Senin, 11 Juni 2012

Tokoh-tokoh Besar di Zaman Khalīfaħ Al-Mahdī (Part 2)

Al-Hadi (169-170 H)
Seperti yang telah disebutkan, bahwa Khalīfaħ al-Mahdī telah berhasil menyingkirkan ‘Īsa bin Mūsa dari kedudukannya sebagai putra mahkota yang baru pada tahun 160 H. Kemudian pada tahuan 166 H, beliau melantik pula anaknya yang seorang lagi yaitu Harun al-Rasyid sebagai putra mahkota, bakal pengganti al-Hadi. Kalau al-Mahdī mangkat, al-Hadi pun dilantik menjadi khalīfaħ menggantikannya secara resmi. Ketika al-Mahdī mangkat, al-Hadi sedang berada di Jurjan memimpin bala tentara kerajaan menentang kaum pemberontak di sana. Sementara saidaranya Harun al-Rasyid yang berada di Bagdad menerima pelantikan tersebut atas nama al-Hadi dan telah mengirim utusan memberi ta’ziaħ juga tanniaħ kepadanya.
Ibnu Tabatiba[1] mensifatkan al-Hadi seorang yang senantiasa waspada, sopan santun, suka membantu, berani, gagah, sempurna perasaan, tegas dalam bertindak.
Sementara al-Jahiz pula[2] mensifatkan al-Hadi seorang yang angkuh, kurang sabar dan mempunyai prasangka buruk.
Di antara kebijaksanaan al-Hadi di dalam percakapan, ialah sebagaimana kata-katanya kepada Ibrāhīm bin Muslim bin Qutaibaħ yang amat berduka cita karena kematian seorang anaknya. Al-Hadi berkata kepadanya: “Wahai Ibrāhīm, adakah anakmu menggembirakanmu ketika ia merupakan sebagai musuh dan fitnah, dan mendukacitakanmu ketika ia merupakan sebagai suatu rahmat?” Ibrāhīm pun lantas menjawab : “Wahai Amirul Mukminīm, hamba tidak lagi berduka tetapi bertenang dan bersabar.”
Suatu contoh kepintaran Khalīfaħ al-Hadi dan kebijakannya di tengah-tengah kesulitan, ialah sebagaimana yang diceritakan oleh al-Mas’udi[3] bahwa sedang Khalīfaħ al-Hadi berada si tamannya, seorang tawanan golongan Khawarij telah dibawa menghadap oleh beberapa orang pengawal. Ketika berada di depan beliau, orang tawanan itu telah merampas pedang dari salah seorang pengawal dan terus mengancam. Melihat keadaan ini pengawal-pengawal itu pun melarikan diri meninggalkan Khalīfaħ al-Hadi sendirian. Orang itu maju ke depan perlahan-lahan untuk membunuhnya, tetapi Khalīfaħ al-Hadi tidak bergerak-gerak sambil berdiri tegak di tempatnya dengan pebuh berani dan keras hati. Ketika orang itu telah tiba dekat padanya, maka dengan tiba-tiba Khalīfaħ al-Hadi pun, “pancung dia!” Orang itu lantas berbalik karena menyangka di belakangnya da pengawal yang akan menyerangnya. Ketika itu Khalīfaħ al-Hadi pun terus menerkam dan menjatuhkan orang itu serta merampas pedangnya dan membunuhnya.

Ketegasan Khalīfaħ Al-Hadi
Khalīfaħ al-Hadi adalah seorang yang tegas, walaupun beliau gemar berhibur dan bersenda gurau, tetapi semua itu tidak melalaikannya dari tanggung jawab. Teman bermain mendatangkan yang layak untuk pribadinya sementara pihak yang bersungguh-sungguh tidak sedikitpun dianiyaya walaupun kesungguhannya itu menimbulkan sedikit kesusahan kepada khalīfaħ.
Suatu contoh, bahwa Khalīfaħ al-Hadi seorang yang bertanggung jawab dan tegas serta tidak mengikuti nafsu, ialah sebagaimana yang diceritakan oleh Abdullah bin malik yang pernah menjadi kepala polisi semasa pemerintahan Khalīfaħ al-Mahdī. Menurut ceritanya, pada suatu hari Khalīfaħ al-Mahdī telah memerintahkan supaya memukul teman-teman anaknya al-Hadi yang senantiasa menemaninya berfoya-foya meminum khamar dan bernyanyi, untuk menjauhkan anaknya dari perkara-perkara yang tidak diingini. Al-Hadi telah memerintahkan Abdullah supaya tidak menjalankan perintah ayahnya itu. Tetapi Abdullah telah menolak dan tetap menjalankan kewajibannya sebagaimana yang diperintahkan. Ketika Khalīfaħ al-Mahdī mangkat dan al-Hadi menggantikannya, Abdullah telah dipanggil menghadap al-Hadi. Abdullah merasa cemas dan bimbang karena menyangka al-Hadi tentu akan membalas dendam, karena enggan tunduk kepada permintaannya dulu. Tetapi al-Hadi telah membebaskannya seketika setelah Abdullah berhasil meyakinkannya bahwa ia terpaksa manjalankan perintah al-Mahdī karena al-Mahdī ialah khalīfaħ pada masa itu; dan seandainya ia turutkan kemauan al-Hadi berarti ia meremehkan perintah khalīfaħ. Walaupun telah dibebaskan, namun Abdullah kurang merasa tenang khawatir al-Hadi mungkin dihasut oleh teman-temannya yang dulu itu untuk mengubah pikiran dan mengubah kembali tindakkannya membebaskan Abdullah, lebih-lebih lagi ketika membebaskan Abdullah itu Khalīfaħ al-Hadi dikatakan baru saja selesai meminum khamar bersama teman-temannya. Ketika Abdullah sedang duduk di rumah bersama anak-anaknya untuk makan, sambil memikirkan tentang kekhawatirannya itu, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk orang dan ketika dibuka didapati yang datang itu ialah rombongan Khalīfaħ al-Hadi. Abdullah lantas bangun dan menyambut serta mengecup tangannya. Khalīfaħ al-Hadi terus berkata, “Abdullah, sebenarnya kedatanganku ini ialah berhubung dengan dirimu. Sesudah membebaskanmu, terlintas pula di hatiku engkau mungkin menyangka ketika itu aku sedang minum-minum dengan dikelilingi oleh musuh-musuhmu, aku mungkin mengubah pikiran dan menarik kembali keputusanku membebaskanmu itu. Aku tahu engkau tentu merasa khawatir dan gelisah. Karena itu aku datang sendiri ke rumahmu untuk meyakinkanmu tentang keputusan yang telah aku ambil itu, semua rasa dendamku terhadapmu telah lenyap sama sekali. Hidangkanlah kepada aku apa saja yang engkau makan, agar engkau tahu bahwa semua makanan yang engkau makan adalah halal bagiku.”[4]

Al-Hadi dan Minuman Khamar
Dari segi minuman khamar, Khalīfaħ al-Hadi telah mengubah langkah yang baru. Seperti yang telah dikatakan, Khalīfaħ al-Mansur tidak minum khamar dan tidak mengizinkan minuman khamar di depannya. Khalīfaħ al-Mahdī pula telah mengubah sikap itu dan membenarkan teman-temannya minuman khamar di depannya, walaupun beliau sendiri tidak meminumnya. Tetapi Khalīfaħ al-Hadi dan Harun al-Rasyid sendiri meminum khamar, karena kedua-duanya telah belajar meminumnya di istana ayahanda mereka semasa muda dulu.
Kebiasaan Khalīfaħ al-Hadi meminum khamar sebelum dan sesudah menjadi khalīfaħ jelas ternyata dari cerita Abdullah bin Malik sebagaimana yang telah disebutkan di atas tadi.

Menteri-menteri Al-Hadi dan Tokoh-tokoh Kerajaan
Segera setelah selesai dinobatkan sebagai khalīfaħ, al-Hadi melantik ar-Rabi bin Yūnus sebagai menteri. Beberapa waktu kemudian beliau melantik pula Ibrāhīm bin Zakuan al-Harrani sebagai menteri menggantikan ar-Rabi’. Hubungan Ibrāhīm dengan al-Hadi bermula sejak al-Hadi masih kecil. Ketika itu Ibrāhīm sering mengunjunginya mengiringi seorang guru yang mengajar al-Hadi. Dengan itu Ibrāhīm berhasil menyenangkan hati al-Hadi dan sering mendampinginya, sehingga al-Hadi sendiri kadang-kadang merasa tidak sabar menanti kedatangannya. Perkara ini telah disampaikan kepada Khalīfaħ al-Mahdī ayahanda al-Hadi yang lantas melarang anaknya itu berkawan dengan Ibrāhīm serta mengancam akan membunuh Ibrāhīm. Tetapi al-Hadi tidak mengikuti larangan itu, dan terus berkawan dengan Ibrāhīm. Ini menyebabkan semakin hebatnya usaha-usaha menghasut al-Mahdī supaya mengambil tindakan yang tegas. Akhirnya Khalīfaħ al-Mahdī telah meminta anaknya itu menyuruh Ibrāhīm menghadap. Tetapi al-Hadi enggan menunaikan permintaan ayahanda. Al-Mahdī pun lantas mengancam akan melucutkan gelaran putra mahkota yang mana menyebabkan al-Hadi terpaksa mematuhi permintaan itu. Setelah Ibrāhīm datang menghadap, Khalīfaħ al-Mahdī telah bersumpah akan membunuhnya. Tetapi Ibrāhīm telah selamat karena al-Mahdī mangkat pada malam sesudah pertemuan itu. Apabila al-Hadi menjadi khalīfaħ, beliau pun melantik Ibrāhīm sebagai menteri.[5]
Di antara tokoh-tokoh lain yang diharapkan oleh Khalīfaħ al-Hadi ialah ‘Ali bin Īsa bin Mahan, Ismail bin Sabih, Abdullah bin Malik, Muhammad bin Farukh dan Yazid bin Mayzad. Ketiga orang terakhir merupakan panglima-panglima tentara, dan merekalah yang menghasut al-Hadi supaya melucuti Harun al-Rasyid dan melantik anaknya Ja’far sebagai putra mahkota.

Al-Hadi dan Putra Mahkota
Ketika Khalīfaħ al-Mahdī mangkat pada tahun 169 H, anaknya al-Hadi pun menggantikan sebagai Khalīfaħ mengikuti wasiatnya. Walaupun tempo pemerintahannya al-Hadi tidak panjang, namun cukup baginya untuk menjalankan usaha-usaha untuk melucutkan gelaran putra mahkota dari saudaranya Harun al-Rasyid dan mewasiatkan agar Ja’far anaknya sendiri bakal khalīfaħ kelak.
Menurut cerita al-Jahsyiari, Khalīfaħ al-Hadi telah merancang menjauhkan saudaranya Harun al-Rasyid untuk melucutkan gelar putra mahkota darinya, dan melantik anaknya sendiri yang masih kecil bernama Ja’far, sebagai putra mahkota yang baru serta menawarkan kepada Harun al-Rasyid menerima tawaran tersebut. Tetapi Yahya bin Khalid telah melarang Harun al-Rasyid berbuat demikian, dengan alasan jabatan khalīfaħ lebih penting dari apa yang ditawarkan itu. Hal ini telah diketahui oleh Khalīfaħ al-Hadi yang terus mendesak orang-orangnya memperkecil kedudukan Harun al-Rasyid, menimbulkan kelemahan-kelemahannya dan merendahkannya di perhimpunan masyarakat umumnya. Yahya kemudian dipanggil menghadap Khalīfaħ al-Hadi untuk ditanya tentang perkara tersebut. Tetapi Yahya menyatakan tidak campur tangan dalam urusan di antara kedua beradik itu. Kemudian ketika ditanya oleh Khalīfaħ al-Hadi tentang pendapatnya mengenai rancangan melucutkan gelaran putra mahkota dari Harun al-Rasyid, Yahya telah mencadangkan supaya Ja’far diumumkan sebagai putra mahkota bakal pengganti Harun al-Rasyid, karena langkah demikian lebih bijaksana dan lebih tepat bagi mendapatkan pengakuan taat setia sepenuhnya dari rakyat. Sebabnya ialah rakyat telah memberikan pengakuan taat setia kepada Harun al-Rasyid ketika ayahandanya Khalīfaħ al-Mahdī melantiknya sebagai putra mahkota bakal pengganti saudaranya al-Hadi. Walaupun Khalīfaħ al-Hadi memuji cadangan tersebut, tetapi beliau memerintahkan pengawal-pengawal menangkap dan mengurung Yahya. Sementara itu Yahya meminta izin untuk menghadap Khalīfaħ al-Hadi sekali lagi. Permintaannya telah diterima dan kemudian dia menerangkan, andainya Ja’far yang masih kecil itu dilantik juga sebagai putra mahkota menggantikan Harun al-Rasyid, maka jabatan Khalīfaħ kelak mungkin akan direbut oleh orang-oreng bukan keturunan al-Mahdī jika terjadi sesuatu yang tidak dingini ke atas Ja’far. Dia juga menegaskan sanggup membujuk Harun al-Rasyid melucutkan gelarnya itu seandainya Ja’far telah mencapai umur remaja. Keterangan-keterangan ini diterima baik oleh Khalīfaħ al-Hadi, yang segera memberikan terima kasih Yahya serta membebaskannya.[6]

Kemangkatan Al-Hadi dan Rencana Jahat Khaizuran
Kematian Khalīfaħ al-Hadi bukan seperti kematian biasa yang dialami oleh khalīfaħ-khalīfaħ dan juga orang-orang yang lain. Kejadiannya tidak mudah berulang di mana-mana di masa depan. Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa al-Hadi mati terbunuh yang sengaja dirancang ibunya Khaizuran. Tetapi dari segi tabiat kemanusiaan amat sukar ini terjadi terhadap anak. Karena itu sebagian ahli sejarah di masa belakangan keberatan untuk mengakui adanya rancangan jahat tersebut. Di sebalik itu tabiat kemanusiaan juga menegaskan bahwa jiwa seseorang itu adalah lebih berharga kepadanya daripada jiwa orang lain, dan hak untuk mempertahankan diri adalah hak asasi bagi setiap hamba Allah.
Andainya apa yang disebutkan oleh sebagian ahli sejarah bahwa Khalīfaħ al-Hadi mencoba meracuni ibundanya itu benar, maka perkara itu meyakinkan kemungkinan berlakunya Khaizuran merancang untuk membunuh anaknya al-Hadi bagi mempertahankan diri, dan karena keinginannya untuk mengembalikan pengaruhnya yang telah hilang itu disebabkan kekerasan dan keganasan al-Hadi. Di bawah ini dipertaruhkan beberapa fakta sejarah yang bisa memberikan penjelasan tentang perkara-perkara yang tersembunyi di balik peristiwa itu, yang mana istana khalīfaħ adalah sebagai pentasnya yang utama.
Seperti yang diketahui, Khalīfaħ al-Mahdī ialah seorang yang berhati lembut, berjiwa bersih, berakhlak baik, baik tutur-kata, senantiasa berwajah manis dan amat jarang menyakiti orang. Sementara istrinya Khaizuran, ialah seorang wanita yang kuat pribadi, cinta akan pengaruh dan kuasa. Sifat-sifat suaminya yang demikian dirasakan amat sesuai baginya, serta menggalakkannya untuk terus berpegang pada tabiatnya yang rakus itu. Dialah yang memerintah dan melarang, memberi ampunan dan membuat penentuan serta membatalkan. Sayid Amir ‘Alī menegaskan[7] bahwa al-Mahdī telah membiarkan istrinya itu menguasainya dan semua yang ada di istananya; dengan demikian istana Khaizuran senantiasa penuh sesak dengan amir-amir, pembesar-pembesar, golongan-golongan yang mengharapkan jabatan dan orang-orang yang ingin mendapatkan kepentingan keperluan mereka.
Ketika Khalīfaħ al-Mahdī mangkat dan diganti pula oleh al-Hadi, Kaizuran menyangka kekuasaan dan pengaruhnya akan semakin meluas karena anaknya tentu akan lebih melayani permintaannya daripada suaminya sendiri; dan dia pasti akan dapat menundukkannya yang dianggap masih mudah mental itu, serta meletakkan al-Hadi di bawah telunjuknya lebih daripada yang dilakukan ke atas suaminya. Tetapi al-Hadi adalah jauh berbeda dari ayahandanya al-Mahdī. Cemburu adalah satu daripada sifatnya yang paling menonjol.
Menurut Ibnu al-Aśir[8] bahwa Khalīfaħ al-Mahdī telah mangkat ketika al-Hadi berada di Jurjan memerangi penduduk Tabaristan, dan angkatan tentara Bagdad bangun menurut membayar gaji mereka. Khaizuran telah memanggil Yahya bin al-Bamarki dan al-Rabi’ bin Yūnus untuk berunding mengenai pemerintahan negara sebelum diangkat Khalīfaħ yang baru. Al-Rabi’ telah menerima panggilan itu, sementara Yahya menolaknya karena menyadari tentang perasaan cemburu al-Hadi serta berusaha mengumpulkan uang dan menenteramkan angkatan tentara. Ketika diketahuinya tentang hal tersebut, al-Hadi pun terus menulis kepada al-Rabi’ dengan mengancam akan membunuhnya, dan kepada Yahya dengan ucapan terima kasih. Jika tidak karena nasihat yang diberikan oleh Yahya niscaya besar kemungkinan al-Rabi’ dibunuh oleh al-Hadi.
Orang-orang yang bersemangat seperti Yahya bin Khalid amat sedikit jumlahnya. Karena itulah Khaizuran terus menjadi tumpuan menteri-menteri, amir-amir, ‘ulama-’ulama, penyair-penyair dan orang-orang yang berkepentingan. Khaizuran terus mengurus segala perkara tanpa mengindahkan al-Hadi, sebagaimana yang dilakukannya dengan suaminya Khalīfaħ al-Mahdī dulu. Keadaan demikian berjalan selama 4 bulan.
Pada mulanya Khalīfaħ al-Hadi menerima keadaan ini dengan penuh kesabaran karena dorongan tidak mau menentang terhadap ibu, tetapi Khaizuran telah melampaui batas dan hampir melenyapkan al-Hadi. Dia terus membuat keputusan-keputusan dan mengemukakan kepada al-Hadi supaya ditandatangani. Akhirnya al-Hadi merasa keadaan ini tidak boleh dibiarkan dan beliau telah bertanggung jawab menghapuskannya.
Al-Hadi mulai menangguh-nangguhkan semua permintaan Khaizuran dan tidak segera menerima kemauannya. Suatu kali Khaizuran meminta al-Hadi supaya melantik Gatrif, ayah saudara al-Hadi, menjadi pemerintah di Yaman. Al-Hadi telah berjanji akan melaksanakan permintaan itu. Tidak lama sesudah ibunya menulis kepadanya menanyakan tentang hal tersebut. Al-Hadi lantas mengirim utusan kepada ibunya, memberi tahu supaya meminta ayah saudaranya memilih untuk memerintah negeri Yaman dan al-Hadi menceraikan istrinya; anak perempuan Gatrif atau tidak memerintah Yaman dan anak perempuan Gatrif tidak diceraikan dan tetap kekal sebagai istri al-Hadi. Tetapi utusan yang disuruh menyampaikan demikian kepada Khaizuran tidak menyampaikannya dengan lengkap. Dia hanya meminta Khaizuran supaya pilihlah Gatrif, yang mana disangka oleh Khaizuran bahwa al-Hadi memintanya supaya memilih wilayah-wilayah yang sesuai untuk Gatrif memerintah, lalu dia pun memilih Yaman. Utusan itu kemudiannya pulang dan memberi tahu tentang pilihan Khaizuran. Al-Hadi menerima berita itu dengan marah dan terus menceraikan sepupunya.
Kemudian Khaizuran mengemukakan permintaan yang baru pula, tetapi menghadapi kegagalan juga. Salah satu sebab kekejamannya memuncak. Tiga perkara yang disadari al-Hadi tentang ibundanya ialah pertama, ibunya tidak mengharap tetapi memerintah dan memberi jaminan akan permintaan pihak yang berhajat itu pasti tercapai. Kedua, ibundanya bukan hanya mau bersikap sederhana dalam perkara-perkara biasa tetapi juga mau membuat keputusan dalam perkara-perkara besar. Ketiga, hubungan rapat Khaizuran bukan saja dengan saudaranya Gatrif dan lain-lain saudaranya, bahkan dengan panglima-panglima tentara dan pemimpin-pemimpin. Ini telah melahirkan rasa cemburu di dalam diri al-Hadi serta mendesaknya supaya membuktikan kewibawaannya dan membuktikan sendiri pimpinan pemerintahan. Dengan itu maka mulai timbul keributan di antara al-Hadi dan ibundanya.
Menurut ceritanya, pada suatu hari Khaizuran menemui anaknya al-Hadi dan menyampaikan kepadanya suatu permohonan yang diminta supaya diluluskan segera. Tetapi al-Hadi telah menunda-nunda untuk meluluskannya. Kemudian ketika ibundanya mendesak supaya segera meluluskan atas alasan ia telah memberikan jaminan kepada Abdullah bin Malik bahwa permintaannya akan dikabulkan, al-Hadi secara berani menjawab tidak akan mengabulkan permintaan itu, serta memberi peringatan kepada Khaizuran agar jangan lagi mencoba-coba melayani permintaan panglima-panglima dan orang-orang besar atau mengizinkan mereka mengunjunginya. Khaizuran meninggalkan majelis pertemuan itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Kemudian al-Hadi bertanya kepada pembesar-pembesar di sekelilingnya: “Adakah kamu lebih suka orang datang kepada kamu dan mengatakan ibu kamu menyuruh supaya kamu berbuat sesuatu untuknya?” Pembesar-pembesar itu menjawab: “Tentu sekali kami tidak suka.” Lalu al-Hadi pun berkata: “Tetapi mengapakah kamu menemui hajat kamu itu?” Sejak mendengar kata-kata itu, pembesar-pembesar tersebut dengan spontan tidak lagi pergi menemui Khaizuran.[9]
Demikianlah tegangnya hubungan Khalīfaħ al-Hadi dengan ibunya. Setelah orang-orang tidak lagi mengunjunginya untuk mendapatkan apa yang mereka hajatkan, Khaizuran mulai merasa kekosongan dan membenci serta menaruh dendam terhadap anandanya itu.
Tetapi keadaan tersebut bukan sampai situ saja, malah timbul pula perkara-perkara lain yang semakin meluaskan lagi jurang perselisihan di antara kedua anak-beranak itu. Khalīfaħ al-Hadi telah mendesak mau melucutkan Harun al-Rasyid itu adalah harapan terakhir bagi Khaizuran, karena ia adalah seorang anak yang baik, pemaaf, yang diharapkan mencerminkan pribadi ayahandanya, yang mana di bawah naungan Khaizuran akan dapat mengembalikan kembali pengaruh dan kedudukannya yang telah merosot itu.[10] Dengan ini istana Khalīfaħ dikatakan telah menjadi sarang spion suruhan yang bekerja kepada Khaizuran sambil bertugas mengintip gerak-gerik ibundanya itu, sementara Khaizuran pula mempunyai spion dan pengintip-pengintip dari kalangan orang-orang suruhan yang bekerja kepada anaknya. Dari pada spion dan pengintip itulah Khaizuran mendapat tahu bahwa anaknya mengintip gerak-geriknya dan mengenakan suatu pengawalan yang ketat terhadap dirinya. Keadaan ini telah menyebabkan Khaizuran mendapat tekanan batin berbagai perasaan dan emosi. Pada suatu ketika ia naik pitam dan timbul kebimbangan terhadap nasib Harun al-Rasyid, serta berniat akan menuntut keadilan kepada al-Hadi dan melenyapkannya dari muka bumi. Kemudian terlintas pula di hatinya, bukankah al-Hadi itu juga anaknya sendiri? Adakah ia sanggup berbuat demikian terhadap anaknya itu?
Al-Hadi sadar ibundanya menghasut Harun al-Rasyid agar jangan melepaskan gelar putra mahkota yang disandangnya. Perbuatan ini kian menambah kemarahan al-Hadi terhadap ibundanya, dan beliau berniat akan melakukan sesuatu yang buruk dengan mengirimkan makanan beracun. Tetapi Khaizuran mencoba makanan itu terlebih dahulu dengan memberikannya kepada seekor anjing. Setelah memakannya, anjing itu terus tersungkur mati. Ketika al-Hadi menanyakan tentang makanan itu, ibundanya mengatakan makanan tersebut amat enak, tetapi al-Hadi tahu ibundanya tak menyentuh sama sekali makanan itu. Beliau berkata kepada ibundanya : ”Ibu tidak memakannya. Jika ibu memakannya, saya tidak akan mendapatkan kesulitan dari ibu.”[11]
Bagi Khaizuran tindakannya itu adalah mempertahankan diri. Nyata terbukti bahwa al-Hadi seorang anak yang durhaka dan tempatnya harus digantikan dengan seorang anak yang lain. Yang ternyata bersifat baik dan penyayang. Diriwayatkan bahwa Khaizuran telah menyuruh beberapa dayang-dayang supaya duduk di atas muka al-Hadi yang sedang sakit sehingga tidak dapat bernafas dan mati lemas. Kemudian Khaizuran mengirim utusan kepada Yahya bin Khalid memberi tahu tentang kemangkatannya.[12]


[1] Al-Fakhri, halaman 165.
[2] Al-Taj fi Akhlaqil Muluk, halaman 35.
[3] Murujuz Zahab, Jilid 2, halaman 255-256.
[4] Ibnu al-Aśir, Jilid 6, halaman 34-35.
[5] Ibnu Tabatiba: Al-Fakhri, halaman 175; Al-Jahsyiari: Al-Wuzara’ wal-Kuttab, halaman 126.
[6] Al-Wuzara’ wal-Kuttab, halaman 169-170.
[7] A Short History of The Saracens, halaman 231.
[8] Al-Kamil fit Tarikh, jilid, halaman 29.
[9] Al-Mas’udi: Muruju az-Zahab, jilid 2, halaman 257-258.
[10] Al-Fakhri, halaman 168,
[11] Ibnu al-Atsir: Al-Kamil fit Tarikh, jilid 6, halaman 34.
[12] Al-Fakhri, halaman 168. Ibnu Khaldun, halaman 217.

0 komentar:

About Me

Foto Saya
Lingga S. Anshary
sulit sekali untuk mengambil keputusan, namun setelah keputusan diambil yang ada hanya kelegaan karena kita hanya harus melakukannya...
Lihat profil lengkapku
Selamat Datang
di Halamanku,,,,

Penayangan bulan lalu

Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer