantas meminjamkan sehelai kain selubung dari sutera yang dibelinya dengan harga yang sangat mahal. Kemudian Abu Qabus pun meninggalkan rumah Ja’far. Pada suatu hari ketika akan tiba perayaan Kristen, Abu Qabus mencari pakaian kain selubung tersebut. Tetapi tiada sehelai pun yang menyerupainya. Lalu anak perempuannya mencadangkan ia menulis kepada Ja’far mengadu tentang keadaannya. Abu Qabus menerima cadangan anaknya itu dan lantas menulis serta berterima kasih kepadanya tentang budi baiknya yang lalu itu, serta membayangkan kepadanya agar dapat menyumbangkan beberapa helai pakaian termasuk jubah yang mana akan menyemarakkan lagi perayaan di gereja itu. Setelah membaca syair itu Ja’far bin Yahya pun terus mengirim Abu Qabus hadiah sebanyak 10 helai bagi setiap jenis pakaian yang disebutkannya satu per satu.[11]
Demikianlah contoh yang jelas dan nyata tentang pakaian golongan hartawan pada zaman tersebut. Ini adalah selaras dengan cerita al-Asfahani bahwa Ibrāhīm bin al-Mahdī memakai kain selubung dan jubah dari sutra kemudian kain selubung itu dihadiahkan kepada Ishak al-Mausili, setelah Ishak mengajarnya satu daripada lagu-lagunya. Harga kain selubung itu ialah 100.000 dirham.[12] Beralih kepada makanan pula, sumber-sumber sejarah menunjukkan kemewahan yang mubazir. Ibrāhīm al-Mahdī telah berkata: :”Saya telah mengundang Khalīfaħ Harun al-Rasyid di Raqqah, dan beliau telah mengundang undangan itu. Beliau biasanya makan hidangan yang panas sebelum hidangan makanan dingin. Ketika diletakkan di depannya hidangan makanan dingin  dan beliau berkata: ”Mengapa tukang masakmu memotong ikan kecil-kecil?” Saya pun menjawab: “Tuanku, sebenarnya ini ialah lidah-lidah ikan. Beliau berkata pula: ”Nampaknya dalam mangkuk ini hanya ada 100 lidah ikan saja!” Kepala tukang masak pun menjawab: “Tuanku, sebenarnya lebih dari 150 potong lidah.” Kemudian Khalīfaħ Harun al-Rasyid menanyakan tentang harga ikan-ikan itu. Jawab kepala tukang masak, harganya ialah lebih dari 1,000 dirham. Sementara harga mangkuk itu saja 270 dinar.[13]
Demikianlah sebagian contoh-contoh kemewahan di zaman itu; sebuah mangkuk yang digunakan untuk hidangan saja berharga 270 dinar, dan adalah dipercayai semua mangkuk dalam hidangan pada masa itu dan jenis semua mangkuk-mangkuk dalam hidangan pada masa itu dan jenis yang serupa dengan itu juga. Kemudian di sana terdapat hidangan makanan panas dan hidangan makanan sejuk. Harganya dalam satu hidangan ialah 1,000 dirham. Pendeknya gambaran yang diberikan oleh Ibrāhīm bin al-Mahdī tentang hidangan makanan itu lebih dekat kepada khayalan daripada kenyataan yang sebenarnya.
Jika kita tinggalkan hidangan yang disediakan untuk Khalīfaħ, dan beralih pada hidangan yang disediakan untuk seorang yang bukan khalīfaħ atau amir, maka kita dapati hidangan tersebut juga tidak kurang mewahnya. Mukhariq, seorang penyair telah menceritakan mengenai hidangan ini ketika ia dijamu oleh Abu al-Atahiyaħ. Menurutnya, dia telah dihidangkan dengan roti dari tepung gandum putih yang paling baik, sayur-sayuran, jeruk-jeruk dan kambing muda panggang, sesudah hidangan tersebut dihidangkan pula hidangan ikan panggang. Kemudian dihidangkan berbagai beraneka macam kue. Selesai hidangan kue-kue muncul pula hidangan buah-buahan dan beberapa jenis air perahan buah-buahan.[14]

Peristiwa-peristiwa Penting di Zaman Harun al-Rasyid
 Di zaman Khalīfaħ Harun al-Rasyid terjadi beberapa peristiwa penting, di antaranya ialah pemberontakan golongan Khawarij yang akan diperkatakan dalam pembicaraan mengenai golongan Khawarij kelak, dan peperangan dengan Roma yang akan disebut dalam pembicaraan mengenai Hubungan Luar Negeri. Juga akan dibicarakan secara terperinci tentang golongan Baramikaħ di bawah tajuk menteri-menteri terkemuka di zaman ‘Abbasiyaħ pertama.
Di zaman Khalīfaħ Harun al-Rasyid itu lahir kerajaan Adarisaħ di negeri-negeri Afrika utara (Magrib), didirikan oleh Idris bin Abdullah yang melarikan diri dari pertempuran Fakh yang berlaku di zaman Khalīfaħ al-Hadi. Peristiwa ini akan diperkatakan kelak dalam pembicaraan mengenai pemberontakan-pemberontakan golongan Alawiyaħ. Khalīfaħ Harun al-Rasyid telah mengambil langkah untuk menentang golongan Adarisaħ, dengan menyerahkan pemerintahan negeri Tunisia kepada Ibrahīm bin al-Aglab yang mana telah merintis jalan ke arah penubuhan kerajaan golongan Agalibaħ, seperti yang akan diterangkan kelak.

Harun Al-Rasyid dan Purta Mahkota
            Berbeda dengan masalah putra mahkota yang dihadapi khalīfaħ-khalīfaħ sebelumnya, masalah putra mahkota yang dihadapi Khalīfaħ Harun al-Rasyid adalah berkisar di sekitar anak-anaknya sendiri, tanpa campur tangan dari pihak manapun. Beliau mengetahui siapa dari kalangan anak-anaknya yang mesti menjadi putra mahkota. Di samping itu beliau juga sadar bahwa politik yang diamalkannya dalam perkara ini adalah politik yang gagal dan akan membawa pada pecah belah serta pertumpahan darah.
            Natijah-natijah seperti ini akan disadarinya apabila beliau menggunakan akal dan pikiran dalam perkara tersebut. Tetapi darinya apabila beliau menggunakan akal dana pikiran dalam perkara tersebut. Tetapi kadang-kadang beliau memisahkan akal dan pikiran dan menyambut panggilan hati dan emosi dalam sebagian perkara, walaupun amat penting dan menyangkut nasib hari ke depan kerajaan serta pemerintahannya.
Al-Jahsyiari meriwayatkan, bahwa Khalīfaħ Harun al-Rasyid sangat sayang kepada istrinya yang juga sepupunya Zubaidaħ. Semasa al-Hadi menawarkannya memerintah sebuah daerah yang besar dengan syarat Harun al-Rasyid melucutkan gelar putra mahkota, Harun al-Rasyid telah menerima tawaran tersebut dengan  berkata : “Apabila aku berada di Haniyi dan Mariyi serta berduaan dengan sepupuku, tiada apa lagi yang aku mau.”[15]
            Demikianlah ternyata kedudukan Zubaidaħ adalah setara dengan jabatan Khalīfaħ disisi Harun al-Rasyid. Jadi sudah tentu Zubaidaħ memainkan peranan yang penting dalam pelantikan anaknya Muhammad al-Amin sebagai putra mahkota. Menurut as-Sayuti[16] bahwa Harun al-Rasyid melantik Muhammad al-Amin sebagai putra mahkota karena Zubaidaħ  menghendaki demikian.
            Muhammad al-Amin ialah anak lelaki Zubaidaħ . Sudah sewajarnya dia menyayangi anaknya itu dan senantiasa mengharapkannya baik dan mulia. Sungguhpun demikian, tidak terdapat bukti yang jelas Zubaidaħ  mendesak suaminya Khalifaħ Harun al-Rasyid supaya mengutamakan anaknya itu, walaupun Zubaidaħ  mungkin membuat hasutan dan merancang. Untuk mengetahui tentang menghadap suaminya Harun al-Rasyid dan mengadu tentang pelantikan anaknya Muhammad al-Amin sebagai pemerintah di Iraq tanpa diberi hak menguasai angkatan tentara dan panglima-panglima yang sedang berada di bawah kuasa anaknya yang lain, yaitu Abdullah al-Ma’mun dari istrinya yang bernama Marajil, seorang bekas hamba sahaya. Tetapi Khalīfaħ Harun al-Rasyid telah menerangkan tujuannya ialah supaya Muhammad al-Amin mengendalikan segala persoalan di tengah-tengah keadaan yang aman damai dan dikehendaki Abdullah al-Ma’mun mengendalikan persoalan-persoalan peperangan. Pihak yang mengendalikan persoalan peperangan lebih memerlukan tentara daripada pihak yang mengendalikan persoalan di tengah-tengah keadaan yang aman damai.[17]
             Tidak diragukan lagi cerita ini membayangkan bahwa Zubaidaħ  senantiasa memikirkan tentang kepentingan anaknya dan merintis jalan untuk kejayaannya pada masa depan. Cerita ini juga menunjukkan bahwa Zubaidaħ  sadar segala yang terjadi di sekeliling anaknya dan tidak membenarkan siapa pun mengatasi anaknya itu.
            Dari segi merancang pula, Ibnu al-Aşir telah menyarankan dengan mengatakan bahwa sebab utama al-Amin dilantik menjadi putra adalah pamannya Isa bin Ja’far bin al-Mansur telah menemui al-Faẓl bin Yahya bin Khalid dan menanyakan tentang hal tersebut. Lalu al-Faẓl  menjawab : “Putra mahkota adalah anakmu dan jabatan khalīfaħnya menjadi kepunyaanmu.” Kemudian ia berjanji akan mengusahakan perkara itu hingga seluruh rakyat taat setia kepada al-Amin sebagai putra mahkota.[18]
            Dari cerita ini saya percaya bahwa usaha Isa itu adalah menurut rancangan saudaranya. Zubaidaħ  dan isa adalah juru bicara saudaranya itu. Ini adalah selaras dengan pendapat bani Hasyim yang lebih mengutamakan al-Amin anak Zubaidaħ  daripada al-Ma’mun anak Marajil. Pertemuan isa dengan al-Faẓl  sudah tepat pada tempatnya, karena golongan Baramikaħ senantiasa ingin menyelami hati Zubaidaħ , agar menyokong mereka dan tidak mengesampingkan al-Faẓl  bin al-Rabi’ yang meningkat kuat kedudukannya melalui Zubaidaħ  dan senantiasa bergantung pada wanita itu.
            Dengan itu golongan Baramikaħ telah menyertai pihak yang bergiat untuk kepentingan Muhammad al-Amin, dan mereka telah mengirimkan rombongan menghadap Khalīfaħ Harun al-Rasyid menegaskan agar melantik Muhammad al-Amin sebagai bakal penggantinya. Khalīfaħ Harun al-Rasyid telah tunduk kepada permintaan ini, dan lantas melantik Muhammad al-Amin sebagai putra mahkota pada tahun 175 H dan memberinya gelaran al-Amin.
            Al-Asfahani telah memberikan gambaran tentang cara Khalīfaħ Harun al-Rasyid dipengaruhi, dan menerangkan sekali mengenai pengetahuan Khalīfaħ Harun al-Rasyid terhadap mentalitas kedua-dua anaknya al-Amin dan al-Ma’mun. Menurut cerita al-asfahani:[19]
al-Faẓl bin Yahya telah mengutus rombongan dari Khurasan unutk menghadap Khalīfaħ Harun al-Rasyid dan menegaskan supaya mengumumkan pelantikan anaknya Muhammad al-Amin sebagai putra mahkota, serta memperlihatkan kegembiraan dan kesukaan mereka terhadap pernyataan Khalīfaħ Harun al-Rasyid mengenai perkara tersebut, sebagaimana yang tersebar di kalangan umum. Seorang penyair dari rombongan itu, yaitu Muhammad bin Zuaib al-Umani telah membacakan sebuah gubahan syair yang amat panjang mendukung pelantikan al-Amin sebagai putra mahkota.
            Tetapi setelah meresmikan pelantikan al-Amin sebagai putra mahkota, Khalīfaħ Harun al-Rasyid merasa kurang senang dan gelisah terhadap tindakannya itu. Golongan Baramikaħ juga menyadari tentang akibat buruk yang mungkin timbul dari tindakan tersebut. Karena tentu tidak dianggap adil al-Amin dilantik sebagai bakal khalīfaħ dengan menyingkirkan al-Ma’mun, sedangkan al-Amin lebih muda dan kurang kelayakan daripada al-Ma’mun. oleh karena itu dicadangkan kepada Khalīfaħ Harun al-Rasyid supaya melantik al-Ma’mun sebagai pengganti al-Amin kelak.[20]
            Dengan ini maka pada tahun 182 H, Khalīfaħ Harun al-Rasyid telah melantik anaknya Abdullah al-Ma’mun sebagai pengganti Muhammad al-Amin serta meletakkan wilayah Khurasan hingga ke Hamdan di bawah pemerintahannya.[21]
            Sesudah itu hasil daripada sebuah syair lain yang digubah oleh Muhammad bin Zuaib al-Umani tadi juga, Khalīfaħ Harun al-Rasyid telah melantik pula anaknya yang bernama al-Qasim sebagai bekal pengganti al-Ma’mun pula. Al-Mas’udi telah menceritakan perkara ini dengan mengatakan bahwa al-Ma’mun, setelah menjadi Khalīfaħ kelak, diberi hak oleh Khalīfaħ Harun al-Rasyid seandainya mau terus mengekalkan al-Qasim sebagai penggantinya atau mencopotnya dari gelaran putra mahkota itu.[22]
            Di sini ternyata Khalīfaħ Harun al-Rasyid tidak bersikap tegas dalam pelantikan terhadap al-Qasim sebagai putra mahkota. Sepatutnya dalam perkara yang amat penting beliau tidak bersikap demikian. Seperti yang telah dikatakan tadi, Khalīfaħ Harun al-Rasyid menyadari bahwa kebijakannya dalam perkara ini adalah suatu kebijakan yang gagal dan akan membawa kepada perpecahan dan pertumpahan darah. Tetapi untuk mengelakkan keburukan ini, beliau dan golongan Baramikaħ telah berusaha dengan sepenuh tenaga agar setiap anak-anak yang dilantik sebagai putra mahkota memperoleh apa yang telah dijanjikan kepada mereka, dan agar mereka tidak menyalahgunakan apa yang telah diberikan kepada mereka. Perhatian Khalīfaħ Harun al-Rasyid dan golongan Baramikaħ tertumpu pada al-Amin, karena ia adalah putra mahkota yang pertama dan ditangannya terletak kunci segala kekacauan andainya ia membuat angkara, lebih-lebih kepercayaan kepada al-Amin belum begitu kuat dan kukuh. Khalīfaħ Harun al-Rasyid telah membayangkan perkara ini ketika menjawab istrinya Zubaidaħ  yang menuduhnya tidak membekali Muhammad al-Amin dengan kelengkapan tentara dan panglima-panglima seperti yang dibekalkan kepada Abdullah al-Ma’mun. kata beliau : “Kami bimbang angkara anakmu ke atas Abdullah, dan kami tidak bimbang angkara Abdullah ke atas anakmu.”[23]
            Suatu langkah yang paling menonjol diambil oleh Khalīfaħ Harun al-Rasyid  untuk mengelakkan angkara dari anak-anaknya dan menyelamatkan kaum muslimin dari suatu keadaan kacau balau yang buruk, ialah beliau menunaikan farẓu haji pada tahun 186 h. diiringi oleh anak-anaknya, menterinya, ulama-ulama fiqh, qaḍi-qaḍi dan panglima-panglima. Semasa berada di Makkah, beliau telah menulis sepucuk surat atas nama anaknya Muhammad al-Amin mengandung pengakuan akan setia kepada al-Ma’mun, dan sepucuk surat lagi atas nama anaknya al-Ma’mun mengandung pengakuan akan setia kepada al-Amin. Kemudian kedua-dua surat itu digantung di Ka’bah.
            Walaupun demikian, namun kebijakan yang dijalankan oleh Khalīfaħ Harun al-Rasyid dalam perkara ini telah merintis jalan ke arah suatu perselisihan dan sengketa yang amat buruk di antara al-Amin dan al-Ma’mun, setelah ayahanda mereka meninggal dunia. Sengketa tersebut telah mengorbankan beribu-ribu jiwa kaum muslimin, termasuk al-Amin sendiri, sebagaimana yang akan dibicarakan kelak.

Menteri-Menteri dan Tokoh-Tokoh Pemerintahan yang Terkemuka
            Golongan Baramikaħ memegang berbagai jabatan penting di dalam pemerintahan Khalīfaħ Harun al-Rasyid. Hampir seluruh urusan pemerintahan berada di tangan mereka. Sesudah berlakunya angkara golongan Baramikaħ, Khalīfaħ Harun al-Rasyid melantik pula al-Faẓl  bin ar-rabi’ sebagai menterinya.
            Menurut al-Khatib al-Bagdadi,[24] bahwa Khalīfaħ Harun al-Rasyid mempunyai menteri-menteri dari golongan Baramikaħ yang tiada tolok banding kecakapan dan kehebatannya, qaḍinya ialah Abu Yusuf, penyairnya ialah Marwan bin Abu Hafsah yang setaraf Umayyah, teman semejanya ialah al-‘Abbas bin Muhammad, pengawal pribadinya ialah al-Faẓl  bin al-Rabi’ seorangan yang amat disegani dan dihormati, penyanyi penghiburnya ialah Ibrāhīm al-Mawsili, istrinya ialah Ummi Ja’far, seorang yang paling gemar dan pantas membuat kebaikan kepada rakyat.

Wafatnya Khalīfaħ Harun al-Rasyid
            Menurut kenyataan sejarah, Khalīfaħ Harun al-Rasyid pada suatu masa telah terpaksa harus pergi sendiri ke Khurasan untuk menumpas pemberontakan yang dilancarkan oleh Rafi’ bin Laiţ. Beliau telah melantik al-Amin sebagai penggantinya di Bagdad, dibantu oleh Yahya bin Sulaiman untuk menjalankan pemerintahan. Di dalam perjalanan ke Khurasan itu, beliau ditemani anaknya al-Ma’mun, menterinya al-Faẓl  bin al-Rabi’, Ismail bin Sabih, sebagian besar panglima-panglima tentara dan sepasukan tentara yang besar. Tetapi di pertengahan jalan beliau telah ditimpa penyakit dan terpaksa berhenti bersama rombongannya di suatu tempat bernama Tus. Merasa keadaanya kian bertambah berat, beliau lantas meminta anaknya al-Ma’mun memimpin pasukan tentara itu meneruskan perjalanan ke Khurasan dengan disertai al-Faẓl  bin al-Rabi’ dan sepasukan tentara yang kecil beserta sejumlah harta benda berada di Tus. Kemudian ketika terasa akan tiba ajalnya, beliau lantas berpesan kepada menterinya al-Faẓl  bin al-Rabi’ supaya mengikuti al-Ma’mun andainya beliau wafat kelak. Tidak lama setelah itu Khalīfaħ Harun al-Rasyid pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Beliau meninggal pada tahun193 h, ketika berusia kurang lebih 44 tahun.


[1] Tarikhul Khulafa., halaman 112.
[2] al-Fakhri, halaman 169-170.
[3] Al-Kamil fit-Tarikh, jilid 6, halaman 72.
[4] Al-Kamil fit-Tarikh, jilid 6, halaman 71-72.
[5] Al-Mas’udi: Murujuz-Zahab, jilid 2, halaman 380.
[6] Ibnu Tabatiba: Al-Fakhri, halaman 171-172.
[7] Abu Yusuf: Al-Kharaj, halaman 88.
[8] Mutaqaddimah Ibu Khaldun, halaman 127
[9] Bagdad, The City of Peace, halaman 61-64.
[10] Murujuz-Zahab, halaman 265.
[11] Al-Jahsyiari: al-Wuzara’ wal-Kuttab, halaman 210.
[12] Al-Agani, jilid 9, halaman 59-60.
[13] Al-Mas’udi: Murujuz-Zahab, jilid 2, halaman 279-280.
[14] Al-Agani, jilid 3, halaman, 173-174.
[15] Al-Wuzara’wal-Kuttab, halaman 170.
[16] Tarikhul-Khulafa’, halaman 113.
[17] Murujuz-Zahab, jilid 2, halaman 273.
[18] Al-Kamil fit-Tarikh, jilid 6, halaman 40.
[19] Al-Agani, jilid 17, halaman 78-80.
[20] Al-Jahsyiari, halaman 221.
[21] Ibnul Al-Aśir, Jilid 6, halaman 53.
[22] Murujuz-Zahab, jilid 2, halaman 273.
[23] Al-Mas’udi: Murujuz-Zahab, jilid 2, halaman 273.
[24] Tarikh Bagdad, jilid 14, halaman 11.

About Me

Foto Saya
Lingga S. Anshary
sulit sekali untuk mengambil keputusan, namun setelah keputusan diambil yang ada hanya kelegaan karena kita hanya harus melakukannya...
Lihat profil lengkapku
Selamat Datang
di Halamanku,,,,

Penayangan bulan lalu

Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer