Senin, 11 Juni 2012
Tokoh-tokoh Besar di Zaman Khalīfaħ Al-Mahdī (Part 2)
Al-Hadi (169-170 H)
Seperti yang telah disebutkan, bahwa Khalīfaħ
al-Mahdī telah berhasil menyingkirkan ‘Īsa bin Mūsa dari kedudukannya sebagai
putra mahkota yang baru pada tahun 160 H. Kemudian pada tahuan 166 H, beliau
melantik pula anaknya yang seorang lagi yaitu Harun al-Rasyid sebagai putra
mahkota, bakal pengganti al-Hadi. Kalau al-Mahdī mangkat, al-Hadi pun dilantik
menjadi khalīfaħ menggantikannya secara resmi. Ketika al-Mahdī mangkat, al-Hadi sedang
berada di Jurjan memimpin bala tentara kerajaan menentang kaum pemberontak di
sana. Sementara saidaranya Harun al-Rasyid yang berada di Bagdad menerima
pelantikan tersebut atas nama al-Hadi dan telah mengirim utusan memberi ta’ziaħ
juga tanniaħ kepadanya.
Ibnu Tabatiba[1]
mensifatkan al-Hadi seorang yang senantiasa waspada, sopan santun, suka membantu, berani, gagah, sempurna
perasaan, tegas dalam bertindak.
Sementara al-Jahiz pula[2]
mensifatkan al-Hadi seorang yang angkuh, kurang sabar dan mempunyai prasangka
buruk.
Di antara kebijaksanaan al-Hadi di
dalam percakapan, ialah sebagaimana kata-katanya kepada Ibrāhīm bin Muslim bin
Qutaibaħ yang amat berduka cita karena kematian seorang anaknya. Al-Hadi
berkata kepadanya: “Wahai Ibrāhīm, adakah anakmu menggembirakanmu ketika ia
merupakan sebagai musuh dan fitnah, dan mendukacitakanmu ketika ia merupakan
sebagai suatu rahmat?” Ibrāhīm pun lantas menjawab : “Wahai Amirul Mukminīm,
hamba tidak lagi berduka tetapi bertenang dan bersabar.”
Suatu contoh kepintaran Khalīfaħ
al-Hadi dan kebijakannya di tengah-tengah kesulitan, ialah sebagaimana yang
diceritakan oleh al-Mas’udi[3]
bahwa sedang Khalīfaħ al-Hadi berada si tamannya, seorang tawanan golongan Khawarij
telah dibawa menghadap oleh beberapa orang pengawal. Ketika berada di depan
beliau, orang tawanan itu telah merampas pedang dari salah seorang pengawal dan
terus mengancam. Melihat keadaan ini pengawal-pengawal itu pun melarikan diri
meninggalkan Khalīfaħ al-Hadi sendirian. Orang itu maju ke depan perlahan-lahan
untuk membunuhnya, tetapi Khalīfaħ al-Hadi tidak bergerak-gerak sambil berdiri
tegak di tempatnya dengan pebuh berani dan keras hati. Ketika orang itu telah
tiba dekat padanya, maka dengan tiba-tiba Khalīfaħ al-Hadi pun, “pancung dia!”
Orang itu lantas berbalik karena menyangka di belakangnya
da pengawal yang akan menyerangnya. Ketika itu Khalīfaħ al-Hadi pun terus menerkam dan menjatuhkan
orang itu serta merampas pedangnya dan membunuhnya.
Ketegasan Khalīfaħ Al-Hadi
Khalīfaħ al-Hadi adalah seorang yang
tegas, walaupun beliau gemar berhibur dan bersenda gurau, tetapi semua itu
tidak melalaikannya dari tanggung jawab. Teman bermain mendatangkan yang layak
untuk pribadinya sementara pihak yang bersungguh-sungguh tidak sedikitpun dianiyaya
walaupun kesungguhannya itu menimbulkan sedikit kesusahan kepada khalīfaħ.
Suatu contoh, bahwa Khalīfaħ al-Hadi
seorang yang bertanggung jawab dan tegas serta tidak mengikuti nafsu, ialah
sebagaimana yang diceritakan oleh Abdullah bin malik yang pernah menjadi kepala
polisi semasa pemerintahan Khalīfaħ al-Mahdī. Menurut ceritanya, pada suatu
hari Khalīfaħ al-Mahdī telah memerintahkan supaya memukul teman-teman anaknya
al-Hadi yang senantiasa menemaninya berfoya-foya meminum khamar dan
bernyanyi, untuk menjauhkan anaknya dari perkara-perkara yang tidak diingini.
Al-Hadi telah memerintahkan Abdullah supaya tidak menjalankan perintah ayahnya
itu. Tetapi Abdullah telah menolak dan tetap menjalankan kewajibannya
sebagaimana yang diperintahkan. Ketika Khalīfaħ al-Mahdī mangkat dan al-Hadi
menggantikannya, Abdullah telah dipanggil menghadap al-Hadi. Abdullah merasa
cemas dan bimbang karena menyangka al-Hadi tentu akan membalas dendam, karena
enggan tunduk kepada permintaannya dulu. Tetapi al-Hadi telah membebaskannya
seketika setelah Abdullah berhasil meyakinkannya bahwa ia terpaksa manjalankan
perintah al-Mahdī karena al-Mahdī ialah khalīfaħ pada masa itu; dan seandainya
ia turutkan kemauan al-Hadi berarti ia meremehkan perintah khalīfaħ. Walaupun
telah dibebaskan, namun Abdullah kurang merasa tenang khawatir al-Hadi mungkin
dihasut oleh teman-temannya yang dulu itu untuk mengubah pikiran dan mengubah
kembali tindakkannya membebaskan Abdullah, lebih-lebih lagi ketika membebaskan Abdullah
itu Khalīfaħ al-Hadi dikatakan baru saja selesai meminum khamar bersama
teman-temannya. Ketika Abdullah sedang duduk di rumah bersama anak-anaknya
untuk makan, sambil memikirkan tentang kekhawatirannya itu, tiba-tiba pintu
rumahnya diketuk orang dan ketika dibuka didapati yang datang itu ialah rombongan
Khalīfaħ al-Hadi. Abdullah lantas bangun dan menyambut serta mengecup
tangannya. Khalīfaħ al-Hadi terus berkata, “Abdullah, sebenarnya kedatanganku
ini ialah berhubung dengan dirimu. Sesudah membebaskanmu, terlintas pula di hatiku
engkau mungkin menyangka ketika itu aku sedang minum-minum dengan dikelilingi
oleh musuh-musuhmu, aku mungkin mengubah pikiran dan menarik kembali
keputusanku membebaskanmu itu. Aku tahu engkau tentu merasa khawatir dan
gelisah. Karena itu aku datang sendiri ke rumahmu untuk meyakinkanmu tentang keputusan
yang telah aku ambil itu, semua rasa dendamku terhadapmu telah lenyap sama
sekali. Hidangkanlah kepada aku apa saja yang engkau makan, agar engkau tahu
bahwa semua makanan yang engkau makan adalah halal bagiku.”[4]
Al-Hadi dan Minuman Khamar
Dari segi minuman khamar,
Khalīfaħ al-Hadi telah mengubah langkah yang baru. Seperti yang telah
dikatakan, Khalīfaħ al-Mansur tidak minum khamar dan tidak mengizinkan
minuman khamar di depannya. Khalīfaħ al-Mahdī pula telah mengubah sikap
itu dan membenarkan teman-temannya minuman khamar di depannya, walaupun beliau sendiri tidak meminumnya.
Tetapi Khalīfaħ al-Hadi dan Harun al-Rasyid sendiri meminum khamar,
karena kedua-duanya telah belajar meminumnya di istana ayahanda mereka semasa
muda dulu.
Kebiasaan Khalīfaħ al-Hadi meminum khamar
sebelum dan sesudah menjadi khalīfaħ jelas ternyata dari cerita Abdullah bin Malik
sebagaimana yang telah disebutkan di atas tadi.
Menteri-menteri Al-Hadi dan Tokoh-tokoh Kerajaan
Segera setelah selesai dinobatkan
sebagai khalīfaħ, al-Hadi melantik ar-Rabi bin Yūnus sebagai menteri. Beberapa
waktu kemudian beliau melantik pula Ibrāhīm bin Zakuan al-Harrani sebagai
menteri menggantikan ar-Rabi’. Hubungan Ibrāhīm dengan al-Hadi bermula sejak
al-Hadi masih kecil. Ketika itu Ibrāhīm sering mengunjunginya mengiringi
seorang guru yang mengajar al-Hadi. Dengan itu Ibrāhīm berhasil menyenangkan
hati al-Hadi dan sering mendampinginya, sehingga al-Hadi sendiri kadang-kadang
merasa tidak sabar menanti kedatangannya. Perkara ini telah disampaikan kepada
Khalīfaħ al-Mahdī ayahanda al-Hadi yang lantas melarang anaknya itu berkawan
dengan Ibrāhīm serta mengancam akan membunuh Ibrāhīm. Tetapi al-Hadi tidak
mengikuti larangan itu, dan terus berkawan dengan Ibrāhīm. Ini menyebabkan
semakin hebatnya usaha-usaha menghasut al-Mahdī supaya mengambil tindakan yang
tegas. Akhirnya Khalīfaħ al-Mahdī telah meminta anaknya itu menyuruh Ibrāhīm
menghadap. Tetapi al-Hadi enggan menunaikan permintaan ayahanda. Al-Mahdī pun
lantas mengancam akan melucutkan gelaran putra mahkota yang mana menyebabkan
al-Hadi terpaksa mematuhi permintaan itu. Setelah Ibrāhīm datang menghadap,
Khalīfaħ al-Mahdī telah bersumpah akan membunuhnya. Tetapi Ibrāhīm telah
selamat karena al-Mahdī mangkat pada malam sesudah pertemuan itu. Apabila
al-Hadi menjadi khalīfaħ, beliau pun melantik Ibrāhīm sebagai menteri.[5]
Di antara tokoh-tokoh lain yang
diharapkan oleh Khalīfaħ al-Hadi ialah ‘Ali bin Īsa bin Mahan, Ismail bin Sabih,
Abdullah bin Malik, Muhammad bin Farukh dan Yazid bin Mayzad. Ketiga orang
terakhir merupakan panglima-panglima tentara, dan merekalah yang menghasut
al-Hadi supaya melucuti Harun al-Rasyid dan melantik anaknya Ja’far sebagai
putra mahkota.
Al-Hadi dan Putra Mahkota
Ketika Khalīfaħ al-Mahdī mangkat pada
tahun 169 H, anaknya al-Hadi pun menggantikan sebagai Khalīfaħ mengikuti
wasiatnya. Walaupun tempo pemerintahannya al-Hadi tidak panjang, namun cukup
baginya untuk menjalankan usaha-usaha untuk melucutkan gelaran putra mahkota
dari saudaranya Harun al-Rasyid dan mewasiatkan agar Ja’far anaknya sendiri
bakal khalīfaħ kelak.
Menurut cerita al-Jahsyiari, Khalīfaħ
al-Hadi telah merancang menjauhkan saudaranya Harun al-Rasyid untuk melucutkan
gelar putra mahkota darinya, dan melantik anaknya sendiri yang masih kecil bernama
Ja’far, sebagai putra mahkota yang baru serta menawarkan kepada Harun al-Rasyid
menerima tawaran tersebut. Tetapi Yahya bin Khalid telah melarang Harun
al-Rasyid berbuat demikian, dengan alasan jabatan khalīfaħ lebih penting dari
apa yang ditawarkan itu. Hal ini telah diketahui oleh Khalīfaħ al-Hadi yang
terus mendesak orang-orangnya memperkecil kedudukan Harun al-Rasyid,
menimbulkan kelemahan-kelemahannya dan merendahkannya di perhimpunan masyarakat
umumnya. Yahya kemudian dipanggil menghadap Khalīfaħ al-Hadi untuk ditanya tentang
perkara tersebut. Tetapi Yahya menyatakan tidak campur tangan dalam urusan di
antara kedua beradik itu. Kemudian ketika ditanya oleh Khalīfaħ al-Hadi tentang
pendapatnya mengenai rancangan melucutkan gelaran putra mahkota dari Harun
al-Rasyid, Yahya telah mencadangkan supaya Ja’far diumumkan sebagai putra
mahkota bakal pengganti Harun al-Rasyid, karena langkah demikian lebih
bijaksana dan lebih tepat bagi mendapatkan pengakuan taat setia sepenuhnya dari
rakyat. Sebabnya ialah rakyat telah memberikan pengakuan taat setia kepada Harun
al-Rasyid ketika ayahandanya Khalīfaħ al-Mahdī melantiknya sebagai putra
mahkota bakal pengganti saudaranya al-Hadi. Walaupun Khalīfaħ al-Hadi memuji
cadangan tersebut, tetapi beliau memerintahkan pengawal-pengawal menangkap dan
mengurung Yahya.
Sementara itu Yahya meminta izin untuk menghadap Khalīfaħ al-Hadi sekali lagi. Permintaannya
telah diterima dan kemudian dia menerangkan, andainya Ja’far yang masih kecil
itu dilantik juga sebagai putra mahkota menggantikan Harun al-Rasyid, maka
jabatan Khalīfaħ kelak mungkin akan direbut oleh orang-oreng bukan keturunan al-Mahdī
jika terjadi sesuatu yang tidak dingini ke atas Ja’far. Dia juga menegaskan
sanggup membujuk Harun al-Rasyid melucutkan gelarnya itu seandainya Ja’far
telah mencapai umur remaja. Keterangan-keterangan ini diterima baik oleh
Khalīfaħ al-Hadi, yang segera memberikan terima kasih Yahya serta membebaskannya.[6]
Kemangkatan Al-Hadi dan Rencana Jahat Khaizuran
Kematian Khalīfaħ al-Hadi bukan
seperti kematian biasa yang dialami oleh khalīfaħ-khalīfaħ dan juga orang-orang
yang lain. Kejadiannya tidak mudah berulang di mana-mana di masa depan. Kebanyakan
ahli sejarah berpendapat bahwa al-Hadi mati terbunuh yang sengaja dirancang
ibunya Khaizuran. Tetapi dari segi tabiat kemanusiaan amat sukar ini terjadi terhadap
anak. Karena itu sebagian ahli sejarah di masa belakangan keberatan untuk
mengakui adanya rancangan jahat tersebut. Di sebalik itu tabiat kemanusiaan
juga menegaskan bahwa jiwa seseorang itu adalah lebih berharga kepadanya
daripada jiwa orang lain, dan hak untuk mempertahankan diri adalah hak asasi
bagi setiap hamba Allah.
Andainya apa yang disebutkan oleh
sebagian ahli sejarah bahwa Khalīfaħ al-Hadi mencoba meracuni ibundanya itu
benar, maka perkara itu meyakinkan kemungkinan berlakunya Khaizuran merancang
untuk membunuh anaknya al-Hadi bagi mempertahankan diri, dan karena
keinginannya untuk mengembalikan pengaruhnya yang telah hilang itu disebabkan
kekerasan dan keganasan al-Hadi. Di bawah ini dipertaruhkan beberapa fakta
sejarah yang bisa memberikan penjelasan tentang perkara-perkara yang
tersembunyi di balik peristiwa itu, yang mana istana khalīfaħ adalah sebagai
pentasnya yang utama.
Seperti yang diketahui, Khalīfaħ al-Mahdī
ialah seorang yang berhati lembut, berjiwa bersih, berakhlak baik, baik tutur-kata,
senantiasa berwajah manis dan amat jarang menyakiti orang. Sementara istrinya Khaizuran,
ialah seorang wanita yang kuat pribadi, cinta akan pengaruh dan kuasa. Sifat-sifat
suaminya yang demikian dirasakan amat sesuai baginya, serta menggalakkannya
untuk terus berpegang pada tabiatnya yang rakus itu. Dialah yang memerintah dan
melarang, memberi ampunan dan membuat penentuan serta membatalkan. Sayid Amir ‘Alī
menegaskan[7]
bahwa al-Mahdī telah membiarkan istrinya itu menguasainya dan semua yang ada di
istananya; dengan demikian istana Khaizuran senantiasa penuh sesak dengan amir-amir,
pembesar-pembesar, golongan-golongan yang mengharapkan jabatan dan orang-orang
yang ingin mendapatkan kepentingan keperluan mereka.
Ketika Khalīfaħ al-Mahdī mangkat dan
diganti pula oleh al-Hadi, Kaizuran menyangka kekuasaan dan pengaruhnya akan
semakin meluas karena anaknya tentu akan lebih melayani permintaannya daripada
suaminya sendiri; dan dia pasti akan dapat menundukkannya yang dianggap masih
mudah mental itu, serta meletakkan al-Hadi di bawah telunjuknya lebih daripada
yang dilakukan ke atas suaminya. Tetapi al-Hadi adalah jauh berbeda dari
ayahandanya al-Mahdī. Cemburu adalah satu daripada sifatnya yang paling
menonjol.
Menurut Ibnu al-Aśir[8] bahwa
Khalīfaħ al-Mahdī telah mangkat ketika al-Hadi berada di Jurjan memerangi
penduduk Tabaristan, dan angkatan tentara Bagdad bangun menurut membayar gaji
mereka. Khaizuran telah memanggil Yahya bin al-Bamarki dan al-Rabi’ bin Yūnus
untuk berunding mengenai pemerintahan negara sebelum diangkat Khalīfaħ yang
baru. Al-Rabi’ telah menerima panggilan itu, sementara Yahya menolaknya karena
menyadari tentang perasaan cemburu al-Hadi serta berusaha mengumpulkan uang dan
menenteramkan angkatan tentara. Ketika diketahuinya tentang hal tersebut,
al-Hadi pun terus menulis kepada al-Rabi’ dengan mengancam akan membunuhnya,
dan kepada Yahya dengan ucapan terima kasih. Jika tidak karena nasihat yang
diberikan oleh Yahya niscaya besar kemungkinan al-Rabi’ dibunuh oleh al-Hadi.
Orang-orang yang bersemangat seperti
Yahya bin Khalid amat sedikit jumlahnya. Karena itulah Khaizuran terus menjadi
tumpuan menteri-menteri, amir-amir, ‘ulama-’ulama, penyair-penyair dan
orang-orang yang berkepentingan. Khaizuran terus mengurus segala perkara tanpa
mengindahkan al-Hadi, sebagaimana yang dilakukannya dengan suaminya Khalīfaħ al-Mahdī
dulu. Keadaan demikian berjalan selama 4 bulan.
Pada mulanya Khalīfaħ al-Hadi menerima
keadaan ini dengan penuh kesabaran karena dorongan tidak mau menentang terhadap
ibu, tetapi Khaizuran telah melampaui batas dan hampir melenyapkan al-Hadi. Dia
terus membuat keputusan-keputusan dan mengemukakan kepada al-Hadi supaya ditandatangani. Akhirnya
al-Hadi merasa keadaan ini tidak boleh dibiarkan dan beliau telah bertanggung
jawab menghapuskannya.
Al-Hadi mulai menangguh-nangguhkan
semua permintaan Khaizuran dan tidak segera menerima kemauannya. Suatu kali
Khaizuran meminta al-Hadi supaya melantik Gatrif, ayah saudara al-Hadi, menjadi
pemerintah di Yaman. Al-Hadi telah berjanji akan melaksanakan permintaan itu. Tidak
lama sesudah ibunya menulis kepadanya menanyakan tentang hal tersebut. Al-Hadi
lantas mengirim utusan kepada ibunya, memberi tahu supaya meminta ayah
saudaranya memilih untuk memerintah negeri Yaman dan al-Hadi menceraikan
istrinya; anak perempuan Gatrif atau tidak memerintah Yaman dan anak perempuan
Gatrif tidak diceraikan dan tetap kekal sebagai istri al-Hadi. Tetapi utusan
yang disuruh menyampaikan demikian kepada Khaizuran tidak menyampaikannya
dengan lengkap. Dia hanya meminta Khaizuran supaya pilihlah Gatrif, yang mana
disangka oleh Khaizuran bahwa al-Hadi memintanya supaya memilih wilayah-wilayah
yang sesuai untuk Gatrif memerintah, lalu dia pun memilih Yaman. Utusan itu
kemudiannya pulang dan memberi tahu tentang pilihan Khaizuran. Al-Hadi menerima
berita itu dengan marah dan terus menceraikan sepupunya.
Kemudian Khaizuran mengemukakan
permintaan yang baru pula, tetapi menghadapi kegagalan juga. Salah satu sebab
kekejamannya memuncak. Tiga perkara yang disadari al-Hadi tentang ibundanya
ialah pertama, ibunya tidak mengharap tetapi memerintah dan memberi jaminan akan
permintaan pihak yang berhajat itu pasti tercapai. Kedua, ibundanya bukan hanya
mau bersikap sederhana dalam perkara-perkara biasa tetapi juga mau membuat
keputusan dalam perkara-perkara besar. Ketiga, hubungan rapat Khaizuran bukan
saja dengan saudaranya Gatrif dan lain-lain saudaranya, bahkan dengan
panglima-panglima tentara dan pemimpin-pemimpin. Ini telah melahirkan rasa
cemburu di dalam diri al-Hadi serta mendesaknya supaya membuktikan
kewibawaannya dan membuktikan sendiri pimpinan pemerintahan. Dengan itu maka
mulai timbul keributan di antara al-Hadi dan ibundanya.
Menurut ceritanya, pada suatu hari
Khaizuran menemui anaknya al-Hadi dan menyampaikan kepadanya suatu permohonan
yang diminta supaya diluluskan segera. Tetapi al-Hadi telah menunda-nunda untuk meluluskannya. Kemudian
ketika ibundanya mendesak supaya segera meluluskan atas alasan ia telah
memberikan jaminan kepada Abdullah bin Malik bahwa permintaannya akan
dikabulkan, al-Hadi secara berani menjawab tidak akan mengabulkan permintaan
itu, serta memberi peringatan kepada Khaizuran agar jangan lagi mencoba-coba
melayani permintaan panglima-panglima dan orang-orang besar atau mengizinkan
mereka mengunjunginya. Khaizuran meninggalkan majelis pertemuan itu tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun. Kemudian al-Hadi bertanya kepada
pembesar-pembesar di sekelilingnya: “Adakah kamu lebih suka orang datang kepada
kamu dan mengatakan ibu kamu menyuruh supaya kamu berbuat sesuatu untuknya?”
Pembesar-pembesar itu menjawab: “Tentu sekali kami tidak suka.” Lalu al-Hadi
pun berkata: “Tetapi mengapakah kamu menemui hajat kamu itu?” Sejak mendengar
kata-kata itu, pembesar-pembesar tersebut dengan spontan tidak lagi pergi
menemui Khaizuran.[9]
Demikianlah tegangnya hubungan
Khalīfaħ al-Hadi dengan ibunya. Setelah orang-orang tidak lagi mengunjunginya
untuk mendapatkan apa yang mereka hajatkan, Khaizuran mulai merasa kekosongan
dan membenci serta menaruh dendam terhadap anandanya itu.
Tetapi keadaan tersebut bukan sampai
situ saja, malah timbul pula perkara-perkara lain yang semakin meluaskan lagi
jurang perselisihan di antara kedua anak-beranak itu. Khalīfaħ al-Hadi telah
mendesak mau melucutkan Harun al-Rasyid itu adalah harapan terakhir bagi Khaizuran,
karena ia adalah seorang anak yang baik, pemaaf, yang diharapkan mencerminkan
pribadi ayahandanya, yang mana di bawah naungan Khaizuran akan dapat
mengembalikan kembali pengaruh dan kedudukannya yang telah merosot itu.[10] Dengan
ini istana Khalīfaħ dikatakan telah menjadi sarang spion suruhan yang bekerja
kepada Khaizuran sambil bertugas mengintip gerak-gerik ibundanya itu, sementara
Khaizuran pula mempunyai spion dan pengintip-pengintip dari kalangan
orang-orang suruhan yang bekerja kepada anaknya. Dari pada spion dan pengintip
itulah Khaizuran mendapat tahu bahwa anaknya mengintip gerak-geriknya dan
mengenakan suatu pengawalan yang ketat terhadap dirinya. Keadaan ini telah
menyebabkan Khaizuran mendapat tekanan batin berbagai perasaan dan emosi. Pada suatu
ketika ia naik pitam dan timbul kebimbangan terhadap nasib Harun al-Rasyid,
serta berniat akan menuntut keadilan kepada al-Hadi dan melenyapkannya dari
muka bumi. Kemudian terlintas pula di hatinya, bukankah al-Hadi itu juga anaknya sendiri? Adakah ia sanggup
berbuat demikian terhadap anaknya itu?
Al-Hadi sadar ibundanya menghasut Harun
al-Rasyid agar jangan melepaskan gelar putra mahkota yang disandangnya. Perbuatan
ini kian menambah kemarahan al-Hadi terhadap ibundanya, dan beliau berniat akan
melakukan sesuatu yang buruk dengan mengirimkan makanan beracun. Tetapi Khaizuran
mencoba makanan itu terlebih dahulu dengan memberikannya kepada seekor anjing. Setelah
memakannya, anjing itu terus tersungkur mati. Ketika al-Hadi menanyakan tentang
makanan itu, ibundanya mengatakan makanan tersebut amat enak, tetapi al-Hadi
tahu ibundanya tak menyentuh sama sekali makanan itu. Beliau berkata kepada
ibundanya : ”Ibu tidak memakannya. Jika ibu memakannya, saya tidak akan
mendapatkan kesulitan dari ibu.”[11]
Bagi Khaizuran tindakannya itu adalah
mempertahankan diri. Nyata terbukti bahwa al-Hadi seorang anak yang durhaka dan
tempatnya harus digantikan dengan seorang anak yang lain. Yang ternyata
bersifat baik dan penyayang. Diriwayatkan bahwa Khaizuran telah menyuruh beberapa
dayang-dayang supaya duduk di atas muka al-Hadi yang sedang sakit sehingga
tidak dapat bernafas dan mati lemas. Kemudian Khaizuran mengirim utusan kepada
Yahya bin Khalid memberi tahu tentang
kemangkatannya.[12]
Label:
sejarah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About Me
- Lingga S. Anshary
- sulit sekali untuk mengambil keputusan, namun setelah keputusan diambil yang ada hanya kelegaan karena kita hanya harus melakukannya...
Selamat Datang
di Halamanku,,,,
di Halamanku,,,,
Penayangan bulan lalu
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar